Masjid Jamik menjadi salah satu karya arsitektur Presiden RI pertama, Ir Soekarno yang masih berdiri kokoh. Bangunan ini menjadi peninggalan Bung Karno semasa pengasingan di Bengkulu pada tahun 1938 hingga 1945.
Masjid ini berada di kawasan pusat pertokoan Jalan Soeprapto, tepatnya di kelurahan Tengah Padang, Kecamatan Ratu Samban, Kota Bengkulu. Ciri khas dari masjid ini di bagian atap yang bertingkat tiga melambangkan iman, Islam, dan ihsan.
Di balik Dibangunnya Tugu Thomas Parr, Kisah Kelam Tewasnya Residen Inggris
Sejarawan Bengkulu, Agus Setyanto mengungkapkan Masjid Jamik terkenal dengan julukan masjid Bung Karno. Pada awalnya masjid ini hanya sebuah bangunan kecil yang dikenal dengan nama Surau Lamo.
“Dari catatan sejarah, masjid ini dulunya berdiri di kelurahan Bajak/Kecamatan Teluk Segara, atau di sekitar makam pahlawan nasional, Sentot Alibasyah Prawiradirja (panglima perang laskar Pangeran Diponegoro), kemudian sekitar awal abad ke 18 dipindahkan ke jalan Soeprapto, kelurahan Tengah Padang Kecamatan Ratu Samban,” ucap Agus yang dimuat Detik.
Direnovasi
Agus mengungkapkan pada abad ke 19 masjid yang memiliki luas 1.860 m2 itu sangat sederhana, berdinding kayu, beratapkan daun rumbia dan berlantai kayu. Karena itu masyarakat setempat berharap ada renovasi atas masjid itu.
Bung Karno yang menjalani pengasingan kerap mampir ke Masjid Jamik Tengah Padang untuk melaksanakan salat. Kebetulan, letaknya sekitar 1,5 kilometer dari rumah pengasingan Bung Karno.
Nasib Lebong Tandai, Desa Penghasil Emas untuk Tugu Monas yang Kini Terisolasi
Masyarakat lantas meminta agar Bung Karno merancang arsitektur dari masjid tersebut. Meski mendapat pertentangan dari kaum berpengaruh saat itu, Soekarno akhirnya menyelesaikan karyanya.
“Dana pertama pembangunan masjid ini diperoleh dari swadaya masyarakat, sedangkan material bangunannya didatangkan dari desa Air Dingin, kabupaten Rejang Lebong, dan ketahun Kabupaten Bengkulu Utara,” jelas Agus.
Desain antikolonial
Dimuat dari Indonesia.go.id, Yuke Ardhiati menjelaskan bahwa Bung Karno memiliki konsistensi padu padan gaya antikolonial dan mengedepankan konsep Indonesia. Hal ini mempengaruhi model arsitektur karyanya pada periode 1926-1945.
Bung Karno tidak banyak mengubah struktur bangunan, tetapi lebih menegaskan paduan nuansa Jawa dan Sumatra pada masjid iti. Bung Karno mempertahankan sebagian struktur bangunan dan hanya mengubah bagian atap, tiang masjid, serta dinding.
Kekayaan Seni Budaya Provinsi Bengkulu, Kearifan Lokal yang Terus Dilestarikan
“Bagian atap diganti berbahan seng dan dibentuk bermodel mansrad atau atap tinggi bersisi empat miring curam dengan sedikit lekukan pada bagian bawah. Atapnya dibuat bersusun atau bertumpuk tiga melambangkan iman, Islam, dan ihsan,” tulisnya dalam Bung Karno Sang Arsitek.
Pemerintah pusat sejak 2004 telah menetapkan Masjid Jamik Bengkulu sebagai cagar budaya nasional yang diperkuat oleh Undang-Undang nomor II tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Tempat ibadah ini berfungsi sebagai objek wisata religi.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News