Indonesia dipastikan kembali menjadi salah satu tuan rumah MotoGP pada 2024. Indonesia akan menjadi penyelenggara seri ke-16, tepatnya pada 27-29 September 2024 di Sirkuit Mandalika, Lombok, Nusa Tenggara Barat. Pada bulan Agustus 2024, saya berkesempatan mengunjungi Mandalika karena mengikuti rapat pleno Majelis Wali Amanat Universitas Airlangga.
Mengunjungi Mandalika untuk pertama kalinya, saya terkejut karena sebagai orang asli Surabaya yang sekarang tinggal di Sidoarjo, setiap hari saya terbiasa merasakan kemacetan luar biasa saat ke kampus UNAIR. Kabupaten Sidoarjo, yang memiliki hampir 1.000 industri menengah dan berat, jalan-jalan utamanya selalu macet karena dipenuhi truk besar-besar milik pabrik-pabrik tersebut, ditambah ribuan sepeda motor dan mobil pribadi yang bergerak lambat menuju kota Surabaya. Hampir setiap hari saya menyaksikan sepeda motor yang berada di sisi truk-truk besar itu saling berdempetan. Sering kali, saya miris melihat ibu-ibu yang naik sepeda motor sambil membawa anak-anaknya yang masih kecil menuju sekolah, di mana anak-anak itu berdiri di bagian depan sepeda motor. Saya lebih miris lagi melihat ibu-ibu yang menggendong anaknya yang masih kecil di belakang sepeda motor, dan anaknya tampak mengantuk berat dengan posisi kepala miring. Saya juga sering merasakan kemacetan luar biasa di Jakarta, yang bisa berlangsung selama berjam-jam, kadang hingga lebih dari 4 jam pada akhir pekan, saat kendaraan berhenti dan merambat di jalan-jalan ibu kota.
Dengan pengalaman sehari-hari menyaksikan kemacetan seperti itu, ketika saya tiba di Bandara Internasional Lombok yang baru, bersih, indah, dan dipenuhi wisatawan asing serta dalam negeri, saya merasa seperti masuk ke dalam mesinTime Tunnel atau Lorong Waktu dan tiba-tiba berada di dunia lain, atau suatu tempat di masa lalu. Hal itu karena sepanjang perjalanan dari bandara ke hotel, melewati Sirkuit Internasional Mandalika selama 15 menit, saya tidak melihat banyak mobil atau sepeda motor di jalan yang mulus. Saya hanya melihat satu atau dua mobil yang berpapasan dengan mobil kami. Tidak ada orang yang berlalu lalang di jalan itu. Sepi sekali, serasa masuk kawasan yang tidak berpenghuni. Jadinya mobil yang kami tumpangi seakan menjadi satu-satunya kendaraan di jalan.
Mandalika, Seorang Putri Cantik
Mandalika adalah nama yang begitu dikenang di masyarakat NTB hingga menjadi bagian dari upacara adat tahunan Bau Nyale yang kini juga menjadi festival pariwisata. Bau artinya menangkap, sedangkan Nyale berarti cacing laut. Dalam legenda, cacing laut berwarna-warni yang bisa ditemui dalam lubang-lubang karang ini adalah jelmaan Putri Mandalika. Konon, cacing-cacing ini hanya muncul setiap tanggal 20 di bulan ke-10 dalam kalender tradisional Sasak (umumnya bulan Februari atau Maret), tepat di hari Putri Mandalika menghilang ditelan ombak.
Putri Mandalika adalah putri dari raja bernama Raden Panji Kusuma, juga dikenal dengan sebutan Tonjeng Beru, yang memiliki istri bernama Dewi Seranting. Sang raja adalah pemimpin Kerajaan Sekar Kuning yang menghadap ke Samudra Hindia. Putri Mandalika berparas cantik, anggun, dan baik hati. Tak heran, puluhan pangeran dari berbagai kerajaan di Lombok maupun di luar Lombok berebut untuk meminangnya. Putri Mandalika mendengarkan pertikaian para pangeran di ruang tunggu kerajaan, karena berebut menjadikan Putri Mandalika sebagai permaisurinya. Pertikaian itu memunculkan ancaman perang besar, di mana pangeran dari kerajaan yang berhasil mempersunting Putri Mandalika akan diserbu habis-habisan oleh kerajaan-kerajaan para pangeran yang gagal mendapatkan sang putri. Mendengar ancaman perang besar itu, Putri Mandalika akhirnya mengatakan kepada seluruh pangeran bahwa dia menerima semua pinangan dan mengundang mereka di ujung tebing di tepi deburan ombak Samudra Hindia.
Disaksikan oleh kedua orang tuanya dan para pangeran dari berbagai kerajaan, Putri Mandalika yang mengenakan busana dari sutra warna-warni dan rambut panjang yang terurai di bawah mahkotanya, mengatakan dengan lantang bahwa ia menerima semua pinangan para pangeran. Ia melanjutkan bahwa semua pangeran baik untuknya, tetapi mereka harus menjadi pemimpin yang lebih baik bagi rakyat, karena yang ia inginkan hanyalah kesejahteraan rakyat. Sebaliknya, perang hanya akan membawa kesengsaraan. Ia pun mengucapkan terima kasih atas pinangan dan kasih sayang semua orang. Kemudian Putri Mandalika membalikkan badan menghadap samudra, lalu melompat ke lautan dan disambut oleh ombak besar yang menelan tubuhnya. Sang putri mengorbankan dirinya demi rakyat, karena tak ingin belasan pangeran yang melamarnya nekat berperang dan menyengsarakan rakyat.
Sang raja, yang terkejut melihat putrinya ditelan ombak, memerintahkan prajuritnya untuk menemukan putrinya di samudra. Namun, Putri Mandalika menghilang, dan mereka hanya menemukan cacing-cacing berwarna-warni sesuai dengan warna-warna busana yang dikenakan Putri Mandalika. Sejak itu, ada kepercayaan bahwa cacing-cacing berwarna-warni tersebut adalah titisan atau jelmaan Putri Mandalika.
Saya cek di data statistik, jumlah penduduk Mandalika hanya sekitar 9.000 jiwa. Sementara itu, jumlah wisatawan mancanegara dan domestik terus meningkat, terutama sejak kawasan ini memiliki sirkuit internasional. Mandalika sering disebut “the next Bali” karena mulai ramai dikunjungi wisatawan. Begitu menginjakkan kaki di Bandara Internasional Lombok, kita bisa menyaksikan banyaknya wisatawan, terutama dari luar negeri.
Menariknya, karakteristik wisatawan asing (dari pengamatan saya) kebanyakan adalah mereka yang membawa keluarganya, istri, anak, saudara, dan mertua. Mereka memilih Mandalika sebagai tempat tetirah yang sunyi dan tenang dibandingkan dengan Bali yang penuh dengan hingar-bingar wisatawan asing berlalu lalang di jalan, di mana terkadang ada yang mabuk. Sementara itu, wisatawan yang datang ke Mandalika adalah keluarga yang ingin tinggal di tempat yang lebih tenang. Saya kebetulan sempat berbincang dengan beberapa keluarga wisatawan asing, kebanyakan dari Prancis, Jerman, Cina, Polandia, Maroko, India, Aljazair, Australia, dan sebagainya. Di kawasan Senggigi, banyak wisatawan dari Italia.
Selain daerah Mandalika yang sunyi, tenang, dan memiliki pantai yang indah, harga makanan di hotel bintang lima pun sangat murah jika dinilai dengan mata uang wisatawan asing. Saya melihat para turis asing seringkali “emboh” atau “tanduk” (bahasa Jawa), artinya mengambil makanan lebih dari satu kali saat sarapan. Ada makanan Barat, Timur Tengah, aneka buah-buahan, es krim (atau “Es Grim” dalam bahasa anak-anak Surabaya), dan sebagainya. Karena itu, mereka betah berada di Mandalika. Mereka tidak hanya tinggal di hotel bintang lima, tetapi juga di hotel-hotel kecil di kampung-kampung. Banyak dari mereka yang naik sepeda motor atau berjalan kaki.
Mandalika, yang merupakan kawasan wisata seluas lebih dari 20.000 hektare dan berlokasi di Kuta, Pujut, Lombok Tengah, NTB, sejak tahun 2017 menjadi Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Kawasan ini menarik banyak wisatawan luar negeri, terutama sejak adanya Pertamina International Circuit sebagai ajang MotoGP, yang juga menarik minat para pengusaha besar untuk berinvestasi dengan membangun berbagai fasilitas modern seperti hotel dan restoran. Akibatnya, harga tanah meroket dengan cepat.
Pada tahap awal pembangunan oleh Indonesia Tourism Development Corporation (ITDC), harga tanah di area permukiman Kuta, Lombok, berkisar antara Rp 5 juta-Rp 10 juta per 100 meter persegi atau Rp 50.000-Rp 100.000 per meter persegi. Namun, setelah MotoGP 2022 diumumkan akan digelar di Sirkuit Mandalika, nilai tanah di area yang sama meroket sepuluh kali lipat menjadi Rp 50 juta-Rp 100 juta per 100 meter persegi atau Rp 500.000-Rp 1 juta per meter persegi. Sedangkan harga tanah yang berdekatan dengan Zona Ekonomi Khusus (KEK) bisa mencapai Rp 250 juta-Rp 500 juta per 100 meter persegi. Lahan pengembangan di area komersial yang terletak di jalan utama atau berdekatan dengan tempat wisata juga mengalami kenaikan harga hingga Rp 1 miliar per 100 meter persegi atau Rp 10 juta per meter persegi.
Harga tanah seperti itu tidak menciutkan hati orang asing untuk berinvestasi di Mandalika dan sekitarnya. Kebetulan pula, saya sempat makan di restoran Milky Wave yang terkenal yang dimiliki warga Jepang, dengan beberapa chef atau juru masaknya orang Jepang dan manajer seorang wanita muda, sopan dan cantik dari Hungaria.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News