Mengunjungi Sumatra Barat, tidak mungkin tanpa membawa oleh-oleh salah satunya adalah songket. Kerajinan ini merupakan warisan budaya yang memukau dan jadi tanda keterampilan perempuan Minang.
Ketekunan dan kesabaran perempuan Minang tergambar dalam ketekunan songket yang indah. Mereka mempertahankan songket warisan leluhur dan terus beradaptasi dengan perkembangan zaman.
Berkurangnya jumlah anak perempuan yang mempelajari tenun menimbulkan kekhawatiran bahwa tenun akan punah. Tetapi, masyarakat di Minangkabau memiliki kesadaran tinggi untuk melestarikan tenun.
“Makannya, setiap anak perempuan harus mempelajarinya kalau tidak ingin songket ini jadi sejarah,” kata Erma Yulnita, pemilik toko Satu Karya di Padang Panjang yang dimuat Kompas.
Melatih kesabaran

Tenun/Flickr
Berbicara tentang tenunan dari Sumbar, songket bisa ditawarkan dengan harga mulai dari ratusan ribu rupiah sampai jutaan rupiah. Sepintas lalu memang cukup mahal, tetapi proses pengerjaannya songket tak mudah.
Dibutuhkan ketelitian dan ketelatenan dari seorang perajin perempuan. Mereka juga perlu memilih dan juga memilah benang untuk kemudian dirangkai menjadi motif. Kebiasaan yang dijalani setiap hari tersebut melatih untuk sabar.
“Paling cepat, untuk menyelesaikan satu kain, kami perlu waktu satu bulan,” kata salah satu perajin, Cici.
Sekretaris Nagari Pandai Sikek, Pelmi Dt Sati Mahadiarjo mengungkapan keterampilan menenun telah menjadi kekhasan perempuan daerahnya. Jika ada perempuan yang mengaku asli Pandai Sikek, tapi tak bisa menenun akan diragukan asalnya.
“Gadis-gadis di sini malu jika tidak bisa menenun. Makannya sejak sekolah dasar mereka sudah belajar menenun,” kata Pelmi.
Mulai berkurang

Ilustrasi bertenun/Flickr
Pandai Sikek memang dikenal sebagai daerah di Minangkabau dengan masyarakatnya yang telah beratus tahun lamanya menjadi penenun. Setiap anak perempuan di sana sejak umur 9 tahun atau 10 tahun mulai belajar menenun.
Tradisi itu masih berlangsung sampai sekarang meski jumlah perajin mengalami penurunan. Hal ini karena sejak zaman modern, para perempuan muda tak banyak yang ingin mempelajari cara menenun.
Bukan mereka menolak belajar menenun, tetapi zaman bergerak maju. Anak-anak perempuan ini kebanyakan melanjutkan pendidikan ke sekolah yang berkualitas di luar Pandai Sikek.
“Kalau sudah keluar dari sini, mereka pasti mempunyai kesibukan lain,” kata Erma.
Sementara di Sawahlunto, regenerasi para penenun berjalan dengan baik. Di sana terdapat 17 perajin dengan usia paling muda 19 tahun. Anita Dona Sari, salah satu perajin tenun mengungkapkan telah mengekspor tenunnya ke Padang, Jakarta hingga Singapura.
Sebagai anak muda, Dona memasarkan tenunnya dengan cara yang kekinian, memanfaatkan media sosial. Hal ini lah yang membuatnya semakin meluaskan pasar tenunnya tersebut.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News


