Pohon Kratom (Mitragyna speciosa) telah lama dikenal sebagai bagian integral dari warisan pengobatan tradisional di Asia Tenggara. Tumbuhan ini banyak tumbuh di Indonesia, Malaysia, dan Thailand, dan kini menarik perhatian global karena potensinya sebagai sumber ekonomi dan manfaat kesehatan. Namun, seiring dengan potensi tersebut, juga terdapat kontroversi mengenai legalitas dan efek samping yang ditimbulkan oleh tanaman ini.
Menariknya, Presiden Joko Widodo memerintahkan Kementerian Kesehatan, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk meneliti lebih lanjut manfaat tanaman kratom yang disebut memiliki kandungan narkotika. Pasalnya, presiden Jokowi dengan serius ingin memaksimalkan potensi dagang tanaman kratom Indonesia.
Apa Itu Kratom?
Kratom merupakan tanaman dari suku Rubiaceae, yang sama dengan tanaman kopi. Pohon ini memiliki batang lurus dengan kulit berwarna abu-abu kecoklatan, dan daunnya bervariasi antara hijau hingga coklat kemerahan. Kratom tumbuh subur di daerah yang dekat dengan aliran sungai, terutama pada tanah aluvial yang kaya bahan organik. Di Indonesia, khususnya di Kalimantan, kratom telah menjadi sumber penghasilan penting, terutama saat komoditas lain seperti karet mengalami penurunan harga.

Kandungan Senyawa dan Manfaat Kesehatan
Daun kratom mengandung beberapa senyawa alkaloid, termasuk mitragynine dan 7-hydroxymitragynine, yang dikenal memiliki efek analgesik dan psikoaktif. Senyawa-senyawa ini memiliki berbagai manfaat:
- Mitragynine: Memiliki efek 13 kali lebih kuat dari morfin dan bekerja sebagai analgesik yang efektif.
- 7-Hydroxymitragynine: Senyawa ini juga berfungsi sebagai pereda nyeri yang efektif.
- Speciogynine dan Paynantheine: Berperan dalam mengurangi kontraksi otot dan memiliki efek penghilang rasa nyeri.
Secara tradisional, kratom digunakan untuk mengatasi nyeri, rematik, asam urat, hipertensi, diabetes, dan beberapa masalah kesehatan lainnya. Pada dosis rendah, kratom dapat memberikan efek stimulan, sementara pada dosis tinggi menghasilkan efek sedatif.
Kontroversi dan Tantangan Legalitas
Meskipun banyak manfaat yang diklaim, kratom juga dikenal memiliki efek samping yang berbahaya jika dikonsumsi dalam dosis tinggi, termasuk risiko kejang, psikosis akut, dan bahkan kematian. Oleh sebab itu, status legalitas kratom menjadi topik yang rumit. Di Indonesia, kratom saat ini digolongkan sebagai narkotika oleh Badan Narkotika Nasional (BNN). Namun, dalam rapat yang dipimpin oleh Presiden Joko Widodo pada 20 Juni 2024, Kementerian Kesehatan menyatakan bahwa kratom tidak termasuk dalam kategori narkotika, meskipun memiliki efek sedatif.
Pemerintah Mengatur Ekspor dan Produksi
Presiden Jokowi melihat potensi ekonomi dari kratom dan ingin memaksimalkan perdagangan tanaman ini. Untuk itu, pemerintah berencana mengatur tata kelola, tata niaga, dan legalitas kratom. Standardisasi produk yang bisa diekspor menjadi prioritas agar kratom Indonesia dapat diterima di pasar internasional tanpa ditolak karena kualitas yang buruk atau kontaminasi dengan bakteri berbahaya seperti E.coli dan Salmonella.

Proses standardisasi akan diawasi oleh BPOM dan surveyor, serta melibatkan Kementerian Pertanian untuk meningkatkan produksi kratom. Legalitas penggunaan kratom akan ditentukan berdasarkan hasil riset lebih lanjut oleh BRIN, yang diinstruksikan untuk meneliti batas aman dari zat sedatif dalam kratom.
Pohon Kratom, atau purik, memiliki potensi besar sebagai sumber penghasilan dan sebagai tanaman obat dengan berbagai manfaat kesehatan. Namun, pemanfaatannya harus diimbangi dengan regulasi yang tepat untuk menghindari penyalahgunaan dan efek samping yang berbahaya. Riset yang mendalam dan pengaturan yang ketat diperlukan agar potensi kratom dapat dimaksimalkan dengan aman, baik bagi masyarakat lokal maupun dalam perdagangan internasional. Dengan kebijakan yang tepat, kratom dapat menjadi "pohon uang" yang tidak hanya menguntungkan secara ekonomi tetapi juga bermanfaat bagi kesehatan.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News