Lawu merupakan salah satu gunung di Indonesia yang dikenal dengan sederet mitos yang beredar. Kawan tentu pernah mendengar salah satu mitos yang berkaitan dengan gunung yang berada di Jawa Timur tersebut bukan?
Gunung Lawu yang menjadi salah satu dari tujuh puncak tertinggi atau seven summit di Pulau Jawa memang menjadi tujuan bagi para pendaki. Berbagai mitos yang beredar tidak mengurangi minat dari gunung yang terkenal dengan Warung Mbok Yem tersebut.
Apa saja mitos yang berkembang di tengah masyarakat terhadap gunung yang secara administratif berlokasi di tiga kabupaten berbeda ini?
Mitos Gunung Lawu
Terdapat beberapa mitos yang beredar di tengah masyarakat berkaitan dengan Gunung Lawu. Mitos ini diturunkan secara turun temurun dan masih bisa Kawan temui ceritanya hingga saat sekarang.
Dilansir dari artikel Melyani Ekasari dan Nugroho Trisnu Brata yang berjudul "Fungsi Mitos, Etika Lingkungan dan Integrasi pada Aktivitas Mendaki Gunung Lawu," berikut ini sederet mitos yang dipercayai oleh masyarakat sekitar terkait Gunung Lawu.
Mitos Orang Cepu-Bojonegoro yang Dilarang Mendaki ke Gunung Lawu, Benarkah?
1. Larangan Memakai Baju Hijau
Mitos pertama yang bisa Kawan jumpai terkait Gunung Lawu adalah adanya larangan menggunakan pakaian berwarna hijau, khususnya bagi para pendaki. Hal ini disebabkan karena pakaian berwarna hijau dianggap keramat untuk digunakan di Gunung Lawu.
Jika pendaki tetap menggunakan pakaian dan atribut lain berwarna hijau, maka dikhawatirkan mereka akan mendapatkan gangguan selama perjalanan.
2. Mitos Jalak Lawu
Jalak Lawu merupakan mitos berikutnya yang berkembang terkait gunung ini. Jalak Lawu dianggap sebagai burung penunjuk arah yang bisa membantu orang yang tersesat ketika berada di gunung tersebut.
Mitosnya Jalak Lawu diyakini merupakan jelmaan dari Kyai Jalak. Kepercayaan lain juga meyakini bahwa Jalak Lawu ini memiliki kaitan erat dengan Prabu Brawijaya V yang moksa di Gunung Lawu.
3. Larangan Orang Cepu Mendaki Gunung Lawu
Mitos lain yang berhubungan dengan Gunung Lawu adalah adanya larangan mendaki bagi orang yang berasal dari Cepu. Mitos ini juga diyakini memiliki hubungan erat dengan kisah Prabu Brawijaya V yang ada di gunung tersebut.
Menurut cerita yang beredar, Prabu Brawijaya V yang ingin mengasingkan diri ke Gunung Lawu dikejar oleh Adipati Cepu bersama pasukannya. Akibat peristiwa ini, Prabu Brawijaya V mengucapkan sumpah yang berisi tentang siapa saja anak keturunan dari Adipati Cepu akan mengalami bahaya ketika mendaki Gunung Lawu.
Mitos yang beredar inilah yang memunculkan adalah larangan bagi orang Cepu untuk mendaki Gunung Lawu agar bisa menghindari bahaya yang mungkin terjadi.
Legenda Brawijaya V, Misteri dan Keindahan Gunung Lawu
4. Larangan Mendaki dengan Rombongan yang Berjumlah Ganjil
Mitos berikutnya yang berkaitan dengan Gunung Lawu adalah adanya larangan rombongan dengan jumlah anggota ganjil untuk mendaki. Sebenarnya mitos tentang rombongan anggota ganjil ini juga bisa Kawan jumpai di beberapa gunung lain yang ada di Indonesia.
Larangan ini didasari oleh kepercayaan Jawa yang menganggap angka ganjil sebagai sebuah hal yang keramat. Jika rombongan pendaki berjumlah ganjil, maka dikhawatirkan mereka akan digenapkan oleh makhluk tidak kasat mata yang bisa mengganggu proses perjalanan.
5. Mitos Gunung Lawu yang Memiliki Nyawa
Gunung Lawu juga diyakini memiliki nyawa tersendiri dalam kepercayaan masyarakat sekitar. Gunung ini dianggap seolah-olah hidup, sehingga bisa mengetahui tindakan manusia yang ada di dalamnya.
Jika seseorang berbuat hal yang tidak sepatutnya, maka Gunung Lawu diyakini akan membalas tindakan yang dilakukan tersebut.
6. Mitos Pasar Setan
Mitos terakhir yang berkembang tentang Gunung Lawu adalah Pasar Setan atau Pasar Dieng. Pasar Setan ini merupakan tempat mistis yang diyakini oleh masyarakat sebagai tempat jual beli makhluk gaib yang mendiami gunung tersebut.
Lokasi Pasar Setan ini berada di sekitar pos 5 pendakian Gunung Lawu via Candi Cetho.
Sumber:
- Ekasari, M. (2023). Fungsi Mitos, Etika Lingkungan dan Integrasi pada Aktivitas Mendaki Gunung Lawu. Indonesian Journal of Conservation, 12(2), 149-159.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News