Sri Wahyaningsih adalah pendiri sekolah berbasis komunitas dan alam bernama Sanggar Anak Alam (SALAM). Letak sekolah tersebut berada di Yogyakarta, lebih tepatnya di Kampung Nitiprayan, Kasihan, Bantul yang sudah berdiri sejak 1988.
Berdirinya SALAM tercetus dari rasa prihatin dan perhatian Sri Wahyaningsih dan suaminya Toto Rahardjo yang tinggi akan sistem pendidikan di Indonesia. Sistem pendidikan yang kerap berubah-ubah dan tidak maksimal itulah yang membuat SALAM hadir sebagai tempat belajar alternatif.
Di SALAM pembelajaran melalui metode riset dilakukan peserta didik. Sri berharap dari situ peserta didiknya bisa lebih memahami apa yang telah dipelajari dan nantinya dapat membagikan ilmu pengetahuannya kepada orang tua di rumah.
Orang Tua Fasilitator Utama
Sekolah formal pada umumnya kerap dipandang sebagai tempat belajar sekaligus menitipkan anak. Para orang tua tak jarang berpikiran, tugas belajar lebih baik diserahkan ke fasilitator atau pendidik di sekolah. Hasilnya, peran orang tua sebagai pendidik di rumah pun berkurang karena pola pikir semacam itu.
Menurut Sri, di SALAM berbeda. Hak asuh anak tetap pada orang tua, tapi tetap meminta orang tua turut berperan.
“Hak asuh anak itu tetap pada orang tuanya dan kami di sini fasilitator, sehingga ayo kita bersama-sama. Makanya SALAM namanya sekolah komunitas, sekolah keluarga. Karena day to day perkembangan anaknya ya orang tua yang harus tahu dan yang punya visi misi di keluarganya ya orang tua itu, bukan sekolah yang menentukan,” ucap Sri kepada Good News From Indonesia dalam segmen GoodTalk.
Sosok yang kerap disapa Bu Wahya itu juga menegaskan, nilai-nilai kehidupan memang sumbernya dari rumah dan keluarga. SALAM pun hadir untuk menjembatani anak dan orang tuanya. Anak diajari meriset lalu nantinya bisa berbagi dengan orang tuanya agar komunikasi saling ajar-mengajar bisa tercipta di mana saja termasuk di rumah.
“Kenapa kita mengambil proses pembelajaran dengan riset supaya orang tuanya juga paham, bisa ada tektokan. Justru (orang tua) fasilitator utama. Karakter harus dimulai dari rumah, bagaimana anak itu punya value, punya toleransi, punya nilai-nilai positif. Kan harus dibangun sejak dari rumah,” ucapnya lagi.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News