Tidak dapat dipungkiri bahwa jumlah sampah di Indonesia saat ini mencapai angka yang sangat tinggi, 70 juta ton/tahun pada tahun 2023. Tingginya jumlah sampah di Indonesia menyebabkan berbagai polusi air, polusi udara, dan juga perubahan iklim yang dapat kita rasakan serta patut menjadi perhatian seluruh bagian masyarakat, lho, Kawan GNFI!
Di Nusa Penida, pulau kecil yang terletak di sebelah tenggara Bali, dikenal karena keindahan alamnya yang menakjubkan, termasuk pantai berpasir putih, tebing curam, dan keanekaragaman hayati laut.
Namun, seperti banyak destinasi wisata lainnya, Nusa Penida menghadapi tantangan serius terkait pengelolaan sampah. Seiring dengan pertumbuhan jumlah pengunjung dan kegiatan lokal, masalah sampah semakin mendesak untuk ditangani. Salah satu jenis sampah yang sering terabaikan adalah limbah minyak jelantah.
Tanggapan Masyarakat Terkait Pembangunan Lift Kaca di Pantai Kelingking
Pak Putu, sebagai pengelola TPA Biaung yang merupakan satu-satunya TPA di Nusa Penida, menjadi salah satu tokoh yang berperan dalam pengelolaan limbah minyak jelantah. Pada mulanya beliau mengelola seluruh limbah minyak di Nusa Lembongan, salah satu pulau di Bali, untuk diperjualbelikan
. Namun, saat ini beliau merasa prihatin dengan banyaknya limbah minyak jelantah dan ingin memperluas jaringan pengambilan minyak jelantah ke Nusa Penida yang tidak kalah berpotensial sebab banyaknya tempat wisatawan seperti restoran, hotel penginapan, dan tempat makan lainnya.
“Ya, tentu saja banyak yang menganggap minyak jelantah itu tidak bisa diapa-apakan dan mereka buang ke laut. Padahal itu membuat laut kotor dan limbah minyak jelantah itu dicari oleh para pemegang industri di Bali.” ucap Pak Putu. “Biasanya kami hanya mengumpulkan limbah minyak jelantah kemudian akan dibeli oleh offtaker untuk diproses jadi biodiesel dan bahan bakar lainnya,” tambahnya.
Offtaker penerima limbah minyak jelantah umumnya akan mengolah minyak jelantah menjadi bahan bakar transportasi atau yang dikenal dengan biodiesel. Penggunaan biodiesel menjadi salah satu bahan bakar alternatif di masa depan yang digunakan sebagai campuran BBM yang kita umum gunakan untuk mengurangi emisi karbon di lingkungan. Bahkan, menurut SAFMaps.com penggunaan biodiesel dapat mengurangi hingga 70% emisi karbon, lho!
Melihat besarnya pengaruh pengolahan limbah minyak jelantah, Pak Putu terus melakukan penyaringan dan pengumpulan hingga 300 jerigen 18L minyak jelantah per minggu hanya dari Nusa Lembongan. Tentu, target Pak Putu kedepannya adalah juga untuk menyaring seluruh limbah minyak jelantah di Nusa Penida dan kemudian diperjualbelikan kepada offtaker terkait.
Inovasi Aplikasi Website Deteksi Dini Gangguan Perkembangan Anak di SD Negeri 033912 Hutagambir
Selain itu, Pak Putu sendiri tidak hanya mengelola limbah minyak jelantah, tetapi beliau juga mengatasi plastik PET dari botol plastik, serta bahan elektronik lainnya di TPA Biaung! Penyaringan dan pengambilan seluruh jenis sampah sudah menjadi kegiatan sehari-hari Pak Putu dan dilakukan secara independent dengan mitra pribadi. Kegiatan pengumpulan dan pengelolaan sampah ini telah dilakukan Pak Putu selama 12 tahun dan dapat menghidupkan keluarga beliau dengan baik.
“Ya, betul. Ini semua dilakukan secara mandiri dan kami memang tidak punya karywan tetap. Hal ini sebab mereka melihat kerjaan sebagai ‘pemulung sampah’ adalah hal yang rendah di masyarakat. Padahal sebenarnya banyak sekali peluang bisnis yang terbit dari keprihatinan saya 12 tahun yang lalu, hingga saat ini bisa membiaya kehidupan dan pendidikan keluarga saya.”
Wah! Sungguh inspiratif kesan Pak Putu, memang dengan seluruh jasanya untuk mengumpulkan berbagai jenis limbah pantas mendapat julukan sebagai Juragan Sampah di Nusa Penida. Yuk, Kawan GNFI, mari kita ikuti jejak mulia Pak Putu untuk mengelola sampah yang ada di Indonesia!
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News