Mengunjungi Dapur Bangsa Kenduri Rasa adalah hal paling mengesankan yang saya peroleh dari gelaran Pekan Kebudayaan Nasional 2023.
Rabu sore, 25 Oktober 2023, saya meluncur ke Gedung Pusat Film Nasional (PFN) di bilangan Cawang, Jakarta Timur, dari bilangan Sudirman, Jakarta Pusat. Di jalan, saya sempat dihadapkan pada pilihan dilematis. Apakah sebaiknya mencari makan lebih dulu sebab saya belum makan sejak pagi—dengan risiko terlambat mendatangi acara yang saya incar—atau mencari makan di tempat tujuan dengan risiko perut keroncongan? Saya pilih opsi yang kedua.
Sesampainya di venue kegiatan, risiko yang saya khawatirkan sama sekali tidak terjadi. Nuran Wibisono, penulis buku “Selama Ada Sambal Hidup Akan Baik-Baik Saja” (2023), baru selesai mendemonstrasikan kebolehannya bikin sambal. Pengunjung yang datang dibolehkan mencicipi hasilnya.
Alasan saya mendatangi PFN pada Rabu sore itu memang hanya dan hanya ingin melihat Nuran bikin sambal. Sebagai penikmat tulisan-tulisan kuliner Nuran, saya penasaran, apakah keterampilan Nuran mengulek cabai dan garam, bawang dan terasi, setara dengan keterampilannya meracik kata-kata?
Rasa penasaran itu memang terjawab dengan mudah: iya, sambal buatan Nuran cocok di lidah saya. Hanya, lebih jauh dari itu, yang membuat perut dan perasaan saya terpuaskan pada akhirnya bukan perkara sambal Nuran semata, tapi keseluruhan acara yang saya ikuti di Dapur Bangsa.
Tak lama setelah saya tiba di lokasi, panitia menyediakan sayur sop panas, perkedel, tahu dan tempe goreng, ikan asin, telur dadar, hingga aneka macam kerupuk secara cuma-cuma. Di meja lain, bermacam-macam jenis sambal juga dijejerkan begitu saja. Setiap orang yang ada di lokasi acara boleh mengambil itu semua.
Saat dirimu lapar dan tiba-tiba berhadapan dengan sajian yang demikian, nikmat mana lagi yang bakal kamu dustakan?
Segera saya mengalas sayur sop dan tempe goreng, ikan asin, kerupuk, telur dadar, sambal matah, sambal bajak, sambal terasi, dan secangkir rempah dingin. Tanpa nasi, perut saya merasa sudah cukup terisi.
Maksud hati menjaga diri agar tidak makan berlebihan, apa daya, saya tak kuasa menahan diri setelah mendengar pembawa acara mengabarkan bahwa sekelompok ibu-ibu dari Halmahera, Maluku Utara, menyajikan cakalang asap dan sagu, lengkap dengan air jahe dan sambal dabu-dabu!
“Kalau gak sekarang, kapan lagi bisa makan enak dan gratis seperti ini?” tentang saya, kepada diri sendiri.
Bagi saya, menikmati sagu di Dapur Bangsa bukan perkara kepuasan badani semata. Almarhum bapak saya berasal dari Kepulauan Kei, Maluku Tenggara, dan saat saya kecil bapak selalu membawakan sagu tiap kali pulang dari kampung halamannya. Lewat Dapur Bangsa, berbagai kenangan manis mengenai hubungan saya dengan orang tua—juga berbagai makanan yang biasa mereka hidangkan—seketika memenuhi kepala.
Dapur Bangsa Kenduri Rasa juga menyadarkan saya betapa kayanya pangan lokal Indonesia. Di tengah ancaman krisis pangan yang sangat mungkin terjadi di masa depan, juga ramainya pemberitaan mengenai beras impor beberapa waktu ke belakang, edukasi mengenai sumber karbohidrat lokal selain nasi tentu perlu terus diwacanakan.
Di Dapur Bangsa, hal semacam itu tidak hanya diwacanakan, tapi sekaligus dirayakan. “Ini sih bukti negara hadir lewat gelaran kebudayaan!” Rizal, salah seorang panitia Dapur Bangsa Kenduri Rasa, tersenyum mendengar celetukan saya.
Meski sekilas terdengar bercanda, saya sungguh-sungguh menyatakan bahwa Pekan Kebudayaan Nasional—lebih spesifik lagi Dapur Bangsa Kenduri Rasa—adalah bukti nyata kehadiran negara.
Di acara-acara kebudayaan pada umumnya, sepanjang pengalaman saya menjadi peserta, publik kerap kali hanya manggut-manggut (tak jarang dengan kening berkerut) menyimak para pembicara fafifu tentang hal-hal besar.
Dalam konteks yang tak jauh berbeda, kebudayaan juga kerap dimaknai sebagai acara kesenian belaka. Di gelanggang seni rupa atau seni pertunjukan, misalnya, karya yang hadir—jika itu boleh disebut sebagai bagian dari kebudayaan—sering kali terkesan “lebih besar konsep daripada konten”.
Maksud saya, apa yang tampak bombastis dalam pengantar ataupun catatan kuratorial tak jarang malah tidak tecermin dalam karya—dan hal seperti itu hanya membuat kata “kebudayaan” menjadi bahan cemoohan pada akhirnya. Sedangkan saat sebuah karya seni tergolong mantap dalam konsep dan eksekusi, penikmatnya pun kerap kali terbatas, segmented, gagap menjangkau publik yang lebih luas.
Di Dapur Bangsa, jarak semacam itu tak ada. Pengisi acara bisa berpanjang-panjang menjelaskan masakan yang dia hidangkan, lengkap dengan berbagai isu atau persoalan yang mereka hadapi, tanpa membuat pengunjung susah payah mencernanya. Hal itu sangat mungkin terjadi lantaran pengunjung diberi kesempatan untuk icip-icip makanan setelahnya.
Isu lingkungan yang dikemukakan Maulana Yudhistira dari MODUS/Air lewat sajian bertema “Teror Mahakam”, misalnya, bisa menjadi contoh baik mengenai keterangan di atas.
“Dalam Teori Maslows, eksistensi atau aktualisasi diri menempati piramida tertinggi dari hierarki kebutuhan. Seni ada di sana. Saya fokus pada isu makanan sebab ia berada pada posisi paling dasar. Bagaimana mau bicara soal seni atau kebudayaan jika kebutuhan dasarnya belum terpenuhi?” ungkap Rizal, retoris.
Saya sepakat dengan keterangan Rizal. Di Dapur Rasa, kebudayaan tidak melulu bersoal dengan gagasan-gagasan besar dan rumit, tapi mencakup hal mendasar: makanan. Jika sebelumnya saya melihat panggung makanan dalam konteks acara kebudayaan berperan sebagai sampiran saja—dikemas penyelenggara dengan menyediakan booth atau area kuliner belaka—di gelaran acara puncak Pekan Kebudayaan Nasional, persoalan gastronomi justru menjadi salah satu acara utama.
Dalam aspek keterampilan teknis—jika kesenian mensyaratkan hal demikian sebagai salah satu ciri utamanya—Dapur Bangsa Kenduri Rasa juga menunjukkan hal itu.
Sebelum magrib, Rhea, salah seorang anggota Jejaring Rimpang, bagian dari penyelenggara Pekan Kebudayaan Nasional 2023, menawari olahan mangga bikinannya. Mulanya, saya menduga sajian yang dibuat Rhea berbahan dasar beras ketan dan irisan mangga. Saya keliru. Alih-alih ketan, Rhea justru mencampurkan beras dan mangga—dengan campuran jeruk bali, gula pasir, parutan kelapa, jeruk nipis, dan parutan kulit jeruk nipis—menjadi desert yang berkesan di lidah.
“Ini menu buatan sendiri. Awalnya saya melihat teman membuat pudding buah, lalu saya coba-coba mengeksplorasinya. Hasilnya seperti ini,” ungkap Rhea.
Bagi saya, jika sebuah karya seni selalu menuntut inovasi, hal demikian jelas-jelas sudah berlangsung lama dalam perkara gastronomi. Jika eksplorasi Rhea terkesan sangat canggih, perhatikan isi piringmu. Bukankah berbagai hidangan yang biasa kita makan adalah hasil inovasi manusia dari zaman ke zaman?
Akhir kata, isu pangan, kita tahu, adalah isu bersama. Kini dan nanti. Lewat Pekan Kebudayaan Nasional 2023, lebih khusus lagi di venue Dapur Bangsa Kenduri Rasa, kompleksitas mengenai isu itu tersampaikan kepada publik dengan cara-cara yang informatif dan menyenangkan.
Publik butuh acara-acara fundamental semacam itu.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News