kotak ajaib bernama buku komik - News | Good News From Indonesia 2024

"Kotak Ajaib" Bernama Buku Komik

"Kotak Ajaib" Bernama Buku Komik
images info

Di era kekinian, khususnya di Indonesia, keberadaan komik digital menjadi satu fenomena umum. Berkat kepraktisannya, membeli dan menyimpan koleksi komik tak lagi serepot memiliki buku versi cetak. 

Tak perlu lagi membebani diri dengan membeli rak buku atau merawat buku, komik digital bisa tetap awet berada dalam kondisi terbaik, selama ruang penyimpanan di perangkat kita cukup. 

Untuk membacanya, kita cukup membuka berkas di perangkat. Kapan saja, di mana saja, semua bisa dilakukan dan ada dalam genggaman.

Berkat kemajuan teknologi juga, harga satu set seri komik digital relatif jauh lebih murah dari versi cetak. Alhasil, komik fisik pelan-pelan menjelma jadi barang antik, yang tentu saja punya segmen pasar khusus.

Meski terkesan kuno, buku komik versi cetak sebenarnya adalah satu medium unik. Ia tidak hanya "merekam" cerita dalam urutan gambar dan balon dialog, tapi juga ikut mendokumentasikan tren atau situasi yang terjadi, khususnya saat buku komik itu dicetak.

(Sumber gambar: Dokumentasi Pribadi)

Sebagai contoh, pada foto dalam artikel ini, penulis memotret tampilan cover belakang empat judul komik berbeda, yakni Kung Fu Boy (Jepang), Mundinglaya (Indonesia, terlampir di bawah), Full House, dan Goong (Korea Selatan).

Keempat komik ini ada yang dibeli dalam kondisi baru, dan ada juga yang bekas, masing-masing dibeli pada era 2000-an dan 2010-an. Uniknya, dari label harga pada keempat buku ini, ada satu jejak "perjalanan" harga buku komik, dari masa ke masa. 

Pada buku komik Kung Fu Boy, yang dicetak pada awal tahun 1990-an, label harga yang tertera pada bagian belakang menunjukkan angka Rp3.000. Harga itu lalu berubah menjadi 8.500 rupiah pada awal tahun 2000-an, seperti yang tertera pada label harga di komik Mundinglaya.

Di akhir tahun 2000-an, harga itu berubah lagi menjadi 12.000 rupiah, dan naik lagi menjadi 17.500 rupiah di tahun 2010-an. Dengan tren pergerakan harga seperti itu, tidak mengejutkan kalau di tahun 2020 ke atas, harga satu buku komik berada di kisaran 25—30 ribu rupiah, dan masih akan naik lagi di masa depan. 

Meski sepintas terlihat remeh, ragam harga ini menunjukkan, seberapa jauh perjalanan inflasi (dan aneka faktor lainnya) memengaruhi daya beli masyarakat. 

Minum Kopi, Potret Unik Dinamika Sosial-Budaya di Indonesia

Kita juga bisa melihat bersama, seberapa jauh perbedaan "bobot nilai" uang 100 ribu rupiah dari masa ke masa. Dari yang terlihat "gagah perkasa" di awal tahun 1990-an, menjadi "cukup kuat" di tahun 2000-an, sebelum akhirnya mulai terlihat "biasa saja" sejak tahun 2010-an.

Jadi, jika ada yang masih menganggap inflasi itu ilusi, perjalanan harga komik cetak di Indonesia ini adalah contoh bantahan valid paling relevan yang bisa kita lihat langsung. 

Dari buku komik cetak juga, kita bisa melihat bersama, ada pergeseran tren bentuk dan gaya jilid, sesuai perilaku umum pembaca pada masanya.

Ada masanya komik punya elemen cover sampul berwarna dan cover dalam "minim" warna, yang berfungsi menjaga buku tetap awet. Ada masanya juga komik hanya mengandalkan satu elemen cover berwarna tanpa sampul, yang membuat tren penggunaan sampul plastik meteran/lembaran. 

Sisi Lain Tari Kecak, Tarian Ikonik dari Bali

Selain urusan inflasi, sebuah label harga kadang juga "merekam" jejak eksistensi sebuah toko buku pada masanya, dan menjadi satu catatan sejarah unik.

(Sumber gambar: Dokumentasi Pribadi)

Sebagai contoh, pada label harga buku komik Mundinglaya di atas, terdapat tulisan "Toko Gunung Agung". Tulisan ini menjadi satu elemen memori unik, khususnya setelah toko buku ttersebut resmi "tutup buku" di akhir tahun 2023.

Dari buku komik cetak juga, terdapat satu jejak perjalanan tren bentuk jilid buku komik, tepatnya sebelum era komik digital. 

Dari klasik (depan ke belakang) ke modern (belakang ke depan, ada juga yang menyebutnya sebagai "format jilid ala Jepang) perubahan itu semakin unik, karena membawa serta elemen desain grafis yang semakin kompleks. 

(Sumber gambar: Dokumentasi Pribadi)

Uniknya, kerumitan yang semakin berkembang itu pada akhirnya kembali lagi ke titik simplifikasi, ketika komik digital muncul, dan fokus pada aspek estetika dan cerita, bukan lagi keawetan.

Seiring berjalannya waktu dan makin berkembangnya tren komik digital, mungkin jejak "rekaman" waktu komik cetak akan semakin pudar di masa depan, tetapi, kita (yang pernah menikmati era komik cetak) tetap layak bersyukur. 

Pernah ada masa, di mana tidak ada rasa khawatir mata cepat "lelah" atau perangkat kehabisan daya saat kita membaca komik.

Komik cetak telah menjadi satu "perekam" jejak inflasi, yang membuat generasi muda sedikit banyak paham soal ekonomi, tanpa harus rutin melihat berita di media.

Waktu terus berjalan, angka nominal tetap sama, tetapi nilainya selalu berubah. 

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

YR
KG
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.