Apakah kalian tau apa itu kebudayaan? Kebudayaan berasal dari kata ‘budaya’ memiliki arti suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki oleh sekelompok orang. Kebudayaan merupakan suatu kompleksitas dari pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat istiadat, kemampuan, dan kebiasaan lainnya yang diperoleh oleh individu dan masyarakat sebagai anggota suatu kelompok sosial (Perawironegoro, 2020).
Indonesia kaya akan kebudayaan yang beragam, memiliki bangsa dan lebih bahasa daerah (Khanafiah, 2019). Di setiap daerah memiliki kebudayaan masing-masing, seperti upacara adat, tradisi, tarian, pakaian adat, dan lain sebagainya. Namun, budaya yang lebih sering dilakukan oleh masyarakat yaitu berupa adat atau tradisi.
Tradisi merupakan pola perilaku atau kebiasaan masyarakat setempat secara turun menurun dari nenek moyang (Mawarni & Agustang, 2022). Di setiap daerah pastinya memiliki tradisi yang berbeda-beda seperti sekaten, tedak sinten, nganggung, ngayah, suroan, dan lain sebagainya. Banyak tradisi beragam di luar sana, namun salah satu tradisi yang sangat dikenal adalah Suroan.
Suroan merupakan adat atau tradisi untuk menyambut tahun baru islam dan di lakukan secara turun temurun pada bulan Suro dalam penanggalan Jawa (1 Suro/1 Muharrom) (Aryanti & Zafi, 2020). Tradisi ini dilakukan oleh seluruh umat Islam yang berada di tanah Jawa. Setiap daerah memiliki variasi tradisi Suroan yang unik, salah satunya tradisi Suroan yang berada di dusun Sumberawan.
Sebelum membahas tradisi Suroan, mari mengetahui sejarah tentang dusunnya terlebih dahulu! Dusun Sumberawan terletak di kecamatan Singosari, kabupaten Malang, provinsi Jawa Timur, tepatnya berada di kaki Gunung Arjuno. Dusun ini memiliki nama ‘sumber’ yang berarti mata air dan ‘awan’ yang berarti telaga yang merepresentasikan kehidupan.
Sehingga makna Sumberawan berarti sumber kehidupan (Wurianto, 2009). Menurut juru kunci di namakan Sumberawan karena dusun ini terletak di atas sumber. Dusun ini memiliki peninggalan artefak candi dari zaman Majapahit yaitu Stupa Sumberawan, namun masyarakat sekitar menyebutnya dengan Candi Sumberawan. Kawasan Candi Sumberawan memiliki konsep “patirtan” dan “penguripan”, dimana sebagai patirtan air digunakan untuk upacara ritual keagamaan (Waisak dan Kejawen), pusat upacara bersih desa, dan slametan banyu masyarakat Desa Toyomarto candi ini sekitar dibangun pada abad ke sampai abad . (Soka dkk., 2021)
Tanah Sumberawan merupakan tanah Kasogatan, tanah yang diberikan raja kepada Sogata/pemuka agama Buddha, maka dari itu candi tersebut bercorak Buddha. Di kompleks candi memiliki tiga belas sumber, tetapi hanya dua yang disakralkan, yaitu Tirta Amerta (sumber kehidupan) dan Sedang Kamulyan.
Namun, dua sumber tersebut memiliki fungsi yang berbeda. Tirta Amerta atau juga dikenal dengan sumber air kehidupan memiliki fungsi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat lokal sehari-hari, kususnya untuk kesehatan. Sedangkan pada Sedang Kamulyan biasanya digunakan untuk membersihkan diri bagi para pejabat, sebagaimana yang dilakukan oleh raja-raja zaman Majapahit, salah satunya yaitu Raja Hayam Wuruk. Dua sumber tersebut akan ada hubungannya dengan tradisi Suroan.
Tradisi Suroan di Sumberawan dikenal sebagai festival tirta amerta sari yang diadakan setiap bulan suro dalam penanggalan Jawa (Prayoga & Rizal, 2020). Festival tirta amerta sari merupakan salah satu rangkaian dari upacara ruwatan bumi sebagai bentuk penghormatan terhadap tirta atau air yang menjadi salah satu komponen utama kehidupan manusia.
Tradisi ini tidak hanya untuk menyambut tahun baru Islam melainkan juga digunakan sebagai slametan desa atau sedekah bumi. Tujuan masyarakat mengadakan slametan desa atau sedekah bumi yaitu sebagai bentuk rasa syukur kepada tuhan YME. Setiap Suro mengadakan ritual pengambilan sumber Tirta Amerta di Candi Sumberawan.
Pengambilan air dilakukan oleh Kamituwo (kepala dusun) dengan putri-putrinya yang membawa kendi sambil memakai pakaian adat Jawa berupa pakaian hitam lengkap dengan udengnya untuk Kamituwo dan pakaian kebaya untuk putri-putrinya. Kendi tersebut di iring dari rumah Kamituwo menuju sumber Tirta Amerta yang berada di Candi Sumberawan. Proses pengambilan air dibantu oleh juru kunci yaitu Nuryadi. Putri-putri menyerahkan kendi tersebut kepada juru kunci untuk mengambilkan air, lantas kendi diserahkan kembali untuk dibawa ke pelataran candi. Kemudian, dilanjutkan istighosah bersama dengan pelepasan burung dan ikan di kompleks Candi Sumberawan sebagai simbol pelestarian alam dan rasa syukur terhadap tuhan YME yang dipimpin oleh Kamituwo (Rahmawati dkk., 2021).
Meskipun Candi Sumberawan bercorak Buddha, kompleks ini juga digunakan masyarakat Islam untuk istighosah. Kompleks candi tidak digunakan untuk agama Buddha saja, tetapi juga berbagai agama. Selepas itu kendi tersebut dibawa kembali kerumah Kamituwo untuk di istighosah pada malam hari. Air dalam kendi yang sudah di istighosah akan dibagikan kepada masyarakat yang sedang membutuhkan. Masyarakat setempat percaya bahwa air tersebut memiliki manfaat untuk kesehatan. Sebagai penutup diselenggarakan pagelaran wayangan sakral dengan lakon Jumenenge Kiyai Lurah Semar. Pagelaran ini diselingi pertunjukan Gambyong, Jaranan, Beskalan Putri, Reog, Singo dan tari kreasi baru Sumberawan (Ramli & Wikantiyoso, 2018).
Referensi:
Aryanti, R., & Zafi, A. A. (2020). Tradisi Satu Suro Di Tanah Jawa Dalam Perspektif Hukum Islam. AL IMAN: Jurnal Keislaman Dan Kemasyarakatan, 4(2), 342–361.
Khanafiah, Z. (2019). Kajian Etnomatematika Terhadap Tradisi Upacara Potong Rambut Gembel (Ruwatan) Masyarakat Kabupaten Wonosobo Dalam Rangka Penentuan Aspek-Aspek Matematis Dan Implementasinya Dalam Pembelajaran Matematika. Hipotenusa: Journal of Mathematical Society, 1(2), 1–15.
Mawarni, I. S., & Agustang, A. (2022). Konstruksi Sosial Masyarakat Terhadap Realitas Sosial Tradisi Si Semba’di Era Globalisasi (Studi Penelitian di Daerah Kandeapi Tikala, Toraja Utara).
Perawironegoro, D. (2020). Penciptaan Budaya Religius di Sekolah.
Prayoga, N. A., & Rizal, M. S. (2020). NILAI RELIGIUS DAN FUNGSI SASTRA DALAM CERITA RAKYAT CANDI SUMBERAWAN. Seminar Internasional Riksa Bahasa, 708–715.
Rahmawati, F. E., Sukmawan, S., & Syarifudin, A. (2021). Perancangan Desain Marchandise sebagai Strategi Branding Pariwisata Berbasis Tradisi Lisan di Desa Toyomarto Kecamatan Singosari Kabupaten Malang. GRAMASWARA, 1(1), 26–38.
Ramli, S., & Wikantiyoso, R. (2018). Makna Ruang Sebagai Aspek Pelestarian Situs Sumberawan. Local Wisdom, 10(1), 31–42.
Soka, H., Budiyono, D., & Djoko, R. (2021). Analisis Kesesuaian Lahan Lanskap Candi Sumberawan Sebagai Objek Wisata Sejarah di Singosari Kabupaten Malang. Jurnal Lansekap Udayana, 7(2), 237–282.
Wurianto, A. B. (2009). Aspek budaya pada upaya konservasi air dalam situs kepurbakalaan dan mitologi masyarakat Malang. Jurnal Humanity, 4(2).
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News