catatan harian dari teluk telaga - News | Good News From Indonesia 2024

Catatan Harian dari Teluk Telaga

Catatan Harian dari Teluk Telaga
images info

Tidak bisa dipungkiri bahwa pada awalnya saya melihat Kuliah Kerja Nyata (KKN) sebagai rangkaian proses administratif semata untuk menyelesaikan kuliah dan mendapatkan gelar sarjana. Namun, setelah lebih dari satu bulan tinggal di Kecamatan Dusun Selatan, Barito Selatan, Kalimantan Tengah, perlahan perspektif saya terurai. Proses administratif dalam KKN terasa tidak seberat ketika menjalani kehidupan dengan cara warga setempat. Perbedaan secara kultur dan geografis cukup menjadi tantangan besar dalam menjalani keseharian di tempat ini. Berbagai cerita dan momen unik pun tidak luput dari pengalaman kami.

Siang itu, sebuah twit terkait KKN sempat lewat di timeline media sosial saya yang intinya: KKN tidak terlalu berdampak bagi warga. Hal tersebut cukup menohok bagi saya. Sebagai mahasiswa FISIPOL, jujur saja program kerja yang saya susun tidak memliki hasil se-”instan” teman-teman dari fakultas lain. Meskipun UGM sendiri sudah menegaskan bahwa memiliki prinsip KKN-PPM ini berfokus untuk memberdayakan warga, bukan membangun desa. Tentunya kami sebagai mahasiswa tidak memiliki kapasitas, kewenangan, ataupun waktu untuk melakukan pembangunan tersebut. Namun, ekspektasi atas hasil nyata KKN menjadi sebuah beban tersendiri yang cukup menjadi pikiran untuk saya. 

Minggu pertama kami habiskan seperti pada normalnya: observasi dan mengurus pondokan. Observasi memakan waktu yang relatif pendek karena desa yang kami tinggali terdiri dari kurang dari 200 kartu keluarga. Hal yang cukup menjadi tantangan adalah mengurus pondokan kami yang sudah lebih dari satu tahun tidak pernah ditinggali. Dengan keterbatasan yang ada, kami membersihkan dengan kemampuan kami. Memasak juga menjadi sebuah tantangan tersendiri, karena keterbatasan penyimpanan dan akses yang cukup susah dengan pasar. Warung-warung yang tersebar di sepanjang desa hingga desa tetangga hanya menyediakan kebutuhan pokok seadanya dan kebanyakan adalah penjual es serta pentol (jajanan wajib dalam keseharian kami). Dengan segala keterbatasan, kami harus tetap melakukan KKN dan hidup bersama selama 50 hari ke depan.

Antusiasme anak-anak di desa ini sungguh di luar ekspektasi kami. Kehebohan yang tidak kunjung usai bahkan hingga kami telah 30 hari lebih tinggal di sini. Cukup mengganggu karena pada awal keberadaan kami di sini mereka mendobrak-dobrak pintu dengan keras setiap kali kami ada di dalam rumah. Bangun pagi pun kami dibangunkan kehebohan mereka saat mengetuk-ngetuk pintu kami dengan semangat. Namun, saya tetap mengerti anak-anak dengan pola pikirnya yang sederhana itu. Mereka hanya penasaran dan mencari perhatian kami sebagai pendatang baru di desa mereka. Cukup diberi pengertian (yang jujur saja perlu banyak kesabaran) maka mereka juga akan mengerti dan pergi jika kami butuh istirahat. 

Butuh waktu lama bagi saya menemukan formula yang tepat untuk menghadapi anak-anak SD dan TK. Krusial bagi saya untuk menemukan ini karena semua program kerja yang saya usung bersinggungan dengan anak-anak. Tiga minggu pertama merupakan titik paling berat karena saya masih meraba cara berkomunikasi yang tepat. Berbagai pendekatan nyatanya malah membuat saya melihat berbagai perspektif lain. Kesenjangan pendidikan yang cukup nyata tidak bisa dilepaskan dari kompleksitas struktural yang bahkan terjadi di lingkup otoritas desa. Hal ini berdampak kepada aspek lain, seperti kesejahteraan para siswanya. Kesejahteraan siswa tidak lain adalah cerminan dari kesejahteraan para pengajar yang secara riilnya masih belum terpenuhi. Namun, dengan keterbatasan ini upaya untuk terus melanjutkan kegiatan pendidikan oleh para guru dan siswa di desa nyatanya masih tinggi. 

Hal lain yang saya amati selama lebih dari sebulan di sini adalah pendidikan anak di lingkup keluarga sangat berpengaruh terhadap pola perilaku mereka. Hampir dari setengah anak usia SD tidak tinggal bersama kedua orangtuanya secara lengkap. Mereka biasa ditinggal “begawi” atau bekerja jauh oleh ayah, ibu, atau kedua orangtua mereka. Tak heran bahwa akhirnya mereka mencari kasih sayang di tempat-tempat lain, salah satunya mahasiswa KKN. Bagaimana tidak? Orang yang baru saja mereka kenal nyatanya bisa memberikan perhatian yang mungkin tidak mereka dapatkan selama di rumah. Mahasiswa KKN datang membawa berbagai kegiatan baru, memberikan ilmu, dan harapan akan kehidupan yang lebih maju serta modern di luar desa mereka. Paparan akan kehidupan yang lebih layak dan cemerlang dari apa yang mereka dapatkan selama ini. Pengamatan saya tersebut pada akhirnya menjadi sebuah pegangan dalam melaksanakan program-program kerja di sini. Dengan niat yang ternyata lebih dari sekedar keperluan administratif, saya akhirnya bisa merasakan menjadi bagian dari masyarakat. Selayaknya tujuan saya sebagai mahasiswa yang pada akhirnya perlu kembali turun ke akar.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

KB
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.