konsep nilai dan makna kontekstual panjat pinang - News | Good News From Indonesia 2023

Konsep Nilai dan Makna Kontekstual Panjat Pinang

Konsep Nilai dan Makna Kontekstual Panjat Pinang
images info

#LombaArtikelPKN2023 #PekanKebudayaanNasional2023 #IndonesiaMelumbungUntukMelambung

Agustus memang telah berlalu. Tapi bulan kemerdekaan itu tetap bermakna mendalam bagi masyarakat Indonesia. Seperti halnya ketika menyemarakkan Hari Ulang Tahun Indonesia, sejumlah lomba digelar dalam rangkaian perayaannya. Selain balap karung, tarik tambang dan makan kerupuk, lomba Agustusan lain yang kerap diadakan adalah panjat pinang. Permainan tradisional beregu ini mengharuskan pesertanya memanjat pohon pinang setinggi 5-7 meter yang sudah dilumuri oli untuk mencapai puncak dan mendapatkan hadiah-hadiah yang digantung di atas. Mulai dari anak-anak, tua muda, lelaki perempuan antusias mengikuti kemeriahannya.

Hutari (2009) menyebutkan sejarah panjat pinang yang populer di Tiongkok Selatan, terutama daerah Fukien, Guangdong, dan Taiwan. Permainan ini tercatat pertama kali pada zaman Ming, dan lazim disebut qiang gu. Untuk menjadi juara, setiap regu harus memanjat sampai puncak untuk menurunkan gulungan merah yang dikaitkan di sana.

Tak hanya di China, permainan mirip panjat pinang juga sudah dikenal di Malta pada abad pertengahan, atau sejak runtuhnya Kekaisaran Romawi Barat pada abad V hingga abad XV Masehi. Mengutip Time of Malta, masyarakat di sana memainkan permainan yang dalam istilah lokal disebut gostra, untuk meramaikan Festival Saint Julian.

Dhita Koesno (2022) menuliskan bahwa perlombaan panjat pinang di Indonesia sudah dikenal sejak zaman kolonial. Di Negeri Tulip, lomba yang dalam bahasa Belanda disebut De Klimmast (panjat tiang) ini digelar dalam rangka perayaan ulang tahun Ratu Wilhelmina setiap tanggal 31 Agustus. Seiring waktu, lomba ini kemudian digelar tidak hanya untuk hari besar negara, tapi juga untuk meramaikan acara pernikahan dan kelahiran anak. Sejarawan Heri Priyatmoko menyebut pada pernikahan Mangkunegara VII (berkuasa 1916-1944) juga digelar berbagai hiburan, salah satunya adalah panjat pinang.

Disisi lain, beberapa pendapat menganggap permainan ini sebagai simbolisasi kekejaman dan penindasan. Fandy Hutari (2017) menyebut awalnya perlombaan ini hanya boleh diikuti oleh kaum pribumi saja, di mana mereka diminta berlomba memanjat dan menangkap hadiah yang berada di atas pohon. Hadiah yang disediakan seperti makanan, pakaian, dan benda-benda yang tergolong mewah untuk kalangan pribumi. Sementara kaum Belanda menontonnya sambil tertawa melihat kaum pribumi berusaha mati-matian mengambil hadiah tersebut.

Panjat pinang tidak hanya menjadi penanda sejarah perayaan dari masa sebelum kemerdekaan, yang lalu diperkaya dengan jenis lomba-lomba lain untuk memperingati perjuangan dan kemerdekaan Indonesia. Ia adalah elemen antropologis terkait politik identitas, kelas sosial ekonomi hingga historisitas sebuah bangsa.

Kemanusiaan

Di balik itu, kita bisa memaknainya sebagai suatu permainan yang mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan. Agar bisa berhasil dalam permainan ini, semua orang harus mau dan mampu memahami potensi dan kelemahan diri. Peserta bertubuh besar harus rela menempatkan diri sebagai pondasi bagi pemain yang lebih kurus untuk memanjat dan bertumpu di atasnya. Begitu seterusnya sampai yang paling atas adalah pemain yang paling kecil dan kurus. Si kurus akan meraih hadiah dan menjatuhkannya ke bawah, tanpa berpikir egois dengan menyimpan satu hadiah khusus untuknya. Si gempal juga bertindak jujur dan tak akan melarikan hadiah tertentu untuk dirinya sendiri. Semua hadiah dikumpulkan dan dinikmati bersama nantinya.

Panjat pinang bukan koalisi sarat kepentingan kelompok. Pembagian hadiah dalam panjat pinang tak berhubungan dengan besarnya kekuatan atau kelincahan menggapai bingkisan. Hadiah dibagi sesuai kebutuhan, karena semua sadar soal sumbangsih tak ada yang layak mengklaim paling berjasa. Tas sekolah untuk si A yang anaknya hendak masuk sekolah dan termos air panas untuk B yang istrinya sebentar lagi melahirkan dan tentu sering butuh air panas. Para pemain percaya untuk saling menggantungkan harapan, ikhlas bekerja keras karena didukung dengan sepenuh hati. Sementara yang di bawah rela berkorban menjadi tumpuan karena tahu hasil kerja keras adalah milik bersama, tak hanya dinikmati di atas dan melupakan dukungan yang di bawah (Tri Prabowo, 2014).

Dalam konteks kondisi bangsa saat ini, panjat pinang bisa dipahami sebagai pendidikan politik yang penting. Krisis nilai kepribadian dan sosial yang kita hadapi membuat manusia mengesampingkan budaya komunal (guyub rukun, gotong royong) dan mengedepankan individualisme yang memecah belah ikatan-ikatan sosial. Prinsip-prinsip kebersamaan dan hidup berkeadilan diganti hasrat kontestasi, monopoli, dominasi, dan hegemoni bagi para pemegang kekuasaan. Yang berlaku adalah hukum survival of the fittest dan homo homini lupus dengan mementingkan kepentingan diri dan kelompoknya, tanpa memikirkan kepentingan rakyat dan masa depan bangsa.

Seturut Tranggono (2016) egoisme dan individualisme pemilik kekuasaan menebal mendorong mereka tidak peduli terhadap liyan dan cenderung tak mengenal rasa cukup, baik material maupun non-material. Bagi mereka, orang lain adalah neraka (istilah Jean-Paul Sartre) karena itu harus disingkirkan demi memuja eksistensi dan kebebasannya. Kerukunan natural/alamiah yang otentik, layaknya kerukunan orang biasa, menjadi nilai yang tidak disukai, bahkan ditolak, karena dianggap mengganggu dan mengurangi perolehan hasil dan kepemilikannya. Akibatnya negara-bangsa tak lebih dari obyek eksploitasi dengan bermacam dalih, baik ideologi, politik, ekonomi, maupun budaya. Hal ini terbukti dalam wujud keseharian masyarakat.

Dengannya kita bisa belajar bahwa lomba-lomba itu tidak bebas nilai tapi mempunyai makna nilai dan kontekstualisasinya. Meski sekedar hiburan, tapi sebenarnya ia merekam memori kolektif yang reflektif dan visioner.

Kebudayaan

Sebuah kebudayaan pada intinya sebuah kerja dari agregat-agregat tradisi atau adat yang dilakukan manusia, baik di tingkat personal, komunal, hingga nasional. Kerja kebudayaan yang semula hanya bermaksud untuk kebertahanan (survivality) dari hidup makhluk bernama manusia, menjadi niat untuk memuliakan (honor, dignity) ketika mereka menjadi masyarakat (society) yang meninggikan level kebudayaannya dari norma sektoral yang mereka tradisikan menjadi sebuah kumpulan kebenaran dan kebaikan bernama moralitas. Sebuah acuan abstrak-idealistis yang dimufakatkan untuk terciptanya kerja sama, harmoni, atau sebuah keteraturan hidup, di mana kecenderungan individual atau kelompok/sektarian tak ganggu keseluruhan (Dahana, 2014).

Oleh karenanya (produk) kebudayaan semestinya harus dipahami sebagai medium transformasi nilai-nilai budaya dan penguatan ikatan-ikatan sosial antarwarga masyarakat. Caranya dengan mencoba merevitalisasi tema-tema penting kehidupan bersama seperti pendidikan moral, tanggung jawab sosial, demokrasi, dan kebersamaan.

Maka dari itu, pada perwujudannya, setiap aktivitas kultural selayaknya berada dalam orientasi humanitarian yang bertumpu pada nilai-nilai kehidupan manusia, bukan dengan kebenaran ideologi zaman semata. Orientasi semacam ini idealnya mewujud melalui wacana dan aktifitas yang dihadirkan dalam kehidupan publik.

Panjat pinang bukan sekedar permainan pelepas tawa. Ia adalah produk kebudayaan yang mempunyai spirit berupa kepedulian terhadap liyan dan komitmen sosial kemanusiaan sebagai pilihan etis dan bukan egoisme kepemilikan pribadi. Pemaknaan dan kontekstualisasi makna nilai-nilai dalam kualitas sikap dan mental tersebut dibutuhkan untuk melangsungkan berbagai aspek kehidupan bersama.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

OM
KG
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.