Terkadang foto random yang kita ambil secara acak atau foto dari sebuah aktivitas yang biasa kita temui, bisa menjadi sebuah momen dengan cerita yang menarik. Dalam fotografi ini disebut dengan human interest.
Walau terdengar sederhana, tetapi menangkap momen sehari-hari bukan lah hal yang mudah. Seseorang harus memerhatikan timing yang tepat dan menangkap dari angle yang unik untuk menjadikan human interest menjadi bernilai tinggi.
Sama seperti pameran 'Everything Must Go' yang diselenggarakan di Rachel Gallery, Wisma Geha, Jakarta Pusat. Pada 31 Agustus hingga 22 September lalu, melalui pameran seni lukis tunggalnya Emte menampilkan beberapa karya dengan tema HumanInterest dan dengan konsep foto sehari-hari.
Dikutip dari kata pengantar pameran, disini Emte menampilkan ratusan karya seni, yang di setiap karyanya menawarkan gambaran unik mengenai ekspresi kreatifnya yang beragam. Pendekatan ini mencerminkan keyakinan dia bahwa seni harus dapat diakses oleh semua orang, sehingga khalayak yang lebih luas dapat mengapresiasi dan memiliki visi artistiknya.
Keragaman Seni Disabilitas di Pameran Warna-Warna Vol. II
Dikutip dari situs resmi IKJ, Muhammad Taufiq atau yang lebih dikenal dengan nama Emte adalah alumnus Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni Rupa di Institut Kesenian Jakarta. Dia merupakan ilustrator dan desainer grafis serta komikus yang aktif terlibat dalam banyak brand, baik kolektif maupun personal. Ia telah mengeksplorasi medium komik sejak tahun 1993, saat ia memproduksi buku komik pertamanya yang memperoleh penghargaan sekolah saat masih berusia 13 tahun.
Pameran 'Everything Must Go', seolah menjadi ajang unjuk gigi Emte dalam berkarya dalam bentuk lukisan. Melalui pameran ini dia memamerkan beragam gaya lukis yang berbeda-beda, setiap gayanya punya warna yang berbeda. Menariknya, disetiap gaya lukisnya, Emte menyajikan sebuah karya berseri dengan kuantitas yang banyak di setiap gayanya.
Selain melalui gaya lukisnya, Emte juga menyuguhkan keberagaman dari ukuran dan bentuk kanvas yang dia gunakan di setiap karyanya, dalam keragamannya, dia terinspirasi dari konsep supermarket yang dimana ada pengelompokan spesifik di setiap panelnya.
Di satu dinding terdapat 2 hingga 3 gaya yang berbeda dan walaupun disajikan dengan gaya dan konsep yang sama, tetapi konsep tersebut menyuguhkan rentetan ilustrasi yang berbeda satu dengan yang lainnya. Ini seperti penempatan produk di sebuah rak, walau satu kategori produk, tapi di rak tersebut berisi beragam brand yang berbeda.
Butterflies in My Stomach, Maknai Fase Kehilangan dalam Kisah Cinta lewat Pameran Seni Lukis
Pada beberapa karya, lukisan Emte hanya menggunakan 1 warna dominan dan bergaya hanya outline dengan spidol lalu ada sebuah objek dengan warna yang berbeda yang seolah menunjukkan kalau itu adalah sorotan utama pada lukisan tersebut.
Sebagian besar karyanya juga menggunakan kanvas berukuran kecil. Namun walau demikian, meski ukurannya kecil tapi Emte sangat memerhatikan detail di setiap kanvasnya.
Seperti salah satunya seri Pixel Deep. Warna yang digunakan dominan biru dan putih namun dengan sedikit warna merah muda yang ilustrasinya remaja wanita yang sedang mirrorselfie walau setiap kanvasnya menunjukan wanita, tempat dan cermin yang berbeda.
Ada juga seri dengan kanvas berbentuk lingkaran dengan ilustrasi orang yang sedang makan yang warna dominannya hitam dan putih namun diberi warna hijau neon di ilustrasi makanannya.
Selain itu ada juga karyanya yang lebih berwarna seperti seri ilustrasi yang bernuansa horror dan ilustrasi makanan di meja dengan kanvas yang sedikit lebih besar. Menariknya, tidak hanya lukisan, Emte juga menggunakan media kepingan puzzle untuk menunjukkan karyanya. Selain untuk pameran, semua karyanya juga dijual baik itu dalam kolektif atau satuan.
Referensi:
https://ikj.ac.id/alumni/muhammad-taufiq/
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News