#LombaArtikelPKN2023 #PekanKebudayaanNasional2023 #IndonesiaMelumbung untuk Melambung
Siapa yang tidak mengenal ruwatan tradisi budaya jawa yang masih eksis hingga sekarang, dilakukan secara turun temurun baik di acara resmi maupun non resmi. Tidak heran orang jawa sekarang masih melakukan tradisi ruwatan sebagai bentuk menjauhkan gangguan dan membuang sial. Sesuai dengan nama nya ruwatan diambil dari kata “ruwat” yang berarti terbebas atau terlepas. Masyarakat zaman dulu melakukan ruwatan demi menciptakan kedamaian, keselamatan, Kesehatan, kesejahteraan. Dengan begitu orang jawa percaya bahwa keselamatan yang dibutuhkan adalah jiwa yang tenang terhindar dari mara bahaya.
Pasti pernah bagi masyarakat di daerah pulau jawa melihat tradisi budaya wayangan besar-besaran yang digelar setelah adanya bangunan baru atau pembukaan dan penutupan acara. Tapi apakah masyarakat tahu bagaimana makna yang tersirat dalam pagelaran wayang tersebut, hal ini merupakan salah satu bentuk dari ruwatan yang masih sering ditemui. Wayang yang berjejer rapi di depan kelir yang dibentangkan dengan disorot lampu kuning terang bak untuk melihat bentuk bentuk wayang yang tersorot, dalang yang mulai mencaturkan perbincangan antar tokoh, diikuti dengan alunan gending jawa , dan suara gamelan yang saling menyahut menjadikan suasana semakin sakral dan tenang. Hubungan antara jiwa dan harapan untuk hidup yang lebih tentram.
Beberapa orang berpikir bawah ruwatan merupakan mitos lama yang sudah tidak sesuai dengan zaman sekarang, tapi bagi masyarakat jawa yang masih percaya bahwa konsep ruwatan merupakan hubungan religi untuk melepaskan maupun membebaskan seseorang dari ancaman marabahaya. Masih kental dengan budaya turun temurun. Menurut mitologi, ruwatan memiliki makna yang dalam terutama dalam kisah “bhapara kala” berupa akibat karma salah dari bahpera guru. Menurut Ki Anom Guritno pewayangan yang digunakan untuk ruwatan adalah Arjuna sebagai wakil dari Wisnu dan Sanghyang Ismoyo sebagai Danghyangnya Tanah Jawa. Kisah nya sangat dalam dan mencerminkan budi pekerti yang layak diangkat selama berkembangnya zaman.
Dulu ketika kecil pernah saya lihat pagelaran wayang besar-besaran yang dilakukan di pasar yang baru dibangun. Masih berfikir bahwa kenapa dilakukan ruwatan ketika dunia sudah menuju masa modern. Ruwatan benar benar dilakukan dengan layaknya seperti zaman dahulu, dengan para warga sekitar yang datang di tengah dingin nya malam baik dari desa yang jauh hingga warga sekitar. Paginya bahkan ada aksi para pedagang pasar berbondong-bondong berpindah dari pasar sementara ke pasar baru. Antusiasme orang jawa ini membuat rasa yakin bahwa di luar rasa tidak percaya ada makna tersirat yang penuh filosofi dalam pagelaran ini. Para orang tua percaya bahwa hal ini merupakan langkah wajib yang dilakukan untuk menghindar mala petaka, tapi bagaiamana dengan anak muda?
Percaya tidak percaya sebagai anak muda, saya seringkali menyadari bahwa budaya turun temurun yang dilakukan, walaupun sudah terpaut tahun yang lama akan leluhur kita orang jawa dulu. Jiwa dan suasananya terasa masih hidup. Jika dirasakan dan ikut berbaur, suasana yang dibentuk benar-benar terasa sakral dan penuh makna. Jika kita sekarang sebagai anak muda membutuhkan healing dan pengendalian mental health berharap untuk mendapatkan jiwa yang tenang. Tapi yang dilakukan orang jawa zaman dulu untuk mencapai jiwa yang tenang dengan duduk di tengah dinginnya malam dengan berbekal ubi rebus atau kacang, menyimak makna makna dialog antar tokoh wayang dengan pitutur dalang yang penuh nasihat hidup. Bagi orang jawa hidup yang tenang bukan berarti hidup dengan bergelimang harta dan jabatan, orang jawa percaya makna ketenangan yang didapat yaitu dengan hidup terhindar dari mara bahaya dan keburukan.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News