realita miris 79 tahun merdeka kesenjangan desa kota belum terselesaikan - News | Good News From Indonesia 2024

79 Tahun Merdeka, Kesenjangan Desa-Kota Belum Terselesaikan, Adakah Solusinya?

79 Tahun Merdeka, Kesenjangan Desa-Kota Belum Terselesaikan, Adakah Solusinya?
images info

Sejak lama, banyak yang berasumsi bahwa anak-anak yang hidup di desa itu tidak lebih pandai dari anak-anak kota atau mungkin daya saingnya tidak sehebat anak-anak yang ada di kota. Tentu saja, akan banyak data dan fakta yang menyangkal anggapan itu.

Meski begitu, masih banyak terlihat pada anak-anak yang tumbuh di pedesaan atau daerah nan jauh dari ibu kota merasakan kualitas dirinya berbeda dari anak-anak yang tumbuh di perkotaan (minder).

Jika dilihat dari situasi dan kondisi hari ini, perasaan yang muncul tidaklah dapat dipungkiri, atau cenderung kita dapat dikatakan sebagai hal yang wajar. Mengapa bisa dikatakan seperti itu? Mungkin jika melihat anak desa dan anak kota melalui sudut pandang sebagai manusia, mereka sama.

Tidak ada faktor lain yang membedakan keduanya dari unsur yang seharusnya melekat pada manusia. Mereka sama-sama dianugerahi pikiran, hati, penglihatan, dan macam-macam lainnya.

Namun, terlalu banyak sudut dan kacamata yang dapat digunakan untuk melihat kedua jenis golongan yang sudah terlanjur terbelah menjadi dua ruang sosial yang berbeda itu. Sesederhana tren dan kebiasaan yang terang berbeda di antara keduanya, ya, di desa dan di kota.

AIESEC in UNS Ajak Anak Muda Hadapi Tantangan Pendidikan Melalui Impact Circle 7.0

Hal ini tentu akan mempengaruhi banyak hal dari banyaknya unsur kehidupan manusia itu sendiri, pola didik, pola asuh, gaya bicara, dan juga mempengaruhi apa yang dibicarakan.

Di desa yang mayoritas penduduknya adalah petani misal. Pembicaraan yang ada di dalam ruang sosial tersebut tidak membahas soal ANIME LITTLE RE-CONCERT, salah satu dari banyaknya event-event Jepang yang sering diadakan di Jakarta.

Mungkin ada, tapi tidak seramai apa yang dibicarakan orang-orang yang ada di Jakarta. Hal ini akan mempengaruhi tren dan pola-pola lain yang ada pada lini kehidupan manusia yang ada di dalamnya, mulai dari anak-anak, remaja, hingga orang tua.

Sama hal dengan situasi yang ada di kota. Dengan kehidupan yang dikelilingi oleh industri-industri raksasa, mereka akan jarang membahas soal kebiasaan hidup yang dilakukan orang desa. Pembicaraan mereka tidak membahas waktu-waktu yang baik untuk melakukan tanam di kebun atau di sawah.

Mereka tidak memahaminya, kalaupun ada, jumlahnya akan sangat sedikit. Di kota, manusianya lebih dekat dengan teknologi dan pelbagai kemajuan lainnya. Hal ini juga akan mempengaruhi banyak pola yang menentukan kebiasaan dan watak dari kelompok ini.

Penulis tidak bermaksud menyudutkan salah satu di antara kedua kelompok ruang sosial tersebut.

Namun, tidak dapat disangkal bahwa fasilitas hidup modern yang akan membantu banyak kehidupan manusia akan sangat mudah ditemukan di kota daripada di desa. Tren yang terbangun, serta kebiasaan pula yang akan menjadi faktor penentu, mengapa hal ini bisa terjadi.

Anak-anak di kota meski masih duduk di bangku sekolah dasar, akan sangat mudah menemukan English Club untuk membantu proses belajar bahasa Inggrisnya. Orang tua yang sibuk bekerja akan sangat mendukung kegiatan positif yang dilakukan anak-anaknya.

Sekolah Tamanan, Ruang Pendidikan Anak-anak Keraton Yogyakarta Sejak 1757

Anak-anak di kota terbiasa berbaur dengan orang baru, yang kemudian akan menentukan karakter dan membentuk keberanian darinya di kemudian hari. Meskipun banyak mereka yang di kota yang merasakan sepi dari keluarganya, sedangkan di desa, anak-anak memiliki banyak waktu dan mendapat kehangatan dari keluarganya.

Namun tidak seperti di kota, kenyataannya masih banyak terlihat sekolah yang tidak terakses oleh internet atau justru wilayah perkampungannya masih terisolasi, baik dari akses jaringan atau minimnya infrastruktur publik lainnya. Misalnya jalan rusak, tidak adanya listrik sebagai akses penerangan, dan masih banyak lainnya.

Pentas kebudayaan yang dilakukan anak-anak kota akan terlihat sangat mewah karena didukung dengan ornamen teknologi yang memadai diliput media sana sini. Meski mungkin, yang lebih memahami kebudayaan lokal bisa jadi adalah anak-anak yang tumbuh di desa.

Ini adalah fakta miris yang terjadi. 79 tahun kemerdekaan, pemerintah belum mampu menuntaskan kekeliruan yang ada. Terlebih dampak buruknya, terbangun stigma seperti apa yang sudah disebutkan pada paragraf awal.

Bung Hatta pernah berkata, “Indonesia tidak akan besar karena obor di Jakarta, tapi Indonesia akan bersinar karena lilin-lilin di desa.”

Masa Depan Indonesia: Anak Muda Optimis pada Sektor Pendidikan dan Kebudayaan

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

RG
KG
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.