Keputusan Thailand dan Malaysia, dua tetangga dekat Indoensia, untuk bergabung dengan kelompok BRICS (Brazil, Rusia, India, China, Afrika Selatan) menarik perhatian banyak negara, termasuk Indonesia. Sebagai dua negara yang berdekatan di Asia Tenggara, langkah strategi ekonomi dan politik mereka memicu pertanyaan tentang kapan Indonesia akan mengikuti jejak mereka.
Latar Belakang Thailand dan Malaysia Bergabung dengan BRICS
Dalam beberapa hari terakhir, Thailand dan Malaysia secara resmi mengumumkan niat mereka untuk bergabung dengan BRICS. Perdana Menteri Malaysia, Anwar Ibrahim, menyatakan bahwa Malaysia sedang mempersiapkan semua prosedur formal untuk menjadi anggota penuh kelompok ini. Dia menekankan bahwa bergabung dengan BRICS adalah langkah strategis yang signifikan mengingat posisi Selat Malaka sebagai jalur pelayaran penting yang menghubungkan Samudra Pasifik dan Samudra Hindia.
Thailand, di sisi lain, juga menunjukkan niat yang sama melalui Menteri Luar Negeri mereka yang menyerahkan surat resmi kepada Menteri Luar Negeri Rusia. Pemerintah Thailand menilai bahwa keanggotaan BRICS akan meningkatkan peran negara di kancah internasional dan membantu memperkuat ekonomi negara tersebut yang sedang lesu. Keputusan untuk bergabung ini sejalan dengan visi Perdana Menteri Srettha Thavisin untuk memperkuat ekonomi Thailand dan meningkatkan profil internasionalnya.
Sikap Indonesia terhadap BRICS
Indonesia, sebagai negara dengan ekonomi terbesar di Asia Tenggara, selalu bersikap hati-hati dalam mengambil keputusan terkait kebijakan luar negeri. Menteri Luar Negeri Retno Marsudi pada awal tahun 2024 menyatakan bahwa Indonesia masih mempertimbangkan secara matang keuntungan yang bisa diperoleh dengan bergabung dalam BRICS. Presiden Joko Widodo juga mengungkapkan bahwa pemerintahannya sedang meninjau kemungkinan ini, namun tidak akan terburu-buru dalam prosesnya.

Menurut Retno, kebijakan luar negeri Indonesia selalu diperhitungkan dengan matang karena menyangkut kepentingan nasional. Indonesia sudah memiliki hubungan dagang yang erat dengan beberapa anggota BRICS, seperti China, yang merupakan mitra dagang terbesar Indonesia.
Beberapa analis berpendapat bahwa keputusan ini mencerminkan kekhawatiran akan keterlibatan dalam aliansi geopolitik dan ketidakpastian mengenai manfaat ekonomi yang akan diperoleh. Kekhawatiran akan citra Indonesia yang dipandang sebagai bagian dari blok China-Rusia juga menjadi pertimbangan.
Manfaat dan Tantangan jika Indonesia Bergabung dengan BRICS
Manfaat:
- Akses Pasar yang Lebih Besar: Dengan bergabung dalam BRICS, Indonesia akan mendapatkan akses ke pasar yang lebih luas melalui perjanjian perdagangan seperti Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA). Ini bisa meningkatkan ekspor dan memperkuat ekonomi nasional.
- Pengaruh Geopolitik: Keanggotaan dalam BRICS bisa meningkatkan pengaruh Indonesia di kancah internasional, memberikan suara lebih besar dalam dialog global dan memposisikan Indonesia sebagai penyeimbang di tengah konflik global antara blok Barat dan Timur.
- Kerja Sama Ekonomi: Bergabung dengan BRICS memungkinkan Indonesia untuk mempererat kerja sama di bidang ekonomi, investasi, dan teknologi dengan negara-negara anggotanya.
Baca juga: Dilema BRICS Indonesia: Perspektif Dr. Marty Natalegawa dalam Forum Media ASEAN 2023
Tantangan:
- Geopolitik yang Rumit: Anggota BRICS (khususnya Rusia) sedang terlibat dalam dinamika geopolitik yang kompleks. Indonesia harus hati-hati menavigasi hal ini untuk menghindari konflik dengan mitra lama seperti Amerika Serikat dan Eropa.
- Kebijakan Luar Negeri Bebas Aktif: Menjaga prinsip bebas aktif dalam kebijakan luar negeri Indonesia menjadi lebih menantang dengan keanggotaan BRICS. Indonesia harus memastikan bahwa bergabung dengan BRICS akan tetap sejalan dengan kepentingan nasional yang mengutamakan keseimbangan.
- Implementasi Kebijakan: Bergabung dengan BRICS tidak hanya sebatas formalitas, tetapi juga membutuhkan penyesuaian kebijakan ekonomi dan luar negeri yang signifikan. Ini bisa menjadi proses yang kompleks dan memerlukan waktu.
Kebangkitan BRICS dan Implikasinya
Selama dua dekade terakhir, dunia menyaksikan pergeseran besar dalam lanskap ekonomi dan geopolitik global, ditandai dengan kebangkitan negara-negara BRICS sebagai kekuatan penyeimbang dominasi G7. Pada KTT BRICS ke-15 di Johannesburg, Afrika Selatan, perluasan keanggotaan menjadi salah satu agenda utama.
Kebangkitan BRICS, terutama pertumbuhan ekonomi pesat China dan potensi India sebagai kekuatan ekonomi berikutnya, telah mengubah dinamika perdagangan global, investasi, dan rantai pasokan. Meskipun Rusia, Brasil, dan Afrika Selatan belum memenuhi ekspektasi, BRICS secara kolektif telah melampaui G7 dalam hal PDB gabungan (PPP) pada tahun 2020 dan diproyeksikan akan mencapai 37,6% dari PDB dunia pada tahun 2027.
Perluasan BRICS menjadi BRICS+ dengan penambahan anggota baru semakin memperkuat posisi kelompok ini dalam agenda global, memberikan bobot ekonomi dan demografis yang signifikan. BRICS+ kini mewakili hampir setengah populasi dunia dan lebih dari sepertiga PDB dunia (PPP). Namun, heterogenitas anggota dan rendahnya integrasi perdagangan internal menjadi tantangan bagi kelompok ini untuk mempengaruhi perdagangan dunia dan sistem moneter internasional secara signifikan.
Keputusan Thailand dan Malaysia untuk bergabung dengan BRICS telah membuka kembali wacana diskusi lebih lanjut di Indonesia tentang potensi keanggotaan dalam kelompok ini. Sementara pemerintah Indonesia terus mempertimbangkan manfaat dan tantangan yang mungkin timbul, penting bagi kebijakan luar negeri Indonesia tetap adaptif dan berorientasi pada kepentingan nasional. Bergabung dengan BRICS bisa menjadi langkah strategis yang signifikan bagi Indonesia, tetapi harus dilakukan dengan perhitungan yang matang dan mempertimbangkan dinamika geopolitik global.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News