Kentrung Bate menjadi seni pertunjukan tradisional khas Tuban yang berfungsi sebagai sarana syiar Islam, kini telah berada diambang kepunahan.
Seni bertutur kata yang sarat makna ini merupakan pertunjukan yang berasal dari Desa bate, Kecamatan Bangilan, Kabupaten Tuban. Selain sebagai syiar kebajikan, kentrung Bate digunakan untuk menyindir kolonial Belanda yang bertindak sewenang-wenang. Namun, seiring berjalannya waktu, kesenian ini berfungsi sebagai hiburan masyarakat.
Kentrung merupakan seni bercerita yang diiringi instrumen rebana dan kentrung. Selain di Tuban, pertunjukan ini telah menyebar di Pantai Utara Jawa, seperti Semarang, Pati, dan Jepara. Namun, sejak tahun 2016 kentrung Bate ini telah teregistrasi sebagai domain seni pertunjukan dengan nomor 2016006733.
Baca juga: Krisis Regenerasi Penenun Kain Batik Gedog Tuban, Ancaman atau Tantangan?
Asal-usul dan Sejarah Kentrung Bate
Kentrung berasal dari kata “ngre’ken” yang berarti menghitung dan “ngatung” yang berarti berangan-angan. Sehingga kentrung dapat diartikan sebagai mengatur atau menghitung jalannya suatu kejadian dengan berangan-angan.
Kala era 1970-an, pertunjukan kentrung populer, meramaikan perempatan jalan, terutama dekat pasar dan saat malam pasaran (legi, pahing, pon, wage, dan kliwon). Kemudian, kentrung masuk dan dipopulerkan ke Desa Bate oleh salah satu tokoh agama, Kyai Basiman. Saat itu, Basiman mengajarkan seni pertunjukan ini kepada adiknya yang bernama Dasilah. Sehingga pemain kentrung pertama kala itu ialah Basiman, Dasilah, dan Sukilah.
Namun, kelompok ini sempat vakum, sepeninggalnya Basiman. Setahun kemudian, Somo Wage, seorang pemain kentrung asal Bojonegoro menikah dengan Tasmi yang merupakan saudara Sukilah. Pernikahan inilah yang mampu membangkitkan kembali eksistensi kelompok kentrung Bate.
Pada tahun 1961, Somo Wage meninggal dan dilanjutkan oleh anaknya, yakni Surati. Kemudian, setelah Surati meninggal pada tahun 2014, kentrung semakin tenggelam dan saat ini diteruskan oleh Wiji.
Kentrung Bate dalam Dakwah Islam
Seni pertunjukan ini awalnya diciptakan guna menyebarkan agama Islam, sehingga mayoritas kentrung Bate mengangkat tentang hikayat, sirah nabawiyah, kisah rasul, para wali, sahabat, dan tokoh-tokoh penyebar ajaran islam. Dikutip dari merdeka.com, banyak pelajaran tasawuf menjadi hal penting yang dapat dipetik, seperti kesempurnaan hidup.
Sunan Kalijaga, merupakan salah satu Wali Songo yang menggunakan seni kentrung sebagai media dakwah dan penyebaran agama Islam. Oleh karena itu, kentrung bate menyajikan tembang-tembang bahasa Jawa yang santun dan halus.
Baca juga: Sumur Giling Tuban, Kisah Ajaib Air Kejujuran Peninggalan Sunan Bejagung
Keunikan Pertunjukan Kentrung Bate
Pertunjukan kentrung dibawakan dengan menggunakan bahasa Jawa sehari-hari dan bahasa Arab meskipun tidak terlalu banyak, hanya bagian senggakan dan beberapa kata pada tembang Dunga Tulak Tunggal. Selain itu, terdapat beberapa keunikan lain dari pertunjukan ini.
Terdapat dalang yang harus berjenis kelamin perempuan
Dalang berperan sebagai pengatur keseluruhan pertunjukan sekaligus sebagai narator dan pengatur musik. Selain itu, dalang akan menceritakan pakem (ketentuan khusus) beserta rangkaian parikan, sesekali humor segarpun disampaikan di tengah-tengah pakem guna mencairkan suasana.
Kelompok Kentrung Bate
Kelompok ini terdiri atas tiga hingga empat orang, pemain memiliki peran sebagai panjak (pemain musik), dan satu orang berperan ganda yakni sebagai panjak dan dalang.
Alat Musik Tradisional
Alat musik tabuh (timplung atau biasa disebut kentheng) dan rebana, piranti tabuh yang digunakan ini masih asli yang sejak awal dibuat sejak 200 tahun yang lalu. Dengan material utama kendang yang terbuat dari kayu Jati dengan panjang 75 cm, ketipung sepanjang 40 cm, dan rebana berdiameter 45 cm.
Baca juga: Kesenian Kentrung dan Upaya Pelestariannya
Kentrung Bate Berada Diambang Kepunahan
Seiring berjalannya waktu, kentrung Bate mulai terpinggirkan karena adanya kesenian modern. Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi dalam eksistensi seni pertunjukan kentrung Bate ini adalah regenerasi pemain. Sebagian besar pelaku seni kentrung Bate telah berusia lanjut (sampai ditulisnya artikel ini, Wiji berusia 78 tahun).
Pendokumentasian dapat dilakukan sebagai salah satu upaya melestarikan kesenian kentrung Bate. Dokumentasi ini dilakukan dengan mengarsipkan rekaman pertunjukan, mencatat teknik permainan alat musik, cerita yang dibawakan, serta peran dan fungsi masing-masing anggota kelompok.
Dokumentasi inilah yang menjadi harapan regenerasi dan menjaga eksistensi warisan budaya khas Tuban yang hampir punah ini.
Referensi:
- https://1001indonesia.net/kentrung-bate-kekayaan-seni-pertunjukan-asal-tuban/
- https://www.merdeka.com/jatim/dalang-harus-perempuan-begini-sejarah-kentrung-bate-dulu-untuk-dakwah-islam-kini-jadi-hiburan-warga-tuban-94901-mvk.html
- https://warisanbudaya.kemdikbud.go.id/?newdetail&detailCatat=6733
- https://repository.unair.ac.id/56367/14/FS_BI_49-16_Ina_b.pdf
- https://kikomunal-beta.dgip.go.id/home/explore/cultural/30451
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News