sembahyang rebut ritual budaya bumi serumpun sebalai - News | Good News From Indonesia 2024

Sembahyang Rebut, Ritual Budaya Bumi Serumpun Sebalai

Sembahyang Rebut, Ritual Budaya Bumi Serumpun Sebalai
images info

Sembahyang Rebut atau Chit Ngiat Pan adalah bentuk ritual penghormatan warga Tionghoa penganut Konghucu di Bangka Belitung kepada arwah leluhur. Kegiatan ini dilaksanakan setiap tanggal 15 bulan ke tujuh dalam kalender imlek di kelenteng – kelenteng yang ada di Babel.

Sehari sebelum perayaan Sembahyang Rebut, seluruh warga Tionghoa akan melakukan ibadah di rumah masing-masing untuk menghormati dan mendoakan para leluhur yang turun ke dunia.

Dalam kegiatan ini, warga akan datang untuk sembahyang dari pagi sampai malam sembari menunggu puncak ritual yakni pembakaran replika Thai Se Ja dan aksi rebutan.

Baca juga: Mengenal Suku-suku Tionghoa yang Ada di Indonesia

Prosesi Sembahyang Rebut

Pembakaran Replika Patung Thai Se Ja
info gambar

Proses ritual rebut diawali dengan menyiapkan sesajian dan perlengkapan lain seperti lilin dan dupa yang diletakkan di tempat khusus yang terbuat dari kayu dan papan, barulah dilanjutkan dengan sembahyang Toapekong.

Menurut Enjelly dan Suzy Azeharie dalam Jurnal Koneksi, acara resmi dilangsungkan dan dipimpin oleh Tatung dengan pembacaan mantra dan membuka kain yang ditutup di mata patung replika Thai Se Ja.

Setelah pembukaan selesai, masyarakat diperbolehkan untuk sembahyang di depan altar patung Thai Se Ja. Selama acara berlangsung terdapat berbagai kegiatan seperti atraksi barongsai dan pertunjukan-pertujukan lainnya.

Tatung atau ‘orang pintar’ akan kembali membaca mantra sebagai cara berkomunikasi dengan Toapekong untuk meminta izin penutupan acara. Jika Toapekong telah mengizinkan, ia akan masuk ke dalam tubuh tatung lalu bernyanyi dan berkomunikasi dengan dewa akhirat atau Thai Se Ja untuk memintanya mengajak seluruh arwah gentayangan kembali ke alamnya

Tepat pukul 00.00 WIB replika patung Thai Se Ja dibakar dan kegiatan rebut pun dimulai. Masyarakat dari segala lapisan dan latar belakang bertumpah ruah memperebutkan segala macam makanan atau barang-barang yang sudah disediakan

Makna Patung Thai Se Ja

Thai Se Ja merupakan patung yang menjadi tokoh utama selama ritual sembahyang rebut ini. Masyarakat Konghucu percaya Thai Se Ja dapat menjaga mereka dari arwah-arwah yang mengganggu.

Menurut Serlita Anggraini dan Teguh Hidayatul Rachmad dalam Jurnal Publikasi Ilmu Komunikasi Media dan Cinema, di setiap kelenteng, akan ditemukan patung replika Thai Se Ja dalam posisi duduk dengan tangan kiri patung memegang sebuah buku dan sebuah pena.

Buku dan pena bertujuan untuk mencatat amal perbuatan yang dilakukan oleh arwah-arwah yang bergentayangan.

Pembuatan Patung Thai Se Ja ini membutuhkan waktu sebulan karna kerangkanya terbuat dari bambu yang dirangkai dan dibungkus kain atau kertas lima warna yakni biru, hijau, merah, kuning, dan jingga. Selain itu, di pundak patung Thai Se Ja akan dipasang beberapa payung dan bendera sebagai simbol perlindungan dengan bendera yang tertulis huruf “林” Lin yang berarti manjur.

Salah Satu Bentuk Keharmonisan Umat Agama di Bangka

“Tongin Fangin Jit Jong” adalah semboyan masyarakat Bangka Belitung yang memiliki makna kesamaan dan kesetaraan antara etnis Tionghoa dan etnis Melayu. Pemaknaan ini dapat dilihat dari keharmonisan dari salah satu kegiatan budaya seperti Sembahyang Rebut.

Setiap tahunnya antusiasme kegiatan Sembahyang Rebut disambut baik oleh semua masyarakat. Mereka yang tidak mengikuti ritual sembahyang selalu menjaga ketertiban agar tidak menggangu prosesi. Begitu pula bagi masyarakat Tionghoa yang mempersilahkan agar tradisi budaya ini dapat dinikmati semua kalangan. Hal inilah yang menjadi bukti bahwa toleransi umat beragama di Bangka Belitung masih terjaga.

Baca juga: Memaknai Filosofi Tongin Fangin Jit Jong dalam Toleransi Beragama di Bangka Belitung

Seperti yang dilansir dari bangkatengahkab.go.id, Bupati Bangka Tengah, Algafry Rahman, dalam kegiatan Sembahyang Rebut di Kelenteng Setia Budi pada tahun 2023 lalu mengatakan kegiatan ini merupakan momen bagi masyarakat untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhannya dan hidup rukun antarsesama.

"Tradisi ini adalah bentuk rasa cinta masyarakat Tionghoa akan kepercayaannya, leluhurnya, sehingga mereka lebih dekat pula dengan Tuhannya. Ini juga sebagai modal untuk kita hidup rukun, damai, dan tentram,” tegasnya.

Sumber:

https://jurnal.amikom.ac.id/index.php/pikma/article/view/1425

https://journal.untar.ac.id/index.php/koneksi/article/view/27573

https://bangkatengahkab.go.id/berita/detail/kominfo/antusias-masyarakat-hadiri-sembahyang-rebut-masyarakat-tionghoa-algafry-bukti-nyata-toleransi-beragama

https://www.bangka.go.id/?q=content/bupati-bangka-hadiri-perayaan-sembahyang-rebut-di-desa-merawang

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

RH
KG
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.