Kalender lokal atau kalender tradisional masyarakat turut mewarnai keragaman di Indonesia. Meskipun pemerintah telah menetapkan kalender nasional yang berpedoman pada pergerakan bumi mengelilingi matahari (revolusi bumi), nyatanya masyarakat Indonesia masih tetap melanggengkan dan berpatokan pada kalender lokal.
Oleh karena itu, hingga kini masih banyak tradisi di Indonesia yang digelar berdasarkan pada kalender tradisional.
Misalnya saja masyarakat Jawa yang memiliki kalender Jawa. Konon, kalender ini merupakan hasil gubahan Sultan Agung dari Kerajaan Mataram Islam dengan mengakulturasikan sistem penanggalan Jawa – Hindu – Islam. Penanggalan ini menghasilkan sistem kalender Jawa Islam.
Lantas, apa saja aspek yang ada di dalam kalender Jawa Islam?
Mengenal 6 Jenis Kalender Lokal yang Masih Digunakan di Indonesia
Sejarah Terbentuknya Sistem Penanggalan Jawa Islam atau Kalender Jawa Islam
Banyak sumber yang menyebut Sultan Agung, raja ketiga dari Kerajaan Mataram Islam. Akan tetapi, ada catatan lain yang menyebut sistem penanggalan Jawa Islam telah ada sejak masa pemerintahan Kerajaan Demak, kerajaan Islam pertama di pulau Jawa.
Dilansir dari Kalender Jawa Islam Sultan Agungan di Kesultanan Yogyakarta tulisan Siti Marhamah, serat Widya Pradhana yang kini tersimpan di Perpustakaan Pura Pakualaman menyebutkan, kalender Jawa-Islam dirumuskan oleh Sunan Giri II atau Sunan Dalem.
Beliau adalah putra pertama Sunan Giri atau Muhammad Ainul Yaqin atau biasa juga dikenal Raden Paku. Sunan Giri II yang bernama asli Syekh Maulana Zainal Abidin atau biasa juga disebut Sunan Dalem merupakan sultan ke-2 Kesunanan Giri atau Giri Kedaton yang terletak di Gresik pada tahun 1506. Saat itu, Giri Kedaton memiliki hubungan dengan Kerajaan Demak pada masa pemerintahan raja kedua Demak, yaitu Sultan Trenggana.
Oleh karena itu, serat Widya Pradhana menyebutkan, kalender Jawa Islam telah dirumuskan oleh Sunan Giri dan sudah digunakan sejak zaman kerajaan Demak.
Penuh Kisah Menarik, Inilah Sejarah dan Perjalanan Kalender Jawa
Kemudian, sumber kedua menjadi catatan yang paling masyhur di kalangan masyarakat Jawa. Kalender Jawa-Islam merupakan hasil pemikiran raja ke-3 dari Mataram Islam, yaitu Sultan Agung Hanyokrokusuma.
Sultan Agung menciptakan kalender Jawa-Islam atau Anno Javanico dengan cara mengakulturasikan sistem kalender Saka (solar system) dengan sistem kalender Hijriyah (lunar system).
Akulturasi ini dilakukan untuk menyelaraskan sistem kalender Saka yang saat itu digunakan sebagai sistem administrasi kerajaan dan kalender Islam sebagai pedoman pelaksanaan upacara adat grebeg dan hari besar Islam, yaitu bulan Ramadan, Idulfitri, Iduladha, dan Maulid Nabi.
Sebenarnya, upacara grebeg merupakan prosesi yang dilakukan umat Hindu untuk memuja roh nenek moyang mereka. Akan tetapi, setelah terjadi Islamisasi Kejawen, upacara garebeg tetap dilestarikan dengan merevisi bentuk pemujaan dengan doa-doa dalam agama Islam. Kini grebeg dilaksanakan bersamaan dengan hari besar Islam.
Inilah Ritual Penentu Kalender Suku Tengger
Akhirnya, Sultan Agung mengeluarkan dekrit yang menyatakan penghentian penggunaan kalender Saka dan mulai menggunakan Kalender Jawa-Islam pada tanggal 1 Muharram tahun 1043 H atau bertepatan dengan hari Jum’at Legi tanggal 8 Juli 1633 M.
Oleh karena itu, 1 Muharram 1555 Jawa adalah 1 Muharram 1043 Hijriyah yang jatuh pada hari Jum’at Legi tanggal 8 Juli 1633 Masehi
Setelah kalender Jawa-Islam disahkan, Mataram Islam hanya menggunakan satu sistem kalende. Dari situlah, kalender Jawa Islam biasa disebut dengan Kalender Sultan Agung atau nama ilmiahnya Anno Javanico.
Tradisi Unan-unan, Ritual Perpanjang Kalender Suku Tengger yang Dilakukan Setiap 5 Tahun
Ketentuan dalam Kalender Jawa Islam
Kalender Jawa Islam memiliki banyak ketentuan mengingat kalender tersebut merupakan hasil akulturasi dari tiga sistem penanggalan, yakni Hindu, Jawa, dan Islam. Ketentuan tersebut di antaranya:
Umur Tahun.
Satu tahun kalender Jawa Sultan Agungan berumur 354 3/8 hari. Satu daur atau siklusnya berlangsung selama 8 tahun, disebut Windu.
Nama Tahun dalam Satu Windu atau 8 Tahun.
Dalam satu tahun terdapat tiga tahun kabisat yang memiliki 355 hari disebut sebagai Wuntu. Sementara itu, tahun yang memiliki 354 hari disebut Wastu.

Filosofi Pranata Mangsa, Penanggalan Musim Tanam yang Dekatkan Petani dengan Alam
Nama Bulan.
Nama bulan dalam kalender Jawa Islam merupakan berasal dari nama bulan dalam tahun Islam-Arab. Akan tetapi, penyebutanya disesuaikan denga dialek masyarakat Jawa. Siklus pergantian bulan pada kalender Jawa Islam menggunakan lunar system atau sistem peredaran bulan mengitari bumi (revolusi bulan).

Urutan Nama Bulan dan Pasaran Dalam Sistem Penanggalan Jawa
Nama-Nama Hari dalam Tujuh Hari (Saptawara).
Pergantian hari pada penanggalan Jawa Islam mengikuti sistem kalender Hijriyah, yakni sejak matahari tenggelam atau saat maghrib, bukan pukul 12 malam.

Nama-Nama Hari dalam Pasaran.
Hari pasaran dalam kalender Jawa terdapat lima hari. Biasanya nama ini digunakan untuk menamai pasar, misalnya Pasar Kliwon. Nama hari pasaran ini biasanya disandingkan dengan nama-nama hari, misalnya Minggu Legi, atau Sabtu Pon.
Nama-nama pasaran dalam kalender Jawa ialah
- Kliwon (Kasih)
- Legi (manis)
- Pahing (jenar)
- Pon (palguna)
- Wage (cemengan)
Ternyata Indonesia Juga Memiliki Sistem Penanggalan
Referensi:
- Siti Marhamah. 2022. “Kalender Jawa Islam Sultan Agungan di Kesultanan Yogyakarta”. Tesis. Program Magister Ilmu Falak, Pascasarjana, UIN Walisongo Semarang.
- Izza Nur Fitrotun Nisa’. 2021. “Historisitas Penanggalan Jawa Islam”. Elfalaky. Vol. 5, No.1, hlm. 1-28.
- Muthi’ah Hijriyati. 2017. “Komparasi Kalender Jawa Islam Dan Hijriyah (Analisis Kalender berbasis Lunar Sistem)”. Menara Tebuireng. Vol. 12, No. 02, hlm 174 – 192.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News