#LombaArtikelPKN2023 #PekanKebudayaanNasional2023 #IndonesiaMelumbung untuk Melambung
Dusun Anyai memiliki berbagai kebudayaan yang unik, salah satu contohnya seperti Sembahyang Rebut. Tradisi ini telah diwariskan oleh generasi sebelumnya agar tetap hidup dan dijaga dengan cermat oleh masyarakat keturunan Tionghoa setempat. Tentunya setiap kebudayaan dan tradisi yang ada memiliki tujuan serta arti tersendiri bagi masyarakat yang melaksanakannya, khususnya warga keturunan Tionghoa di Dusun Anyai, Desa Air Menduyung, Kecamatan Simpang Teritip, Kabupaten Bangka Barat. Dalam upaya pelestarian kebudayaan, penting untuk memajukan nilai-nilai budaya dari lingkup terkecil yaitu dusun.
Sebagai upaya mencapai tujuan pelestarian budaya pada masyarakat Tionghoa, mereka tetap menjaga tradisi ini secara turun temurun sejak kelenteng di Dusun Anyai didirikan pada tahun 1901. Tidak hanya masyarakat Tionghoa, bupati setempat memberi ruang bagi mereka untuk melestarikan potensi budaya yang mereka miliki. Oleh karena itu, dibutuhkan adanya program yang mewadahi budaya dusun tersebut dalam memperkenalkan dan mempromosikan tradisi Sembahyang Rebut.
Sumber dana untuk penyelenggaraan Sembahyang Rebut tidak hanya berasal dari swadaya masyarakat, tetapi juga mendapat bantuan dari instansi seperti Dinas Pariwisata Bangka Barat yang ikut andil dalam mengucurkan dana guna membantu pelaksanaan tradisi tersebut. “Pemkab Bangka Barat untuk tahun ini juga mendukung baik secara moril maupun finansial. Pemkab sudah menganggarkan untuk membantu Sembahyang Rebut yang ada di Desa Air Menduyung ini,” ujar Wakil Bupati keturunan Tionghoa ini.
Pada kesempatan yang bersamaan, salah satu Anggota DPRD Bangka Barat Herwanto, mengatakan dampak positif Sembahyang Rebut adalah media pemersatu masyarakat pribumi dengan Tionghoa disebabkan dalam ritual tersebut seluruh masyarakat tanpa memandang ras, suku dan agama membaur jadi satu dalam rangka toleransi antar umat beragama. “Acara rebut ini bukan hanya warga Tionghoa saja, tapi warga pribumi sama – sama membaur disini,” pungkas Herwanto dalam acara kunjungan Sembahyang Rebut di Dusun Anyai pada tahun lalu.
Penting untuk diingat bahwa Sembahyang Rebut bukan hanya sebuah tradisi ritual semata. Tradisi ini juga memiliki makna mendalam bagi masyarakat Tionghoa setempat. Mereka percaya bahwa pintu akhirat terbuka bagi arwah-arwah pada tanggal 15 bulan 7 menurut kalender Cina. Arwah ini merupakan arwah yang tidak diurus oleh keluarganya selama kematiannya. Misalnya, kuburan para arwah tersebut tidak pernah disembahyangi oleh keluarganya. Maka, ketika sembahyang rebut dimulai, para arwah turun ke bumi untuk bergentayangan.
Rangkaian acara Sembahyang Rebut ini melibatkan doa-doa, persembahan makanan hasil pertanian, dan persembahan di altar Thai Se Ja. Thai Se Ja merupakan patung besar yang mencerminkan raja akhirat. Masyarakat dapat merebutkan makanan yang dipersembahkan di altar sesajen, yang menjadi momen penting dalam acara tersebut. Dalam hal ini, Sembahyang Rebut dilakukan dengan maksud untuk meminta keselamatan, kemakmuran, ketenangan, dan kedamaian agar semua masyarakat Dusun Anyai terhindar dari segala gangguan dari arwah-arwah jahat. Tujuan lainnya dari diadakannya Sembahyang Rebut adalah untuk menghormati leluhur yang dikenali dan arwah leluhur yang tidak dikenali. Tradisi ini juga mencerminkan filosofi kepercayaan Konghucu tentang keseimbangan antara menerima dan memberi, antara Yin dan Yang.
Sebagaimana pesan yang disebutkan Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian, Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Hilmar Farid mengatakan, bahwa kekayaan budaya yang dimiliki Indonesia menjadi modal penting dalam menjawab berbagai tantangan saat ini. Namun, hal itu memerlukan kesadaran bahwa kebudayaan tidak sekadar untuk dilestarikan, tetapi sebagai sumber daya untuk melahirkan solusi dari banyak persoalan.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News