Apa yang salah dengan anak muda memimpin? Apa yang salah dengan dinasti? Apa yang salah dengan seorang orang tua membantu anaknya?
Pertanyaan-pertanyaan ini sering kali kita dengar ketika mengamati diskursus yang terjadi antara pihak yang pro dengan Presiden Joko Widodo dengan pihak-pihak oposisi.
Semua perdebatan ini bermula dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 90/PUU-XXI/2023, terkait batas usia minimal calon presiden dan wakil presiden, pada UU No. 7 Tahun 2017 tentang pemilu pada Senin, 16 Oktober 2023. Tidak lama berselang setelah putusan MK ini, pada Minggu, 22 Oktober 2023, Gibran Rakabuming Raka, putra sulung dari Presiden Joko Widodo resmi diusung menjadi calon wakil presiden bersama dengan Prabowo Subianto sebagai calon presiden untuk pemilu presiden dan wakil presiden (pilpres) tahun 2024.
Tidak lama setelah berakhirnya pilpres tahun 2024 melalui putusan MK dalam sidang sengketa penetapan presiden, pada 24 April 2024, yang dimenangkan oleh pasangan Prabowo-Gibran, Mahkamah Agung (MA) mengubah ketentuan soal batas usia penetapan calon kepala daerah, melalui putusan MA nomor 2023/P/HUM/2024 pada 29 Mei 2024.
Hal ini disinyalir oleh banyak pihak untuk memuluskan pencalonan putra bungsu Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep dalam kontestasi Pemilihan Kepala Daerah Jakarta 2024 mendatang.
Dinasti Politik di Indonesia, antara Dampak Positif dan Dampak Negatif
Hal yang Perlu Dikritisi terhadap Putusan MA Nomor 2023/P/HUM/2024?
Dikutip Halaman 61 dari putusan MA nomor 2023/P/HUM/2024 menyebutkan bahwa “Membatasi usia pencalonan 30 tahun bagi Gubernur/Wakil Gubernur, dan usia pencalonan 25 Tahun bagi Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota sejak penetapan pasangan calon oleh Termohon.”
Hal ini kemudian diperkuat oleh intensi dari adanya putusan tersebut pada halaman 62 yang menyebutkan bahwa “namun tidak menggambarkan keseluruhan original intent yang terkandung dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016, bahkan memangkas original intent Undang-Undang tersebut. Terutama untuk mengakomodir kesempatan anak-anak muda untuk ikut serta membangun bangsa dan negara”. Kedua kutipan ini menunjukkan bahwa putusan ini ada untuk membuka kesempatan untuk dapat berpartisipasi dalam kontestasi politik.
Anak Muda Manakah yang Dimaksud oleh MA?
Batas usia ini dinilai terlalu spesifik bagi pihak tertentu. Mengapa demikian?
Menggarisbawahi pernyataan “sejak penetapan pasangan calon oleh Termohon” yang kemudian berubah menjadi “saat pelantikan”. Dengan demikian, apabila menggunakan “sejak penetapan pasangan calon oleh Termohon” sebagai landasan, maka Kaesang tidak dapat dicalonkan menjadi calon kepala daerah.
Sebab, Kaesang akan berusia 30 tahun pada 25 Desember 2024 mendatang. Sedangkan KPU melakukan penetapan pasangan calon kepala daerah pada 22 September 2024, yang mana Kaesang belum cukup umur apabila tetap menggunakan peraturan ini.
Strategi Hedging dan Politik Bebas-Aktif Indonesia dalam Ketegangan Laut China Selatan
Sehingga dengan adanya perubahan yang mana penghitungan usia dilakukan saat pelantikan, dan apabila mengikuti timeline pilkada oleh KPU, maka diperkirakan pelantikan akan dilangsungkan pada awal tahun 2025 atau kurang lebih 1 bulan setelah Kaesang berulang tahun yang ke-30.
Hal ini tentu bisa dinilai tidak cukup adil, apabila mengikuti intensi MA yang mana ingin mengakomodir kesempatan anak-anak muda, untuk ikut serta dalam pembangunan negara melalui partisipasi dalam pilkada.
Srbab, semisal ada anak muda yang lahir di bulan November, maka disayangkan mereka tidak dapat berpartisipasi dalam kontestasi, atau dengan kata lain mereka bukanlah “anak muda” yang dimaksud oleh MA dalam putusan ini.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News