Nama kampung di Yogyakarta menyesuaikan filosofi tempat maupun pekerjaan warganya, termasuk Jogokariyan. Kampung ini dulunya merupakan salah satu permukiman para prajurit Keraton Yogyakarta.
Dinukil dari Harian Yogyakarta, Jogokariyan berasal dari nama satuan prajurit Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Jogo berarti menjaga, kariyo memiliki arti pekerjaan atau tugas sehingga memiliki arti wilayah yang pekerjaannya sebagai penjaga.
Lava Tour Merapi: Paket, Destinasi, dan Tipsnya
Dari pendirian keraton hingga Kota Yogyakarta pada 1755 hingga Geger Sepehi pada 1812, perkampungan prajurit menempati area dalam benteng. Tetapi karena penghuninya sudah mulai penuh, Sultan Hamengkubuwono II mencari tempat lain.
“Semasa fungsionalnya, ada sekitar 750 prajurit. Semula markasnya ada di dalam benteng Kraton, tetapi ketika penghuni di dalam benteng sudah padat, pada masa Sri Sultan HB IV, memindahkan abdi dalam prajurit keluar dari benteng,” kata Ketua Rukun Kampung Jogokariyan, Muhammad Jazir.
Babat hutan
Para prajurit dan keluarganya lalu membuat permukiman di sisi paling selatan Kraton, yang berbatasan dengan hutan tempat raja berburu yaitu Hutan Krapyak. Bagian utara dari hutan ini kemudian dijadikan kampung prajurit yang kelak bernama Jogokariyan.
Di sebelah utara, Kampung Jogokariyan berbatasan dengan Kampung Mantrijeron, sebelah timur berbatasan dengan Jalan Parangtritis, di arah selatan berbatasan dengan Kampung Krapyak, serta sebelah barat berbatasan dengan Jalan Panjaitan.
Awas, Tempat Wisata di Yogyakarta Ini Tidak Boleh Dikunjungi Bersama Pasangan
“Keberadaan prajurit yang berada di luar semakin memaksimalkan perannya untuk menjaga kraton,” jelasnya.
Seragam prajurit Jogokariyan dinamakan papasan yang berasal dari kata dasar papas, menjadi ampasan yang berarti menghancurkan. Prajurit ini memang dijuluki sebagai pasukan pemberani yang menghancurkan musuh.
Kehilangan fungsi
Tetapi pada masa Sri Sultan HB VIII, prajurit dari Kampung Jogokariyan ini tidak lagi berfungsi. Pasalnya perannya sebagai prajurit tempur sudah dilucuti oleh tentara Belanda dengan membangun Benteng Vredeburg di utara Kraton.
“Seiring berjalannya waktu tinggal jadi prajurit untuk upacara, anggotanya dari 750 menjadi sekitar 75 orang untuk upacara adat,” jelasnya.
Tidak hanya menurun dari sisi jumlah, tetapi warga yang tinggal di Jogokariyan mulai berbagai. Tidak semuanya merupakan keturunan para prajurit dari masa lalu. Keturunan prajurit hanya tinggal satu orang dan baru saja meninggal dunia.
Bagi Pejalan Kaki, Berikut 4 Kota dengan Jalur Pedestrian Terbaik di Indonesia!
Walau tidak ada keturunan prajurit lagi, anak muda di Jogokariyan masih menghidupi warisan budaya dengan menjadi bregodo. Anggotanya para anak muda yang mengisi berbagai agenda di wilayah tersebut.
“Agenda rutin bregodo latihan, saat ada upacara, prajurit perlu punya keahlian khusus seperti musik dan lainnya. Untuk Sabtu dan Ahad (bregedo) melayani tamu masjid, mengenalkan kalau ini prajurit Jogokariyan, isinya anak-anak muda, untuk melestarikan” kata Jazir.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News