Rakyat etnis Mandailing dikenal memiliki ragam kebudayaan yang unik dan beragam. Budaya Mandailing tercermin dalam berbagai aspek kehidupan sehari-hari, mulai dari bahasa, seni, musik, hingga tradisi adat. Bahasa Mandailing, yang memiliki dialek tersendiri, adalah salah satu ciri khas penting dalam identitas etnis ini. Mereka juga memiliki seni tradisional, seperti tari-tarian dan musik seperti gondang sabangunan, yang sering digunakan dalam berbagai upacara adat dan perayaan. Selain itu, nilai-nilai adat seperti hormat kepada leluhur, persatuan keluarga, dan upacara-upacara pernikahan yang penuh makna juga menjadi bagian tak terpisahkan dari kebudayaan Mandailing. Terdapat salah satu kebudayaan yang unik, menarik, dan memiliki nilai solidaritas yang tinggi yaitu budaya Martoktok.
Tradisi Martoktok adalah istilah dalam bahasa Mandailing yang mengacu pada proses gotong royong untuk membangun rumah bagi keluarga yang kurang mampu (Nasution, 2019:55). Prosesi pembangunan rumah biasanya diawali dari anak boru yang prihatin melihat tempat tinggal moranya, kemudian mengambil langkah inisiatif untuk meminta bantuan kepada kahanggi melalui sang mora. Setelah itu pihak kahanggi yang menerima laporan mengadakan sebuah rapat antar semua anggota kahanggi. Selaku perwakilan keluarga yang membutuhkan bantuan, mora akan menyampaikan segala kendala yang keluarganya alami di hadapan seluruh kahanggi disertai dengan permohonan bantuan yang dilandasi dengan nilai-nilai adat dan harapan bahwa setiap kahanggi akan bersedia membantu. Setelah mendapatkan mufakat, maka akan ditentukan tanggal dimana rumah akan dibangun kembali. Pembangunan biasanya dilakukan antara musim panen hingga fase menyemai atau bercocok tanam berikutnya.
Tutur Mandiling | mandailingonline.com
Etnis Mandailing dan juga Batak mengenal sistem kekerabatan yang disebut Dalihan Na Tolu. Istilah "Dalihan Na Tolu" yang secara harfiah berarti "tiga tingkatan" atau "tiga lapisan," menggambarkan konsep penting yang ada dalam masyarakat Mandailing dan Batak. Terdapat sebuah keyakinan bahwa rancangan dalihan dapat menghasilkan sistem kekerabatan yang ideal atau sempurna, karena mirip dengan segitiga sama sisi (Nasution, 2022:4). Prinsip-prinsip seperti hormat kepada leluhur (ulos), persatuan keluarga, dan tanggung jawab sosial ditekankan dalam sistem yang mengatur tata tertib dan etika dalam interaksi sosial. Masyarakat etnis Mandailing memiliki tiga jenis kekerabatan: mora, kahanggi, dan anak boru. Mora merupakan sebutan untuk keluarga perempuan yang dinikahi oleh laki-laki, sehingga laki-laki dan keluarganya disebut anak boru dalam keluarga perempuan. Sedangkan kahanggi adalah garis keturunan yang masih dalam satu marga dimana diturunkan dari garis keturunan semarga.
Pada masa itu rumah yang dibangun sangat sederhana, namun layak. Untuk mencari material pembuatan rumah, para kabanggi berkumpul dan pergi ke hutan bersama-sama untuk mencari parkayu (material dasar untuk pembangunan kerangka rumah), bambu untuk gogat (lempengan papan yang terbuat dari bambu), rumbia, dan ilalang. Rumah-rumah masyarakat Mandailing dahulu mirip dengan rumah panggung dengan dinding terbuat dari gogat dan atap ijuk atau rumbia. Kemudian setelah masing-masing komponen rumah yang dibuat dari bahan-bahan tersebut telah siap, di hari-hari berikutnya prosesi pendirian rumah dilaksanakan dengan mendirikan kerangka rumah, memasang atap, menyatukan dinding rumah, dan memasang pintu. Semua pekerjaan ini dilakukan secara sukarela tanpa mengharapkan imbalan.
Lahirnya kebudayaan Martoktok ini disinyalir karena pada masa tersebut sebagian besar masyarakat bekerja sebagai petani di sawah. Hal ini secara tidak langsung membuat semua orang banyak menghabiskan waktu bersama karena berada dalam lingkungan kecil yang sama pula, sehingga terbentuk solidaritas sosial yang sangat tinggi. Sikap solidaritas yang tinggi sering dibangun oleh petani yang menghabiskan banyak waktu bersama di sawah. Mereka membangun hubungan yang kuat dan bergantung satu sama lain melalui kerja sama dalam menanam dan merawat tanaman. Kehadiran bersama di sawah tidak hanya membantu orang bekerja sama dengan satu sama lain dalam menghadapi tantangan alam, tetapi juga menumbuhkan rasa solidaritas dan saling mendukung. Ikatan solidaritas antar petani yang didasarkan pada kesadaran bersama yang mengikat diciptakan oleh rasa kepedulian para petani, rasa persaudaraan, dan kepedulian yang tertanam dalam kehidupan mereka saat mereka bekerja (Rusdi et al, 2019:22). Selain membentuk komunitas yang kokoh, solidaritas ini menunjukkan contoh penting tentang bagaimana kerja sama dan dukungan satu sama lain adalah penting untuk keberhasilan dalam pertanian dan kehidupan sehari-hari.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News