Stereotipe bahwa etnis Madura berkarakter keras mungkin susah hilang di benak sebagian masyarakat Indonesia hingga detik ini. Beberapa hal yang barang tentu memicu stigma tersebut di antaranya adalah budaya Carok; atau duel tarung memakai Sadhe’ (senjata tajam Arit atau Sabit). Fenomena Carok ini nampak seperti pentas “kekerasan” bagi orang asing, namun itu adalah perjuangan harkat dan martabat bagi orang Madura.
Menarik untuk mengutip peribahasa orang Madura, “Ango’ Pote Tolang Tembhang Pote Mata” (Lebih Baik Putih Tulang Daripada Putih Mata), yang menjadi simbol bahwa untuk menyelasaikan masalah kehormatan yang diinjak-injak solusinya adalah kekerasan. Makna kematian dari idiom Pote Tolang menjadi jalan akhir ketika harga diri mulai dipermalukan oleh orang lain (Pote Mata). Nilai inilah yang mungkin oleh orang-orang dicap sebagai suatu kebrutalan dan kekerasan. Untuk memahami lebih jauh, coba kawan-kawan baca buku karya A. Latief Wiyata.
Dari Meja Diplomasi hingga Lapangan Monas, Indonesia Menyuarakan Dukungan untuk Palestina
Selain carok, ada pula tradisi berbentuk duel pertarungan di kalangan masyarakat Madura, yaitu Ojhung. Beda dengan Carok, Ojhung bukanlah sebentuk ekspresi emosional yang timbul dari problem sosial, namun lebih kepada pertunjukan tradisional Madura yang dilakukan kala kemarau panjang tiba. Sayangnya, tradisi ini mulai larung diangkut ombak zaman. Ojhung sudah jarang lagi terlihat, bahkan nyaris hilang di tengah masyarakat.
Asal Mula Ojhung dan Transformasinya
Ojhung secara kasat mata mirip seperti antraksi Pencak Silat, namun sebenarnya keduanya berbeda. Menurut Ardhie Raditya, Pencak Silat atau Mancak adalah kesenian elit keraton di perkotaan; sedang Ojhung adalah kesenian rakyat pegunungan. Nilai yang terkadung dalam kedua kesenian itu pun juga berbeda. Tak hanya sebagai simbol keberanian, Ojhung juga menjadi ritual magis yang menghubungkan antara manusia, alam, dan Tuhan.
Sebelum menjadi ritual magis untuk meminta turunnya hujan kala kemarau panjang tak kunjung usai, pada asalnyaOjhung hanya bermula dari perkelahian kecil antara dua orang lelaki desa yang memperebutkan satu mata air sumur. Ada dua lelaki selain mereka yang menjadi saksi sekaligus “wasit” dari keduanya. Siapa yang menang, berhak atas sumur tersebut. Namun ajaibnya, sebelum ada salah satu dari dua petarung tumbang, air hujan tiba-tiba tumpah ruah membasahi tanah.
Dari tutur cerita leluhur itulah, entah mitos atau benar-benar terjadi, Ojhung bertranformasi menjadi sebuah ritual untuk memanggil hujan dan pada perkembangannya juga menjadi antraksi seni yang dikomersialkan. Secara teknis, seni tarung ini dilakukan oleh dua orang pemain yang ditengahi oleh seorang wasit. Masing-masing pemain memegang sebuah tongkat dari rotan atau akar pohon siwalan sebagai senjata yang dililiti serat nanas atau lapolo. Tongkat tersebut diikat ke tangan agar tak mudah lepas saat disabetkan.
Kedua pemain juga memakai pelindung kepala dan tangan sebelah kiri. Biasanya tameng itu menggunakan kain goni. Keduanya bertelanjang dada dan kaki, menyisakan celana pendek yang dibalut sarung. Saat pertarungan dimulai, kedua petarung saling sabet dan berusaha melukai kulit lawan. Sebab dalam aturan, yang paling sedikit lukanya, dialah pemenangnya.
Rantau dan Ikatan Persaudaraan
Sebagaimana orang Minang, Padang dan lainnya, orang Madura sejak dulu sudah gemar merantau ke berbagai penjuru Nusantara. Janganlah heran jika kawan sekalian bisa saja bertemu dengan orang Madura di mana-mana. Persebaran orang Madura yang paling dominan berada di daerah Tapal Kuda (bagian timur Pasuruan, Probolinggo, Lumajang, Jember, Situbondo, Bondowoso, dan Banyuwangi).
Bertandang ke Indonesia, Jurnalis Asing Apresiasi Kerja Media dan Budaya Nusantara
Kelompok etnis Madura di luar pulau, atau yang banyak orang sering menyebut dengan Madura swasta, tetap melestarikan tradisi leluhur mereka, salah satunya Ojung ini. Melansir laman Lontar Madura, bisa jadi tradisi Ojung di daerah seperti Probolinggo, asal mulanya memang dilakukan oleh para perantau Madura yang menetap di sana.
Selain itu, prinsip persaudaraan yang tergambar dalam idiom Settong Dhere (satu darah) juga menjadi nilai penting bagaimana silaturahmi sesama entis tetap kuat terjalin. Maka melestarikan tradisi dan budaya nenek moyang menjadi wadah akan tercapainya tujuan persatuan tersebut.
Revitalisasi Budaya Ojhung
Kembali ke asumsi awal bahwa Ojhung mulai tenggelam dalam masyarakat Madura memang benar adanya. Pada 2019 lalu, terdapat satu penetian yang berusaha mengatasi problem ini. Ditulis oleh sekelompok mahasiswa salah satu Universitas di Sumenep, Madura. Artikel itu berjudul Strategi Pelestarian Budaya Ojhung Madura di Era Global.
Dalam menganilis data, mereka menggunakan metode analisis SWOT yang digunakan untuk mengidentifikasi kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman. Dari hasil matriks SWOT yang dihasilkan, kira-kira sederhananya (mengambil skor tiga tertinggi) seperti ini:
No | SWOT | Materi | Rat. |
1 | Kekuatan | Masih adanya kelompok pemerhati Ojhung | 8 |
2 | Adanya beberapa perkumpulan Ojhung di Madura dan masih eksis hingga sekarang | 8 | |
3 | Merupakan salah satu identitas masyarakat Madura | 6 | |
1 | Kelemahan | Kurangnya promosi yang dilakukan terhadap kebudayaan kenudayaan Ojhung kepada masyarakat | 8 |
2 | Minimnya kesadaran masyarakat untuk melestarikan budaya Ojhung | 8 | |
3 | Kurangnya perhatian dari pemerintah terhadap budaya Ojhung | 6 | |
1 | Peluang | Dapat dijadikan sebagai daya tarik bagi wisatawan asing maupun lokal | 8 |
2 | Event Sumenep Visit yang digagas oleh pemerintah menjadi peluang terhadap pengembangan Ojhung | 7 | |
3 | Pengemasan yang tepat dalam pertunjukan Ojhung dapat menambah potensi wisata budaya di Madura | 6 | |
1 | Ancaman | Pemain Ojhung semakin berkurang | 8 |
2 | Kepedulian yang rendah dari generasi muda | 7 | |
3 | Tidak adanya program khusus dari pemerintah setempat untuk upaya pelestarian Ojhung | 7 |
Pemerintah Beri 22 Mahasiswa Palestina Beasiswa Kuliah di RI
Dari kelemahan dan ancaman yang tertera di tabel, tentu masih ada kekuatan, yakni dengan masih adanya pemerhati Ojhung baik dari masyarakat maupun budayawan dan seniman. Lalu bagaimana usaha untuk merivitalisasi budaya Ojhung? Maka peluang yang paling strategis dan memungkinkan di era media sosial seperti saat ini adalah mempromosikannya sebagai daya tarik wisatawan. Maka pemerintah daerah punya PR untuk mewujudkan hal itu, entah lewat event-event kebudayaan atau lainnya.
Namun sayangnya, di pagelaran Festival Budaya Madura 2023 kemarin, tradisi Ojhung luput dari perhatian. Mungkin tradisi-tradisi lain juga bernasib sama. Mungkin juga waktu, dana, atau sumber daya yang terbatas untuk memasukkan semua tradisi Madura dalam event menjadi pertimbangan. Tapi setidaknya, budaya-budaya yang mulai hilang harus lebih banter dipromosikan. Pemerintah serta generasi muda punya peran di situ untuk terus melestarikan budaya leluhur yang tak ternilaihargakan.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News