Pecaya atau tidak, dampak perubahan iklim kian nyata terasa. Aberasi dan naiknya permukaan air laut hingga pergantian musim yang tidak terprediksi adalah satu dari sekian dampak perubahan iklim. Tentu, pemerintah, komunitas global, dan berbagai stakeholder mencoba hadir dengan solusi.
Namun, sebagai individu, Kawan GNFI bisa memulai dari diri sendiri menekan emisi karbon yang menjadi penyebab utama perubahan iklim. Kira-kira apa saja yang bisa dilakukan?
1. Menghitung Jejak Karbon
Sebelum Kawan GNFI memulai dengan aksi lebih jauh, penting untuk menghitung jejak karbon terlebih dahulu. Mengapa? Tujuannya untuk memetakan, sebetulnya aktivitas apa yang paling banyak menyumbang jejak karbon dalam kegiatan sehari-hari Kawan GNFI?
Apakah dari hasil mobilitas menggunakan kendaraan sehari-hari? Penggunaan listrik? Atau jangan-jangan ada aktivitas tertentu yang ternyata menghasilkan jejak karbon cukup besar?Siapa yang tahu bukan?
Untuk itu, hitung terlebih dahulu menggunakan carbon calculator. Ada banyak website yang menyediakan alat perhitungan karbon di Google. Ketik saja keyword“Carbon calculator” atau kalkulator jejak karbon. Cara penggunaanya juga mudah, hanya memasukkan beberapa data saja yang dibutuhkan.
Misalnya, Kawan GNFI ingin menghitung jejak karbon transportasi, data yang dibutuhkan seperti jenis kendaraan yang digunakan, jarak yang ditempuh, hingga frekuensi penggunaannya. Setelah memasukkan data tersebut, voila, jejak karbon harian bisa diketahui.
Baca juga: Indonesia Punya Kalkulator Emisi Karbon, Bagaimana Cara Kerjanya?
2. Jangan Membuang Sampah Makanan
Faktanya, sampah makanan yang mungkin Kawan GNFI buang dan berakhir di Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) ternyata menyumbang emisi karbon! Mengutip dari laman greenly.earth, sampah makanan di TPA mengalami proses fermentasi yang kemudian menghasilkan gas metana.
Diperkirakan, setiap 1 ton sampah padat menghasilkan 50 kg gas metana. Menurut FAO, dalam satu tahu ada 1,3 gigaton makanan yang terbuang. Akibatnya, ada 3,3 gigaton setara CO2 yang dilepaskan.
Memang, sisa makanan kerap kali jadi persoalan sepele. Sisa nasi di piring dan sayuran yang membusuk di kulkas barangkali bukan persoalan yang penting dipikirkan. Namun coba bayangkan jika itu dilakukan oleh semua manusia di bumi. Hasilnya? 3,3 gigaton setara CO2 yang dilepaskan ke atmosfer bumi.
Sebaliknya, Kawan GNFI bisa memulai hidup minimalis termasuk perihal makanan. Membeli bahan masakan secukupnya. Memastikan semua makanan yang dibeli habis tidak tersisa.
Cobalah untuk menerapkan metode FIFO atau First In First Out untuk meminimalisir makanan membusuk. Apabila ada sisa sampah makanan, alih-alih membuangnya ubah menjadi pupuk kompos.
3. Ikut Berbagai Campaign di Media Sosial
Isu kesadaran menekan konsumsi jejak karbon sebagai upaya melawan perubahan iklim kerap terdengar jauh dari kehidupan sehari-hari. Diskusi isu-isu perubahan iklim seperti hanya dilakukan oleh mereka yang berkecimpung di dunia lingkungan. Padahal, dampak perubahan iklim dirasakan oleh semua orang, tidak terkecuali. Singkatnya, isu ini perlu menjadi gerakan kolektif dan inklusif.
Contoh menarik dan menginspirasi datang dari teman-teman fans Kpop. Banyak dari mereka yang membuat perayaan idola mereka dengan kegiatan positif seperti melakukan penanaman pohon.
Fans Kpop membuat campaigncrowdfunding mengumpulkan donasi pohon untuk kemudian ditanam atas nama idola mereka. Selain itu, masih ada banyak campaign lain seperti adopsi koral dan lain sebagainya. Apa yang mereka lakukan merupakan bentuk upaya menekan emisi karbon.
Jadi, ada banyak campaign-campaign yang bisa Kawan GNFI ikuti untuk bersama-sama melawan perubahan iklim.
4. Budaya "Second Life"
Jangan malu untuk membeli barang bekas! Selama kondisinya masih bagus dan aman untuk digunakan kembali, mengapa tidak? Apalagi munculnya tren atau tuntutan membeli smartphone dengan seri terbaru bisa berujung pada bertambahnya sampah elektronik. Padahal, ada opsi membeli bekasan atau bahkan opsi sewa.
Termasuk juga pakaian. Thrifting bisa menjadi solusi untuk melawan budaya fast fashion (pergantian model atau desain pakaian secara cepat diiringi jumlah produksi yang besar).
Fast fashion berdampak buruk sebab selama proses produksi dan limbah yang dihasilkan berdampak buruk terhadap lingkungan. Termasuk memproduksi emisi karbon.Untuk itu, membeli pakaian bekas selama layak dipakai dan berhenti bersikap impulsif merupakan upaya yang bisa dilakukan saat ini juga.
Baca juga: Surga Thrifting Bogor, Tren Slow Fashion yang Naik Kelas
5. Belanja Bulk
Mengatasi persoalan sampah makanan juga bisa dilakukan dengan belanja bulk atau curah. Belanja curah memungkinkan Kawan GNFI membeli sesuai dengan kebutuhan. Jadi, tidak terpaku dengan banyaknya sesuai kemasan.
Misalnya kebutuhan bumbu yang hanya sedikit, katakanlah 100 gram, bisa dibeli persis 100 gram. Tidak harus membeli satu kemasan yang isinya 200 atau bahkan 500 gram. Mungkin, muncul pertanyaan, bukankah lebih bagus sekalian membeli satu bungkus dengan isi banyak? Sayangnya, jika kebutuhannya tidak sebanyak itu, biasanya akan berakhir membusuk atau kadaluarsa di lemari penyimpanan.
Cara ini dianggap bisa mencegah sisa makanan yang bisa saja terbuang. Di samping itu, belanja bulk juga memaksa pembeli membawa tempat atau wadah sendiri. Tidak disediakan plastik. Tentu, ini akan jauh lebih ramah lingkungan dan sustainable.
Sumber:
https://greenly.earth/en-us/blog/ecology-news/global-food-waste-in-2022
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News