Krisis ekonomi yang terjadi pada 1997—1998 telah menyebabkan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat turun dengan drastis. Pada awal tahun 1998, nilai tukar rupiah sendiri telah mencapai angka Rp11.200 per dolar AS. Anjlok nilai rupiah menyebabkan berbagai masalah ekonomi bagi Indonesia, seperti inflasi yang tinggi, melambatnya pertumbuhan ekonomi, serta naiknya angka kemiskinan.
Pada tanggal 21 Mei 1998, BJ Habibie dilantik menjadi Presiden Indonesia menggantikan Soeharto yang mengundurkan diri. Pada masa awal Presiden Habibie menjabat, beliau dihadapi dengan banyaknya pekerjaan rumah yang besar seperti yang telah disebutkan sebelumnya, yang menyebabkan pemerintah Indonesia kehilangan public trust.
Pada 1 Juni 1998, rupiah berada di angka terendahnya dalam sejarah, yaitu di angka Rp16.800 per dolar AS. Di Indonesia, penarikan dana besar-besaran menerpa bank-bank sejak tahun 1997 karena nasabah khawatir dana simpanan mereka hilang.
Pada 6 Oktober 1998. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) jatuh dari level psikologis 500 ke 258, dan disintegrasi bangsa menyeruak. Melihat situasi tersebut, Presiden Habibie pun segera bertindak dengan cepat untuk memulihkan kondisi ekonomi Indonesia. Faktor domestik dan faktor global menjadi pengaruh berhasilnya Presiden Habibie mengembalikan posisi nilai tukar rupiah.
Restrukturisasi perbankan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia juga merupakan faktor yang berkontribusi terhadap penguatan rupiah. Pemerintah membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) untuk melakukan restrukturisasi dan rekapitulasi perbankan.
Wisata di Dalam Negeri, Cocok Dilakukan Saat Rupiah Melemah?
Hal ini bertujuan untuk memperbaiki kondisi perbankan Indonesia yang menjadi salah satu penyebab krisis ekonomi 1997—1998. Juli 1999, terbentuklah Bank Mandiri hasil dari merger-nya Bank Bumi Daya, Bank Ekspor Impor, Bank Dagang Negara, dan Bank Pembangunan Indonesia.
Diikuti dengan merger-nya delapan bank lainnya untuk bersatu menjadi Bank Danamon, dan dua bank lainnya yang merger membentuk Bank Hanvit.
Langkah besar juga diambil oleh pemerintah indonesia, yaitu memisahkan antara Bank Indonesia dari pemerintah. Dengan diambilnya langkah tersebut BI menjadi suatu lembaga independen yang tidak lagi diperintah atau ditekan oleh para pemegang kuasa.
Kebijakan moneter yang ketat yang dilakukan oleh Bank Indonesia (BI) merupakan salah satu faktor utama yang berkontribusi terhadap penguatan rupiah. BI menaikkan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) hingga 70% untuk menarik dana dari masyarakat dan mengurangi jumlah uang yang beredar.
Hal ini menyebabkan biaya pinjaman menjadi lebih mahal, sehingga mengurangi permintaan barang impor dan meningkatkan ekspor.
Kenaikan suku bunga SBI memiliki dampak yang signifikan terhadap permintaan barang impor. Hal ini karena semakin tinggi suku bunga, maka semakin mahal biaya pinjaman untuk membeli barang impor. Akibatnya, impor menjadi lebih mahal dan kurang menarik bagi masyarakat.
Kenaikan suku bunga SBI juga memiliki dampak yang positif terhadap ekspor. Hal ini karena semakin tinggi suku bunga, maka semakin menarik bagi investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Akibatnya, investasi meningkat dan mendorong ekspor.
Pada masa kepemimpinan Habibie, inflasi tahunan turun dari 77,6% pada tahun 1998 menjadi 2,0% pada tahun 1999. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan moneter yang ketat yang dilakukan BI berhasil mengendalikan inflasi, melansir Databoks, 2018.
Potensi Ekonomi Kurban 2024 Diperkirakan Tembus 28 Triliun Rupiah
Kebijakan fiskal yang disiplin yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia juga merupakan faktor yang berkontribusi terhadap penguatan rupiah. Pemerintah melakukan pengurangan anggaran belanja dan peningkatan penerimaan pajak.
Hal ini menyebabkan defisit anggaran berkurang dan memperkuat kepercayaan investor terhadap perekonomian Indonesia. Kebijakan fiskal yang disiplin yang dilakukan pemerintah juga berhasil meningkatkan kepercayaan investor terhadap perekonomian Indonesia.
Defisit anggaran turun dari 8,7% pada tahun 1998 menjadi 3,3% pada tahun 1999. Hal ini juga membuat rupiah menjadi lebih stabil dan dapat diprediksi.
Pengurangan anggaran belanja pemerintah menyebabkan pemerintah mengeluarkan lebih sedikit uang untuk belanja barang dan jasa. Akibatnya, jumlah uang yang beredar di masyarakat berkurang.
Peningkatan penerimaan pajak menyebabkan pemerintah memiliki lebih banyak dana untuk dibelanjakan. Dana ini dapat digunakan untuk membiayai pembangunan infrastruktur dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Pemulihan ekonomi global menyebabkan permintaan terhadap produk-produk ekspor Indonesia meningkat. Pada tahun 1999, ekonomi global tumbuh sebesar 4,2%. Hal ini merupakan pertumbuhan yang signifikan setelah mengalami kontraksi sebesar 0,5% pada tahun 1998.
Peningkatan harga komoditas juga berkontribusi pada penguatan rupiah. Harga komoditas, seperti minyak sawit, batu bara, dan tembaga, meningkat pada masa kepemimpinan Habibie. Hal ini juga meningkatkan ekspor Indonesia. Pada tahun 1999, harga minyak sawit meningkat sebesar 30%, harga batu bara meningkat sebesar 20%, dan harga tembaga meningkat sebesar 15%.
Penguatan rupiah di masa kepemimpinan Habibie memiliki dampak positif yang signifikan terhadap perekonomian Indonesia. Dampak tersebut antara lain adalah meningkatkan daya saing ekspor. Nilai tukar rupiah yang lebih rendah membuat barang-barang ekspor Indonesia menjadi lebih murah dan kompetitif di pasar internasional.
Lestarikan Tradisi Berkat Raksasa, Warga Kebumen Rela Habiskan Jutaan Rupiah
Hal ini dapat meningkatkan ekspor dan mendorong pertumbuhan ekonomi, mengurangi beban utang luar negeri. Nilai utang luar negeri yang dinyatakan dalam rupiah menjadi lebih rendah seiring dengan penguatan rupiah. Hal ini dapat mengurangi beban pembayaran utang luar negeri pemerintah Indonesia, meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Penguatan rupiah dapat menurunkan harga barang-barang impor, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Penguatan rupiah di masa kepemimpinan Habibie merupakan hasil dari kombinasi faktor dalam dan luar negeri. Faktor dalam negeri, seperti kebijakan moneter dan fiskal yang ketat, serta peningkatan ekspor, berperan penting dalam penguatan rupiah.
Sementara itu, faktor luar negeri, seperti pemulihan ekonomi global dan peningkatan harga komoditas, juga turut berkontribusi pada penguatan rupiah. Penguatan rupiah di masa kepemimpinan Habibie memiliki dampak yang positif bagi perekonomian Indonesia.
Hal ini membuat rupiah menjadi lebih stabil dan dapat diprediksi, sehingga meningkatkan kepercayaan investor terhadap perekonomian Indonesia. Selain itu, penguatan rupiah juga meningkatkan daya beli masyarakat dan mengurangi biaya impor.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News