Di Indonesia ada sekitar 10 juta jiwa etnis Tionghoa. Jumlah ini menjadi salah satu yang terbesar di negara ASEAN. Sejalan dengan banyaknya etnis Tionghoa yang hidup di Indonesia berimplikasi pada beragam sektor, terutama sektor budaya.
Surabaya menjadi salah satu kota di Indonesia yang memiliki cukup banyak penduduk beretnis Tionghoa. Menurut situs resmi Universitas Ciputra, populasi etnis Tionghoa mencapai 25,5% dari total penduduk Surabaya. Menjadikan etnis ini sebagai etnis terbanyak ke-3 yang menghuni Surabaya setelah suku Jawa dan Madura.
Pada dasarnya, Surabaya dikenal sebagai pusat perdagangan sejak zaman Hindia Belanda. Ini mengakibatkan banyak orang dari berbagai etnis dan ras hilir mudik di Surabaya untuk keperluan perdagangan. Tidak sedikit juga dari mereka yang pada akhirnya memiliki keturunan di Surabaya dan akhirnya menetap di sini.
Hal tersebut menyebabkan budaya dari etnis ini masih dilestarikan hingga sekarang oleh keturunannya. Salah satu yang menjadi bukti kuatnya pengaruh Tionghoa di Surabaya adalah adanya rumah abu Keluarga Han. Rumah abu yang terletak di Jalan Karet Nomor 72 ini menyimpan banyak sejarah soal Keluarga Han yang punya pengaruh kuat di zaman Hindia Belanda.
Baca juga: Daya Tarik Kya-kya Kembang Jepun, Kawasan Pecinan di Surabaya
Mengenal Keluarga Han
Marga Han adalah salah satu dari empat marga yang ada di Jawa. Keluarga dengan marga ini dikenal sangat kaya pada zaman Hindia Belanda. Kebanyakan berprofesi sebagai opsir di Jawa Timur dan Jawa Tengah bergelar letnan, mayor, hingga kapiten.
Leluhur marga Han yang pertama kali berlayar dari Tiongkok ke Jawa adalah Han Siong Kong (Han Chun Du). Ia pertama kali sampai di Lasem, Jawa Tengah, dalam keadaan miskin. Ia akhrinya memperistri Putri Tumenggung dari Kadipaten Rajegwesi. Di Rajegwesi pula akhirnya Han Siong Kong wafat. Namun, anak keturunannya berhasil menyebarkan pengaruhnya di Jawa.
Mitos Keluarga Han
Ada sebuah mitos yang diturunkan dari mulut ke mulut soal Keluarga Han. Disebutkan saat Han Siong Kong wafat, hujan dan petir mengiringi pemakamannya, sehingga petinya dibiarkan teronggok. Namun, secara ajaib dikatakan jika peti Han Siong Kong terkubur dengan sendirinya.
Konon, arwah Han Siong Kong mengutuk anak-anaknya yang dinilai tidak berbakti. Kutukan itu membuat siapapun keturunannya akan mendapat celaka jika berani menginjakkan kaki lagi di Lasem. Itu mengapa akhirnya anak-anak Han Siong Kong meninggalkan Lasem dan menyebar di tanah Jawa.
Baca juga: Melihat Pesona Kota Lama Surabaya yang Penuh Sejarah
Asal Usul Rumah Abu Keluarga Han
Han Siong Kong memiliki 5 anak. Salah satunya bernama Han Bwee Kong yang menjadi Kapiten Tionghoa di Surabaya. Jabatan sebagai kapiten membuat ia memiliki otoritas kuat pada komunitas Tionghoa di Surabaya.
Han Bwee Kong wafat pada 1778 di Surabaya dan dimakamkan di sekitar Pasar Bong. Makamnya terletak di dekat makam kakaknya, Han Tjien Kong, yang wafat lebih dulu. Singkat cerita, makam di Pasar Bong semakin terdesak karena pemukiman baru. Lalu pada 1876, anak cucu Han Bwee Kong mendirikan rumah abu ini menghormati leluhurnya.
Rumah ini menggabungkan 3 gaya arsitektur, yaitu Jawa, Eropa, dan Tionghoa. Terdapat area teras, ruang keluarga, ruang sembahyang, dll. Tidak main-main, beberapa bagian rumah bahkan diimpor. Misalnya pilar besi yang menopang rumah ini didatangkan dari Glasgow, Skotlandia. Sementara pengaruh Tionghoa dapat dilihat dari ukiran-ukiran yang ada di permukaan pintu dan dekorasi rumah berbentuk burung Phoenix.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News