Dono Pradana adalah komika Surabaya yang mempunyai nama di dunia stand up comedy Indonesia. Sosoknya fenomenal, karena ia berhasil menembus ibu kota lewat materi candaan daerah.
Tidak hanya sebagai komedian, seiring ketenarannya membuat Dono juga mendapat kesempatan meniti karier di perfilman. Sejumlah film pernah dibintangi Dono salah satunya Yowis Ben 3 pada 2021 lalu.
Kelucuan Dono sebenarnya tidak hanya bisa didapati dari atas panggung stand up comedy dan film saja. Melalui konten digital seperti YouTube dan siniar, ia juga berkarya untuk menghibur banyak orang.
Sebagai content creator, Dono tidak biasa. Ia seringkali menciptakan konten di luar hal yang sedang viral. Idealisme kerap ia pertahankan, tetapi dirinya tetap sadar bahwa bersikap realistis juga mesti dipegang demi penghidupan.
Harus Imbang
Dalam beberapa tahun terakhir profesi menjadi content creator naik seiring majunya teknologi media sosial. Banyak orang-orang berlomba-lomba membuat konten dengan berbagai format demi mendapat viewers yang harapannya bisa menghasikan uang plus ketenaran.
Sayangnya, tidak semua pembuat konten menciptakan konten positif. Demi mencari sensasi yang bisa saja mendongkrak popularitas dan keuntungan, sang pembuat konten kerap memproduksi karya negatif. Sikap idealistis pun dipertaruhkan bagi mereka yang terjun dalam dunia tersebut.
Dono sebagai content creator pun merasakan hal itu. Berbagai karyanya adalah hasil idealisme yang ia pegang. Mengedepankan fun dan kualitas menurut Dono membuat karya yang berbuah dari sikap idealistis menghasilkan rasa puas baginya. Hanya saja, ia sadar sikap idealitis yang dijunjung tinggi saat bekerja bisa juga berdampak buruk nantinya.
“Idealis sama perfeksionis kan beda tipis. Takutnya nanti kalau misalkan itu keterusan enggak Cuma jadi sifat, akhirnya jadi watak. Karena orang idealis itu sulit menerima masukan. Apa yang dia lakukan sudah paling benar, padahal belum tentu,” ucap Dono kepada Good News From Indonesia dalam segmen GoodTalk.
Dono pun mengingatkan, bahwa realistis itu perlu karena setiap orang butuh penghasilan dari karya-karya yang telah diciptakan. Namun, jika sikap idealitis tidak bisa dienyahkan, ada baiknya dibuat berimbang agar perasaan puas dan keuntungan dapat tercipta dalam waktu yang sama.
“Sekarang saya sudah melewati masa itu. Saya sudah pernah jadi idealis banget, sudah pernah jadi orang yang fokus realistis banget, tapi ternyata emang enggak bisa. Enggak bisa bersebelah. Harus imbang takarannya. Emang harus kita yang ngukur kapan kita harus realistis kapan kita idealis,” ucap pemilik nama lengkap Aditya Rahman Pradana itu.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News


