kontekstualisasi wayang dan problem budaya kita - News | Good News From Indonesia 2023

Kontekstualisasi Wayang dan Problem Budaya Kita

Kontekstualisasi Wayang dan Problem Budaya Kita
images info

#LombaArtikelPKN2023 #PekanKebudayaanNasional2023 #IndonesiaMelumbungUntukMelambung

Kita memperingati Hari Wayang pada setiap tanggal 7 November. Momentum ini mengacu pada pengakuan UNESCO terhadap wayang sebagai warisan budaya dunia sejak tahun 2003. Hal ini menjadi pengakuan dunia atas budaya tak ternilai dalam seni bertutur kata yang mendemonstrasikan kandungan nilai luar biasa yang ada dalam wayang. Ia adalah buah karya manusia cerdas kreatif dalam presentasi seni sastra, budaya lisan, seni musik, rupa juga teater.

Selain sebuah seni pertunjukan, wayang merupakan ekosistem sosial yang hidup, yang membuktikan akar sejarah budaya masyarakat yang menghidupinya. Ini karena wayang tidak pernah berdiri sendiri, tapi terhubung dengan bidang-bidang kehidupan manusia.

Wayang hadir dan digunakan dalam ritus inisiasi atau ritual pemujaan nenek moyang. Dalam masyarakat tradisional, wayang menjadi hiburan di kala panen atau dipentaskan sebagai ruwatan atas suatu ketidakberhasilan. Wayang menyimpan sumber memori kolektif yang bernilai filosofis dengan makna reflektif dan kontekstual.

Wayang luwes bertransformasi dalam tahapan zaman. Bentuk boneka wayang misalnya, berubah merunut waktu. Wayang yang berkembang di masa Majapahit berbeda dengan wayang di masa Demak atau Mataram. Begitu juga wayang zaman Kerajaan Kediri menggunakan bahasa Jawa Kuna, lalu menggunakan bahasa Jawa Baru setelah Majapahit runtuh dan masa Demak. Dengannya, wayang menyimpan pengetahuan logika historis teknik ekspresinya.

Dari penceritaannya, kisah pewayangan yang kerap dimulai dengan kata alkisah, sesungguhnya menjadi pembuka dari kisah-kisah besar yang saling terhubung, yang menyimpan bermacam pesan kebajikan yang mampu mengartikulasikan berbagai perkara dengan multiperspektif dan multitafsir.

Rekaman peradaban itu bisa dipelajari melalui wayang. Tentu bukan rumusan solusi langsung, tapi simbolisme yang mesti diolah, dimaknai dan dikontekstualisasi. Dengannya, wayang menjadi semacam mekanisme referensial proses belajar dan introspeksi. Ia adalah kontinuitas pemaknaan terhadap kehidupan. Meski berubah media ungkapnya, teks-teks rujukannya masih bertahan hingga sekarang. Dengannya, wayang bisa tetap relevan dengan konteks kehidupan kiwari.

Eksplorasi Artistik

Seturut Utomo (2022) kini para dalang melakukan eksplorasi terhadap pergelarannya. Lakon-lakon cerita mengalami tafsir dan artikulasi baru atas struktur narasi lama untuk menciptakan kontekstualisasi dengan dunia panggung mutakhir dan realitas kehidupan yang dihadapi. Gaya pakeliran diperkaya dengan lakon-lakon yang diselaraskan dengan konteks pergeseran zaman, pembaruan dialog yang lebih komunikatif, dramatika bermuatan kritik sosial, dan penampilan tokoh-tokoh yang bisa menjadi agen perubahan demi kebenaran, keadilan, dan kemanusiaan.

Tata ungkap wayang juga dieksplorasi. Tokoh-tokohnya melakukan pembebasan hegemoni kekuasaan artistik atas nama pakem, dengan tetap tidak mengabaikan basis nilai mitologi, filosofi, hingga religiositas dan spiritualitas yang melingkupinya. Ki Seno Nugroho, Enthus Susmono (pesisiran), Slamet Gundono (wayang suket), Toni Harsono (wayang potehi), Jlitheng Suparman (wayang kampung sebelah) hingga Tri Ganjar Wicaksono (wayang beber) hanya contoh pelaku penjelajahan artistik yang memungkinkan wayang dapat dinikmati kalangan yang lebih luas.

Menggunakan bahasa, sabetan, tembang, para dalang bereksplorasi untuk menghidupkan filosofi kemanusiaan untuk menghadirkan pandangan dunia tentang pembebasan hegemoni kekuasaan, egaliterianisme dan kepedulian sosial, pencapaian kebahagiaan hidup, hingga kesadaran keilahian. Dengannya, seusai menonton pergelaran wayang, penonton akan mendapat katarsis tentang spiritualitas dan estetika, empati kemanusiaan, dan religiositas yang transenden (Utomo, 2022).

Dengan demikian, wayang sebagai hasil peradaban Nusantara yang diakui dunia ini harusnya dimaknai sebagai momentum pengingat, tidak semata peringatan atau ritus kultural untuk mengenang pencapaian estetis dengan hikmah-makna tekstual, historial dan tidak kontekstual. Ia harusnya bisa menjadi tonggak reflektif untuk menata dan membenahi kompleksitas masalah bangsa yang sebenarnya bersumber pada problem kultural sekularisme identitas dan egoisme sektoral.

Wayang perlu didudukkan dalam sistem sosial kemasyarakatan sebagai pola-pola komunikasi yang bermuatan reproduksi budaya untuk mencapai kesadaran kolektif. Wayang bisa menjadi bagian strategi pembangunan kebudayaan demi perubahan konstruktif dan positif untuk kemaslahatan bangsa.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

OM
KG
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.