kesenian kentrung dan upaya pelestariannya - News | Good News From Indonesia 2023

Kesenian Kentrung dan Upaya Pelestariannya

Kesenian Kentrung dan Upaya Pelestariannya
images info

#LombaArtikelPKN2023 #PekanKebudayaanNasional2023 #IndonesiaMelumbung untuk Melambung

Ditengah gempuran teknologi modern yang sangat cepat pada era sekarang, kesenian kentrung mengalami tantangan. Namun demikian, hingga saat ini kesenian kentrung masih bertahan meski tidak banyak orang yang mengenal.

Kesenian tidak hanya sebagai identitas kultural yang memiliki fungsi ritual suatu kelompok yang mendukungnya, namun juga sekarang dituntut untuk menjadi hiburan yang memuat unsur komersial. Eksistensi kesenian tradisional berada pada benturan antara nilai tradisional yang harus terus dijaga seperti harmoni, keselarasan, dan mistis dengan nilai-nilai kontenporer yang diorganisasi oleh perkembangan tekonologi informasi, konsumsi budaya, dan permainan media massa (Agus Maladi Irianto, 2017: 91).

Periode ini merupakan proses pencarian peran kesenian sebagai sumber ekonomi dan survival diantara pekembangan. Televisi, tekologi informasi, dan komunikasi menjadi ujung tombak industri massa, ditengah cengkraman budaya konsumtif (Garin Nugroho, 2006: 36-38).

Kesenian kentrung terdiri dari seorang dalang, ditambah beberapa orang yang menabuh instrumen rebana, dan memberi selingan parikan disertai tingkahan (senggakan). Orang yang berperan sebagai tambahan tersebut dinamakan panjak.

Namun, pada umumnya kesenian kentrung dimainkan secara tunggal, yang hanya terdiri dari dalang dan posisi panjak dirangkap oleh dalang. Jadi, instrumen kentrung dapat ditabuh oleh dalang maupun orang yang berposisi sebagai panjak (Suripan Sadi Hutomo, 1993: 16-17).

Cerita yang digunakan dalam kesenian ini bertemakan cerita-cerita Islam maupun babad Jawa, dengan menyisipkan pantun yang dinyanyikan. Alat musik yang digunakan adalah dua buah rebana berukuran kecil dan besar, sehingga suara yang dihasilkan seperti pertunjukan musik (Dody Candra Harwanto dan Sunarto, 2018: 37).

Kentrung pada umunnya memiliki kesamaan dan perbedaan, kesamaan di berbagai daerah terdapat pada instrumen musik pokok yaitu rebana. Cerita-cerita dan lakon-lakon yang disampaikan diantaranya kisah-kisah para nabi dan cerita lain dari Babad Jawa.

Perbedaan yang bisa di lihat adalah instrumen pendukung lainnya serta cara penyajian cerita. Contohnya adalah jika di daerah Jawa Tengah hanya menggunakan rebana yang berukuran besar dengan diameter 45 cm dan rebana kecil berdiameter 25-30 cm. Sedangkan di Jawa Timur ada alat musik tambahan seperti kendang dengan ukuran yang variatif dengan Panjang antara 50cm sampai 80 cm.

Pertunjukan kentrung terlihat sebagai perpaduan harmonis antara suara alat musik terbang dan suara manusia, saling berinteraksi dengan enerjik sambil menceritakan cerita rakyat dan mengucapkan pantun.

Namun jika dipahami lebih dalam mengenai isi pesan yang disampaikan merupakan sastra lisan (floklor lisan). Kentrung biasanya dipentaskan dalam upacara tradisi masyarakat seperti siklus hidup, nadzaran, sedekah bumi, dan acara lain. Cerita yang dibawakan juga disesuaikan dengan tujuan ritual atau hajat yang diminta oleh penyelenggara.

Pesebaran kesenian ini meliputi wilayah pesisir utara Jawa Tengah hingga wilayah Jawa Timur seperti Sidoarjo, Kediri, Blitar, dan Ponorogo. Keberadaan kentrung yang masih eksis hanya di daerah Jepara, Blora, Purwodadi, Tulungagung, Demak, dan Blitar (Suharto, 2019:1). Di era sekarang kesenian ini sangat langka karena populasinya sedikit dan ketahanan hidup yang dimilikinya sangat butuh perjuangan.

Tidak jarang kesenian tradisional seperti kentrung terus mengalami marginalisasi karena dianggap tidak memenuhi standart industri pariwisata. Di sisi lain, kentrung yang berkembang di Jepara juga sangat diharap bisa tetap terus dipentaskan baik sebagai hiburan maupun dalam konteks ritual.

Namun demikian, kesenian ini tetap ada, bertahan, dan didukung oleh masyarakatnya. Hal ini menunjukkan bahwa kesenian tradisional masih memiliki kebutuhan dan kehadiran yang diperlukan. Masyarakat pendukung kesenian masih menantikan dan merindukan kehadiran pertunjukan kentrung dalam acara-acara perayaan yang diadakan oleh warga Jepara. Bahkan saat pertunjukan berlangsung, terlihat suasana interaktif dan komunikatif antara para pelaku kesenian dan penonton (Bondan Aji Manggala, 2011: 3).

Kentrung masih terus bertahan hidup dengan mencoba mendidik anak muda sebagai pemain dan berupaya memodernisasi peralatan dan substansi cerita, meskipun masih perlu penguatan.

Di Jepara, kesenian kentrung pada tahun 2012 masih memiliki pelaku seni, setidaknya masih ada dua grup yang bertahan (Dody Candra Harwanto dan Sunarto, 2018: 36). Dalang yang masih hidup adalah Suparmo, yang tinggal di Desa Ngabul Kecamatan Tahunan. Dalang lain yang masih bertahan adalah Ahmadi menjadi pasang dalang Suparmo pada setiap pentas (Bondet Wrahatnala, 2017: 8)

Pada 2014, Jumlah kelompok senoman kentrung yang masih bertahan dari Desa Ngasem dan Ngabul. Pada tahun yang sama, pemerintah telah memberikan dukungan terhadap keberadaan kesenian dengan menyelenggarakan pertunjukan kentrung dalam acara Pemerintah Kabupaten bersama Radio Kartini. Pertunjukan ini bertujuan untuk memperkenalkan kesenian kentrung kepada masyarakat lebih luas.

Melalui dukungan pemerintah, diharapkan para seniman kentrung termotivasi untuk melestarikan kesenian ini (Radio Kartini, 2014). Pada tahun 2017, di Jepara terdapat tiga orang seniman kentrung. Pemerintah juga menyelenggarakan lomba kentrung untuk kategori pelajar pada saat itu. Tujuan dari lomba tersebut adalah untuk menginspirasi generasi muda agar menyukai dan melestarikan kesenian kentrung.

Kesenian kentrung ber-regenerasi pada tahun 2018, bertransformasi menjadi lebih modern agar diminati kalangan anak muda. Terdapat kelompok baru yang langsung dilatih oleh dalang Suparmo. Kelompok kentrung modern ini bernama “Ken Palman” dengan anggota dari kalangan anak muda. Ken Palman yang berguru dengan dalang Suparmo sejak tahun 2018 mulai melakukan pentas secara mandiri (Ali Mustofa,2019). Pada tahun berikutnya, kesenian kentrung mulai membuka diri dengan modernitas sehingga menjadi babak baru perkembangan kentrung.

Perhatian serius pemerintah pada kesenian kentrung dimulai pada kelompok kentrung Ken Plaman, hal ini dibuktikan dengan diberikan ruang untuk melakukan pentas didalam maupun diluar kota, disini juga diharapkan agar kesenian ini tidak hilang begitu saja.

Prestasi yang didapat oleh grup Ken Palman pada kegiatan gelaran kesenian tradisional Dinas Komunikasi dan Informatika (DISKOMINFO) Kabupaten Jepara, juga menjadi harapan pemerintah agar anak-anak muda mau melestarikan. Melalui sosial media Facebook, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan juga ikut andil dalam penyebaran informasi tentang kesenian Kentrung.

Referensi:

  • Alamsyah, and Siti Maziyah. 2020. "Kesenian Kentrung Jepara dalam Perkembangan Zaman." Endogami: Jurnal Ilmiah Kajian Antropolog 55-62.
  • Harwanto, Dody Candra. n.d. "Kesenian Kentrung di Kabupaten Jepara: Kajian Interaksionisme Simbolik ." Tonika: Jurnal Penelitian dan Pengkajian Seni 52-66.
  • Harwanto, Dody Candra, and Sunarto. 2018. "Bentuk dan Struktur Kesenian Kentrung di Jepara." Resital.
  • Suharto, Wasis. 2019. "FLEKSIBILITAS GARAP PERTUNJUKAN KENTRUNG TRI SANTOSO BUDOYO DI DESA DAYU, KECAMATAN NGLEGOK, KABUPATEN BLITAR." SKRIPSI.
  • Sumardjo, Jakob. 1997. Perkembangan Teater Modern dan Sastra Drama Indonesia. Bandung: STSI Press.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

SK
KG
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.