Pancasila sebagai dasar negara Indonesia menjadi peran penting untuk menyatukan suku, ras, dan agama di Indonesia. Secara tidak langsung, Pancasila sudah menjadi prinsip atau asas dalam menjalani kehidupan di negara Indonesia.
Banyak sekali dalam perumusannya menggabungkan ideologi untuk menciptakan kerukunan antar ras, suku, dan agama. Tidak sedikit juga perbaikan dilakukan karena banyak pihak merasa rumusan ideologi dasar ini akan yang nantinya akan membawa Indonesia ke dunia.
Tentunya pengaruh agama sangat besar berperan dalam perumusan ideologi ini. Agama menjadi landasan rohani dan kehidupan bagi setiap manusia yang menganutnya. Maka dari itu, agama sangat berperan besar dalam pembentukan landasan negara Indonesia.
Sejarah Singkat Perumusan Pancasila
Sebelum menjadi Pancasila, dasar negara termuat dalam Piagam Jakarta tertuang dalam pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD). Akan tetapi, karena dalam rumusan ini terlebih pada sila pertama yang berbunyi “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Hal ini menjadi polemik yang cukup gusar, karena banyak pihak-pihak yang merasa bahwa sila pertama ini terlalu mengedepankan umat Islam.
Datang dari J.Latuharhary yang juga anggota BPUPKI dan beragama Kristiani yang menolak sila pertama tersebut. Menurutnya hal ini dinilai bisa berakibat besar dalam pemeluk agama lain dan akan mengakibatkan perpecahan di Indonesia. Terutama wilayah NTB, NTT, Bali dan Papua adalah daerah dengan keyakinan non-Islam dan jika sila pertama tersebut berisi syariat Islam, maka akan terjadi perpecahan.
Soepomo selaku ketua panitia perancang Undang-Undang Dasar juga berpendapat bahwa “Indonesia tidak sama dengan negara-negara yang berlandaskan Islam seperti Saudi Arabia, Pakistan, atau Iran, karena Indonesia mempunyai karakter khusus dari penduduk, budaya, tradisi, pengalaman sejarah, dan kondisi geografisnya,” tulis Ardiyansyah dalam buku Islam Berdialog Dengan Zaman.
Baca juga:Imajinasi Tinggi Pembentuk dan Pemaknaan Lambang Garuda Pancasila
Akhirnya, Mohammad Hatta dengan Panitia Penghalus Bahasa yang beranggotakan Hoesin Djajadiningrat, Agus Salim, dan Soepomo melakukan perombakan terhadap kalimat pada sila pertama dan diganti dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Menurut Mohammad Natsir, Pancasila yang telah final ini selaras dengan prinsip-prinsip dasar Islam. Lima sila ini juga menjadi dasar etik, moril, dan spiritual bangsa Indonesia yang selaras dengan tauhid. Tauhid di lima sila ini juga terwujud dalam prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa yang menjadi landasan pertama (sila pertama).
Sila pertama Pancasila yang final ini akhirnya menyatukan semua umat beragama. Termasuk dalam kaidah agama Kristiani juga menjunjung Trinitas yang mana Bapa, Anak, dan Roh Kudus. Namun, satu pribadi, yaitu Allah. Kemudian juga keyakinan dari pemeluk Hindu atas Trimurti yang dianut membulatkan bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa atau satu.
Pancasila akhirnya disahkan tanggal 18 Agustus 1945 dan tanggal 1 Juni 1945 diperingati sebagai hari lahirnya Pancasila dalam rumusannya. Lalu,tahun 1965 tanggal 1 Oktober diperingati sebagai Hari Kesaktian Pancasila untuk mengenang kejadian yang terjadi saat 30 September 1965 (G30S-PKI).
Pandangan Agama terhadap Garuda Pancasila
Indonesia memperkenalkan kembali istilah Pancasila dengan makna baru dengan mempertahankan kata-kata lama. Pancasila mengingatkan tentang kebesaran peradaban Hindu dan Budha. Terlebih lagi sebelum masuknya Islam ke Nusantara. Ajaran dan kebudayaan yang berkembang disana adalah Hinduisme dan Budhisme, maka dari itu banyak candi-candi di Indonesia yang menggambarkan Garuda.
Pandangan Dr. I Nyoman Dayuh dari Kementerian Agama Kota Denpasar, bahwa burung memiliki arti kebebasan dalam Hinduisme dan Budhisme. Sebagaimana manusia harus memiliki kebebasan, tidak pula menjadi manusia yang tertindas dan tidak memiliki ketertekanan batin dan fisik sehingga menghasilkan bentuk kebijaksanaan dan kemerdekaan.
Kebebasan simbolik burung Garuda mengajarkan untuk selalu mengendalikan musuh-musuh yang ada dalam diri sendiri terutama yang dikenal dalam Hindu adalah pengendalian sifat Sad Ripu tentang sifat buruk manusia (hawa nafsu, rakus, marah, mabuk, iri hati, dan kebingungan).
Tradisi yang berkembang juga mengajarkan tentang kebebasan dan prilaku Garuda yang membawa Pancasila (Toleransi). Terutama ritual pelepasan burung saat perayaan Imlek oleh agama Budha dan Konghucu.
Pelepasan burung ini dimaknai sebagai penebar kebajikan untuk kehidupaan bahagia di alam. Sehingga mengindikasikan bahwa burung juga melambangkan kebebasan umat beragama.
Tidak hanya kebebasan dalam pemaknaan Garuda, tetapi juga toleransi dalam Pancasila. Pancasila bagi umat Kristiani juga menjadi simbolik yang menjunjung tinggi untuk terus bertoleransi. Terlebih lagi ajaran Trinitas tentang ketiga Pribadi ilahi (Bapa, Putra, dan Roh Kudus) juga memiliki keAllahan yang sama dan ketiganya senantiasa dalam harmoni. “Trinitas ini menjadi contoh pengajaran tentang kesatuan yang merangkul perbedaan khususnya bagi manusia Indonesia,” tulis Jacko Ryan dalam GKIManyar.org/19 Juni 2022.
Islam juga memberikan udara segar dalam pemaknaan Garuda Pancasila. Hosen dalam penelitiannya tentang simbol negara dalam Islam juga mengungkapkan, bahwa simbol kenegaraan adalah bentuk penghormatan atas dasar rasa cinta dan ungkapan semangat menjaga tanah air. Penghormatan kepada simbolik kenegaraan juga tentang mengenang perjuangan tokoh-tokoh yang berkorban untuk negara.
Baca juga:Mempelajari Lagu Garuda Pancasila dalam Seni Musik
Nabi Muhammad juga menggunakan panji-panji atau simbol dalam peperangannya. Dari Anas RA, ia berkata bahwa Rasulullah SAW menceritakan bagian dari perang Mu’tah, “Panji perang dipegang oleh Zaid, lalu ia gugur. Panji perang kemudian diambil alih oleh Ja’far bin Abi Thalib, ia pun kemudian gugur. Panji diraih oleh Abdullah bin Rawahah, ia pun gugur (sampai di sini kedua mata Rasulullah SAW berlinang air mata, kata Anas). Panji perang lalu diambil Khalid bin Walid dengan inisiatifnya. Ia maju menghantam pasukan musuh hingga mereka takluk di tangannya. (HR Al-Bukhari).
Ajaran-ajaran setiap agama tentu membawa bentuk Pluralisme dalam kebhinnekaan sehingga membuat persatuan akan Pancasila yang baik dengan akhirnya membuat masyarakat Indonesia menjadi lebih bermartabat.
Referensi:
- Hosen. (2021). Pandangan Agama Terhadap Simbol Negera Dalam Islam: Analisis Kedudukan, Landasan dan Penentuan Hukum Penghormatan Terhadap Bendera Di Tinju Dari Aspek Hukum Dalam Islam. Jurnal IAIN Madura. Vol 3 no 1
- Ardiansyah. (2018). Islam Berdialog Dengan Zaman. PT Elex Media Komputindo, Jakarta
- https://gkimanyar.org/trinitas-dan-kebhinekaan/
- https://uin-suka.ac.id/id/kolom/detail/144/menggali-makna-garuda-pancasila
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News