tempat mereka bertani dan mengupayakan hidupnya dusun gunung agung desa temon pacitan - News | Good News From Indonesia 2024

Tempat Mereka Bertani dan Mengupayakan Hidupnya, Dusun Gunung Agung, Desa Temon, Pacitan

Tempat Mereka Bertani dan Mengupayakan Hidupnya, Dusun Gunung Agung, Desa Temon, Pacitan
images info

“Orang bilang tanah kita tanah surga. Tongkat kayu dan batu jadi tanaman.” Koes Plus

Mengusung suatu bentuk kepercayaan diri atas melimpahnya sumber daya alam di Indonesia, Koes Plus tidak sembarangan dalam menuliskan lirik lagunya. Masalahnya adalah hal itu berkebalikan untuk saat ini. Subsektor pangan yakni sektor pertanian telah membuat pekerjanya, hasil tanamnya, dan segala yang ada di dalamnya berada pada fase kritis.

Kemerosotan angka proporsi jumlah petani yang terjadi sejak tahun 1976 hingga 2019 adalah bukti bahwa pemerintah masih belum bisa mengoptimalkan sektor pertanian. Alhasil para petani mengandalkan hasil taninya “hanya” untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Bila terjadi surplus saat panen, petani harus dihadapkan pada kekecewaan. Pasalnya ketidakstabilan harga, permainan tengkulak, penolakan pasar, dan lain sebagainya belum mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah.

Terlebih lagi, segala upaya tani kerap dikonstruksi sebagai kemandirian petani dan kearifan. Pasalnya, kearifan lokal sebagaimana kemandirian pangan petani pun hanya produk romantisme pihak nonpetani. Romantisme tentu tidak menjawab masalah sentral di sektor pertanian.

KKN di Desa Srumbung, Pengembangan Pertanian dan Pariwisata oleh Mahasiswa UGM

Sudut pandang itu hanya membuat output petani atau produk luaran petani bagai angin segar di tengah padang gurun tandus. Petani digiring untuk tidak punya akses dalam meriset hasil taninya dan petani juga tidak punya kuasa atas kemandirian ekonominya.

Tim KKN UGM Temon bersama Pak Suryanto, Ketua Kelompok Tani Akur 11, Dusun Gunung Agung.
info gambar

Berdasarkan beberapa data dan ilustrasi yang telah disampaikan, penulis melakukan wawancara kepada beberapa petani di Dusun Gunung Agung pada Rabu (10/07). Penulis mewawancarai Suryanto, selaku ketua kelompok tani bernama Poktan Akur 11 dan Abdul Syafaat, selaku ketua RW 11 Dusun Gunung Agung, Desa Temon. Berikut temuan dan analisis penulis:

Masalah Utama Petani di Dusun Gunung Agung

Menurut Badan Pusat Statistik Pertanian Pacitan pada tahun 2022, besaran hasil tani di Kecamatan Arjosari terbilang cukup besar. Beberapa di antaranya adalah tanaman jahe, yakni sebesar 1.137 ton per tahun dan kunyit sebesar 2.175 ton per tahun. Namun, untuk optimalisasi penjualan hasil tani di Temon sendiri masih sangat minim.

Hal ini selaras dengan apa yang disampaikan oleh Syafaat, “orang sini tanahnya ndak terlalu besar, bisa dibilang untuk menggarap lahan itu lebih suka buat sendiri, hasile, ya,buatngisi-ngisi dapur aja.” Fokus pertanian pun masih sulit untuk dilakukan. “Karena di sini mayoritas itu orang petani itu petaninya amburadul. Pengennya semua ditanam. Nggak fokus satu macem, itu nggak ada,” ujar Syafaat.

Petani Dusun Agung Sedang Memisahkan Kencur
info gambar

Alasan Pembentukan Kelompok Tani

Kelompok tani merupakan bagian dari organisasi dan kelembagaan petani. Secara umum kelompok tani dibangun atas asas kesamaan tujuan dan secara khusus dibuat untuk menyokong peningkatan efisiensi usaha tani.

Peran Pertanian dalam Mendukung Kemandirian dan Keamanan Pangan

Bergerak dari tujuan itu, petani dapat mengupayakan langkah pengolahan lahan berdasarkan asas-asas yang telah disetujui dan disepakati. Namun, kendala pasti tidak dapat dihindari. Salah satunya berasal dari minimnya ketersediaan unsur pokok lahan seperti air, bibit, dan pupuk.

Kendala yang dialami oleh kelompok tani Akur 11 adalah pasokan pupuk. Pasalnya beberapa tahun kebelakang mereka menghadapi harga pupuk nasional yang tidak dapat diprediksi. Mereka tidak dapat sepenuhnya menggantungkan lahan pada penggunaan pupuk organik saja. Untuk mendapatkan pupuk yang berkualitas, mereka harus mencarinya di kota Pacitan atau Kabupaten Arjosari yang berjarak 5—6 kilometer dari kediaman mereka.

Namun, di kota pun mereka masih saja menghadapi ketidakpastian harga pupuk dan distribusi pupuknya. Oleh karena itu mereka menyatukan tenaga dan tujuan dengan membentuk kelompok tani yang sekarang disebut Poktan Akur 11.

Kan kita sebagai petani kita butuh obat-obatan, butuh pembibitan. Kita kan, akhirnya keluar dari desa Temon untuk mencarinya. Mayoritas ya, ke Arjosari. Karena kan, yang ada kios penjual resmi yang punya izin kan di Arjosari. Itu repot dan tidak pasti.” ucap Suryanto, ketua kelompok tani Akur 11.

Pupuk: Masalah Nasional di Tingkat Desa

Masalah pupuk sejatinya merupakan masalah nasional. Masalah pertanian ini memaksa tiap-tiap petani untuk mengupayakan dirinya sendiri. Sebab, kebijakan pemerintah belum dapat menerapkan asas pemerataan dalam pelaksanaannya. Seluruh inisiasi kebijakan selalu bersifat top down (atas ke bawah).

Relasi kuasa tentu sangat mempengaruhi petani sebagai pemangku sekaligus pelaksana kebijakan. Baur dan rekan (2024) mengatakan dalam artikelnya yang berjudul Compliance is Far from Standard: Relational Conditions of Access and Exclusion in Agriculture, inisiasi kebijakan yang terbalik ini menunjukkan rezim kekuasaan sektor pertanian yang timpang.

Huber dan rekan (2024) mengatakan dalam sebuah artikel jurnal yang berjudul Farm Typologies for Understanding Farm Systems and Improving Agricultural Policy, pemenuhan kebijakan yang berkaitan dengan lahan pertanian kerap kali bersifat one size fits all policy atau “satu kebijakan untuk semua”.

Praktik ini menunjukkan generalisasi yang kronis. Maksudnya yaitu mengandaikan kebijakan yang penerapannya “serba bisa” dan “serba mudah” pada pertanian manapun. Ini adalah kelanjutan dari hasil penerapan kebijakan yang seenaknya.

Kesadaran Mengonsumsi Sayuran Berkualitas Tinggi dengan Pertanian Organik

Salah satu solusi yang dilakukan oleh petani Dusun Gunung Agung untuk mengurangi generalisasi seperti itu adalah membuat kelompok tani. “Kami sedari awal pembentukan emang untuk pupuk dan kebutuhan lainnya mas, soalnya misalnya harga pupuk yang nonsubsidi itu bisa sampe 450 atau 500 ribu. Itupun belinya di Arjosari, ndak ada kalau di sini (Temon) mas. Kalau yang beli subsidi paling 125 atau 150 ribu”, ucap Suryanto.

Petani di Dusun Gunung Agung menghimpun dana untuk pembelian pupuk dan kebutuhan tani lainnya dalam tiap-tiap perkumpulan rutin. Besaran dana disesuaikan dengan besaran lahan dan keperluan tiap-tiap proses tanam. Hal ini cukup efektif menyelesaikan masalah pertanian yang sering mereka alami dan menekan pengeluaran mereka.

Petani Saat Ini

Berdasarkan analisis penulisan setidaknya ada dua poin penting yang dapat disimpulkan. Pertama, perasaan dilema petani dalam mengolah hasil taninya dapat dikurangi dengan pemenuhan pengetahuan pokok petani dan pembiayaannya. Kedua, kearifan lokal sebagai konstruksi sosial dan fokus pertanian harus dilihat sebagai modus ekonomi.

Dalam melihat suatu ketahanan pangan, sejatinya tidak hanya tentang kultur atau budaya, tetapi juga aspek ekonomi. Masyarakat Dusun Gunung Agung sangat sadar akan hal ini. Namun upaya untuk sampai kemapanan yang utuh masih sangat panjang.

Penguasaan lahan dan kebutuhan akan penghidupan sejatinya harus beriringan. Perihal itu membutuhkan kesadaran komunal yang besar. Dari situ petani dapat memetakan kebutuhan hidupnya dan beranjak dari kondisi yang seadanya menjadi segalanya. Setidaknya dalam tata cara memperoleh penghidupannya. Sehingga pada suatu saat nanti, tanah yang dipijak benar-benar terasa seperti surga dan airnya benar-benar segar menyegarkan bagai susu.

Penulis : Alit Akhiral, Tim KKN PPM UGM Temon 2024

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

KU
KG
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.