Maluku sudah menjadi bagian dari lumbung ikan nasional sejak tahun 2010 dan tetap bertahan hingga sekarang. Kesuksesan meraih predikat itu turut ditunjang oleh tetap ditegakkannya kearifan lokal.
Dimuat dari Indonesia.go.id, Laut Maluku menyimpan potensi perikanan sangat besar dan terdiri dari beragam ikan bernilai ekonomi tinggi seperti tuna, tongkol, cakalang, udang, cumi, gurita, rajungan, lobster, dan rumput laut.
Setiap tahun, menurut data Kementerian Kelautan dan Perikanan, produksi ikan dari perairan Maluku di kisaran 3,9 juta ton dengan nilai mencapai Rp117 triliun. Angka itu merupakan 37 persen dari total produksi ikan nasional.
Maluku Ekspor 8,7 Ton Pala ke Belanda, Nilainya Rp1,47 Miliar
Keberhasilan ini memang tak lepas dari tradisi sasi yang mengikat seluruh penduduk untuk menjaga kelestarian laut dan isinya. Tradisi sasi merupakan perintang larangan untuk mengambil hasil alam, baik pertanian ataupun di lautan.
“Kearifan lokal ini merupakan upaya masyarakat Maluku guna mempertahankan alam yang mereka tinggali. Sekaligus menjaga mutu dan kualitas hasil alam yang dihasilkan. Pada dasarnya, sasi lebih ditujukan bagi upaya untuk memelihara tata krama kehidupan bermasyarakat,” tulis sejarawan Jhon Patty Kayhatu dalam Sejarah Daerah Maluku.
Praktik konservasi
Praktik nyata dari pemberlakuan sasi bisa dilihat di Kecamatan Pulau Haruku, Kabupaten Maluku Tengah. Namanya adalah sasi lompa dan telah dijalankan sejak tahun 1600 dan merupakan perpaduan antara sasi laut dan darat.
“Sejatinya lompa adalah sejenis ikan sarden dan menjadi salah satu sumber pangan masyarakat setempat.”
Asal Usul Air Mata Belanda, Surga Terpencil dari Tanah Maluku
Kegiatan sasi dipimpin oleh seorang kewang atau penjaga adat setempat, Eliza Kissya selaku tokoh masyarakat. Pria yang akrab disapa Opa Eli itu pernah mendapat penghargaan Coastal Award pada 2010 atas kontribusinya kepada lingkungan di Pulau Haruku.
“Kearifan lokal ibarat jati diri. Leluhur kami membuat aturan sasi. Kearifan lokal inilah yang kami pegang teguh hingga sekarang,” katanya.
Jadi wisata tahunan
Saat sasi di perairan dan sungai diberlakukan, maka sekitar 1 km perairan dan sepanjang sungai tak tampak aktivitas menangkap ikan. Masyarakat membiarkan ekosistem itu kembali pulih hingga tiba saatnya untuk dipanen.
Setahun sekali dalam upacara adat, ikan-ikan di pesisir itu dipanggil masuk ke badan sungai pada saat air laut sedang pasang maksimal, yang biasanya terjadi pada bulan September dan Oktober.
Kuliner Khas Provinsi Maluku, Colo-Colo Jadi Teman Makan Nasi Kelapa
Setelah ikan masuk ke sungai, kewang atau penjaga alam di desa itu mengumumkan kepada semua masyarakat untuk boleh memanen ikan. Pengumuman pelepasan sasi itu dilakukan pada malam hari ke seluruh penjuru kampung.
“Paginya ikan bisa dipanen ribuan orang yang datang yang ditandai dengan doa Pendeta,”
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News