Cerita ini terkandung dalam sajak-sajak Jataka, yaitu kumpulan fabel (dongeng) dari tanah India. Ini juga termasuk pada sub cerita Pancatantra atau dongeng binatang yang mengandung pengajaran moralitas. Cerita tersebut terukir dalam Relief Candi di Indonesia dan cerita ini mengangkat dari relief Candi Sojiwan.
Dua Kepribadian dalam Satu Tubuh
Dikisahkan pada suatu masa terdapat seekor angsa yang terlahir memiliki dua kepala dalam satu tubuh. Tentunya, dua kepala tersebut memiliki pemikiran dan emosi yang berbeda antarkeduanya. Kepala pertama bernama Barundha dan kepala satunya bernama Barundhi.
Barundha terkenal sekali dengan sifatnya yang pelit, tidak hanya kepada orang lain tapi dengan saudaranya Barundhi. Sedangkan Barundhi terkenal dengan sifat penakut dan ragu-ragunya. Ia selalu mengalah dengan saudaranya itu dalam banyak hal, yang mana membuat dia kalah kontrol terhadap tubuh bersama itu.
Sifat pelit Barundha ini sebenarnya membuat jengkel Barundhi. Terlebih lagi saat mereka makan. Barundhi sering kali diberikan makanan sisa oleh saudaranya itu, sedangkan Barundha menikmati makanan yang enak dan tidak mau berbagi kepadanya.
Awalnya Barundhi sering pasrah saja dengan hal itu. Namun, tentu dirinya juga ingin merasakan makanan enak di dalam mulutnya. Bangkit rasa berani sedikit, akhirnya Barundhi menanyakan kepada saudaranya, "Barundha, setidaknya bagikanlah aku makanan enak itu sedikit saja. Biarkan aku merasakan juga nikmatnya makanan itu,” katanya.
Sambil memperhatikan Barundhi, saudaranya itu mengatakan dengan enteng, “Nyam..nyam.. (suara mulut), aduh Burundhi seharusnya kau mengatakan dari tadi. Ini sudah mau habis. Lagipula apa yang aku makan juga pada akhirnya akan membuat kita berdua kenyang bersama,” jawab Barundha sambil makan.
Rasa sungkan dan ragu-ragunya untuk menjawab membuat Barundhi mengurungkan niatnya untuk berdiskusi dengan saudaranya itu. Ternyata rasa sungkan dan rasa pelit di kedua saudara itu akan berujung tragis untuk mereka berdua.
Buah Warna-Warni
Suatu ketika mereka berdua sedang berjalan-jalan di hutan untuk mencari makanan. Tidak disangka mereka berdua menemukan buah yang terlihat menarik, untuk memastikannya mereka menghampiri buah tersebut.
Setelah dihampiri buahnya sangat memanjakan mata mereka berdua, warna-warna yang terang dengan bercampurkan warna lainnya. Itu membuat buah ini sangat nikmat untuk dipandang dan sepertinya juga nikmat untuk dimakan, pikir kedua saudara tersebut.
Namun, Barundhi sedikit merasa aneh dengan buah tersebut. Sebab, biasanya buah yang menarik ataupun bisa dimakan akan dikerumuni oleh hewan-hewan kecil seperti semut. Akan tetapi, ia tidak menemukan itu di sana.
Baca juga: Legenda Cerita Rakyat Candi Nusantara, Keangkuhan Gajah Membawa Petaka
Berbeda dengan Barundhi, Barundha hanya memikirkan mulut dan perutnya saja. Pikirnya jika ia memakan semua buah, itu membuat banyak hewan-hewan akan iri dengannya. Kalap mata dan pikiran membuat Barundha abai dengan kondisi buah itu.
Setelah Barundha bersiap-siap untuk memakannya, Barundhi tiba-tiba menghentikannya. “Tenang dulu Barundha, seee.....se...sepertinya buah itu terlihat tidak baik untuk kita makan dan mu..mu..mungkin beracun,” ujarnya sambil menahan Barundha.
Barundha jengkel karena ia tiba-tiba dihentikan untuk makan dan menjawab ketus kepada saudaranya, “Hahh...kalau kita tidak mencoba buah ini bagaimana kita akan tahu buah itu beracun atau tidak dan tidakkah kau lihat indahnya buah itu menandakan bahwa buah ini enak sekali untuk perut kita,” jawabnya.
Terlambat menghentikannya, Barundha langsung melahap buah itu. Awalnya Barundha merasa sedikit kecewa karena rasa buahnya ternyata biasa sekali dan banyak mengandung air. Namun, dia tidak perduli dan menghabiskannya tanpa membagikan dengan saudaranya itu.
Tidak selang beberapa lama Barundha merasakan hal yang aneh pada lidahnya, tapi tidak dengan Barundhi. Buah yang Barundha makan ternyata memberikan efek samping kepada mereka, membuat kepala mereka yang pusing dan akhirnya mereka muntah. Hingga keduanya merasakan hal yang tak biasa tubuh yang lemas dan pandangan kabur dan akhirnya mereka pingsan seketika.
Nasib Abai Peringatan
Untungnya buah tersebut tidak merengut nyawa mereka. Ketika mereka terbangun dari pingsan, ternyata mereka sudah dalam keadaan lemah sekali. Keduanya kemudian merangkak untuk mencari air di sekitar hutan.
Ketika mereka menemukan air dan mereka berdua meminumnya, rasa pahit menyelimuti seluruh mulut dan tenggorokan mereka, hingga air itu mereka muntahkan. Tak berselang lama terdapat seekor semut menghampiri mereka dan berkata, “Apakah kalian sudah memakan buah itu?”
Sambil mengangguk dan merasa mual mereka jawab ke semut. Semut langsung merasa miris dengan keduanya dan berkata, “Sesungguhnya buah yang kalian makan adalah buah beracun. Seharusnya kalian bisa mencium bau buahnya atau bahkan melihat buahnya saja kalian harusnya tahu bahwa buah yang mencolok dan tidak ada bau manis adalah buah yang tidak bisa dimakan,” terang semut.
Jawab Barundha, “Lantas mengapa kami tidak mati? Malahan hanya mulutku yang jadi pahit sekali?” penasaran dan panik di wajahnya.
Lagi-lagi semut miris melihat mereka berdua dan berkata “Buah itu beracun, tapi tidak membunuh kalian. Namun, ia merengut hal yang lain dari kalian. Siapapun yang memakannya tidak bisa merasakan makanan lagi dan mulutnya akan dipenuhi rasa pahit. Sayangnya, tidak ada yang tahu bagaimana cara mengobatiya.” tutur semut.
Seketika terguncang diri mereka dan tubuhnya lemas. Terutama Barundha, ia sangat sedih tahu bahwa dirinya tidak bisa merasakan makanan lagi. Barundhi yang di sebelahnya berkata kepada Barundha, “Mungkin ini menjadi pelajaran untuk kita Barundha, bahwa sejatinya kita tidak boleh untuk egois atas keinginan kita dan pentingnya kita untuk saling mendukung, karena kita adalah saudara.”
Baca juga: Putu Sutawijaya Mencari Bakti Garuda untuk Ibu Pertiwi
Tangis dan rasa sesal menyelimuti Barundha membuat ia sadar bahwa seharunya ia mempercayai saudaranya dan tidak egois untuk dirinya sendiri. Akhirnya Barundha meminta maaf kepada saudaranya tersebut atas kejahatan yang ia lakukan.
Namun, sayangnya Barundha harus menghabiskan sisa hidupnya tanpa bisa merasakan makanan lagi dan Barundhi dengan senang hati sambil merawat Barundha. Mereka akhirnya saling melengkapi dalam kehidupan mereka hingga mereka menua bersama.
Referensi
Cahyono, N.H., Sugiyamin., Barriyah, I. Q., Susanto, M. R. (2023). Kajian Ikonology Relief Pancatantra Candi Sojiwan; Sebuah Dimensi Multikultur. Jurnal Seni Rupa Warna. Vol. 11 No 2. Hal 142 – 160.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News