Perang Bubat menimbulkan polemik identitas yang masih berlanjut hingga sekarang.Perang bubat adalah pertempuran antara keluarga Kerajaan Sunda dengan tentara Kerajaan Majapahit. Luka harga diri masyarakat Sunda karena peristiwa Bubat terwariskan secara turun-temurun melalui tradisi lisan yang kental.
Masyarakat Sunda yang menjadi korban pengkhianatan Majapahit menjawantahkan kebenciannya terhadap orang Jawa melalui pembentukan ulang identitasnya untuk menciptakan komunitas yang berbeda.
Akan tetapi, historisitas Perang Bubat masih dipertanyakan, apakah benar terjadi? Sekian banyak bukti artefak arkeologi, folklor lisan ataupun kronik sejarah, beberapa ilmuwan masih mempertanyakannya dengan argumen yang tidak jelas. Tentu aneh, mengingat sumber sejarah dapat diperoleh dari berbagai bentuk yang semuanya saling mendukung.
Oleh karena itu, penulis berupaya membuktikan historisitas Perang Bubat dengan mengikut sertakan sumber sejarah, bukti arkeologis maupun folklor lisan yang termanifestasi dalam memori kolektif masyarakat. Setelah Perang Bubat, Sunda berada dalam kekuasaan Majapahit.
Apa yang Dimaksud dengan Perang Bubat?
Baca Juga : Perang Puputan dan Darah Pejuang Bali yang Harumkan Taman Firdaus ke Dunia

Perang Bubat adalah sebuah peristiwa bersejarah yang terjadi di Nusantara pada abad ke-14, tepatnya pada tahun 1357. Perang ini melibatkan dua kerajaan besar, yaitu Kerajaan Majapahit yang dipimpin oleh Raja Hayam Wuruk dan Kerajaan Sunda yang dipimpin oleh Raja Linggabuana.
Perang Bubat bermula dari niat Raja Hayam Wuruk untuk memperistri Dyah Pitaloka Citraresmi, putri Raja Sunda. Keinginan ini awalnya diterima baik oleh pihak Sunda, sehingga Raja Linggabuana beserta rombongan membawa putrinya ke Majapahit untuk dinikahkan. Namun, saat rombongan Sunda tiba di lapangan Bubat, yang terletak di wilayah Majapahit, terjadi perselisihan.
Gajah Mada, Mahapatih Majapahit, memiliki pandangan bahwa pernikahan ini harus dianggap sebagai bentuk penyerahan diri atau pengakuan kekuasaan Majapahit atas Sunda. Pandangan ini bertentangan dengan Raja Sunda yang datang dengan niat pernikahan diplomatik, bukan penyerahan diri. Konflik ini memuncak dalam pertempuran di lapangan Bubat, di mana pasukan Sunda yang jauh lebih kecil jumlahnya dibandingkan pasukan Majapahit akhirnya kalah. Raja Linggabuana, putrinya Dyah Pitaloka, dan banyak bangsawan Sunda lainnya tewas dalam pertempuran ini.
Peristiwa Perang Bubat meninggalkan luka mendalam dalam hubungan antara Majapahit dan Sunda. Bagi orang Sunda, peristiwa ini dikenal sebagai tragedi besar dan sering dikenang sebagai bentuk pengkhianatan dan kekejaman. Dalam sejarah Majapahit, peristiwa ini juga menimbulkan kontroversi dan menjadi catatan kelam di masa kejayaan kerajaan tersebut.
Latar Belakang dan Penyebab Perang Bubat
Namun, menurut Mikihiro Moriyama dalam bukunya yang berjudul Semangat Baru: Kolonialisme, Budaya Cetak dan Kesusasteraan Sunda Abad ke-19 disebutkan bahwa masyarakat Sunda masih berjuang melawan pengaruh dominasi Majapahit melalui perlawanan budaya. Salah satunya suatu mitos populer dari Sunda yang terwariskan secara turun-temurun melalui tradisi lisan. Para tetua selalu mewanti-wanti agar sebisa mungkin wanita Sunda tidak menikahi pria Jawa.
Terciptanya mitos bersumber dari cerita Perang Bubat yang berbumbu unsur asmara dan kekuasaan. Menurut narasi umum, Dyah Pitaloka, putri kerajaan Sunda berencana dinikahkan dengan Hayam Wuruk. Namun, Dyah Pitaloka harus menemui ajal sehingga pesta perayaan yang sewajarnya bahagia, justru bernuansa duka, luka, dan darah.
Istilah “Perang Bubat” yang tertulis dalam kitab Pararaton yang terbit setelah era patih sebenarnya hanya upaya menutup-nutupi siasat licik untuk menjaga nama kebesaran Majapahit.
Oleh karena itu, Pararaton lebih menitikberatkan kisah roman yang mengeksplorasi perihal masalah asmara serta mengesampingkan muatan politis. Kitab Pararaton dibuat untuk tujuan legitimasi kekuasaan.
Meskipun berdasarkan kisah nyata, tentu setiap kata mengandung kuasa politis dan kontrol sosial dengan target berskala mikro hingga makro, dalam artian lain meliputi kalangan bangsawan sampai masyarakat kecil.
Dengan memanfaatkan tradisi lisan yang kental, kisah Perang Bubat tertambat dalam memori kolektif masyarakat yang nantinya terwariskan secara turun temurun. Selain itu, tiada informasi sumber sejarah yang objektif. Subjetivitas setiap sumber sejarah ditinjau dari latar belakang pencatat kronik ataupun tempat asal ditemukan.
Bertolak belakang dengan kitab Pararaton, kidung Sunda justru menyuguhkan informasi yang meng-counter dominasi pengaruh Majapahit. Oleh karena itu, kritik sumber wajib untuk membedah fakta historis yang objektif. Persoalan lain ialah distorsi fakta historis.
Sebagaimana kita ketahui masyarakat Indonesia masih sangat kental dengan tradisi lisan. Validasi sumber lisan yang berasal dari generasi berbeda sangat diragukan. Terlebih lagi peristiwa historisnya telah terjadi berabad-abad yang lampau. Sumber lisan bersifat berubah-ubah tergantung penuturnya sehingga memicu keanekaragaman versi narasi cerita. Alhasil, terjadi penambahan dan pengurangan dalam folklor lisan Perang Bubat.
Dari situ dapat ditarik kesimpulan, bahwa unsur asmara dalam berbagai sumber sejarah hanya bumbu penyedap untuk keberlangsungan legitimasi kekuasaan. Di balik itu, fakta sejarah Perang Bubat sesungguhnya bermotif politik dan kekuasaan belaka.
Seorang Arkeolog dari Universitas Indonesia, Agus Aris Munandar, dalam buku berjudul Gajah Mada: Biografi Politik menganggap bahwa Perang Bubat merupakan peristiwa historis dengan berbagai sumber sejarah yang meliputi bukti arkeologis, folklor lisan sampai kronik sejarah. Agus Aris Munandar dengan tegas mempercayai peristiwa Perang Bubat yang pemaparannya ia uraikan dalam BAB 8 – Pasundan-Bubat: Gadha Penghancur Kejayaan.
“Jika kisah Ken Arok yang penuh mistis malah dipercayai, sedangkan Pasundan-Bubat tidak dipercayai, maka ini tentu sangat mengherankan," tulis Agus Aris Munandar.
Baca Juga : Kisah Hidup Mata Hari, Agen Rahasia Perang Dunia I yang Pernah Hidup di Jawa
Tokoh yang Terlibat dalam Perang Bubat
Salah satu tokoh kunci dalam Perang Bubat adalah Gajah Mada, Mahapatih Majapahit yang terkenal dengan Sumpah Palapa-nya, yaitu tekadnya untuk menyatukan Nusantara di bawah kekuasaan Majapahit. Dalam konteks Perang Bubat, Gajah Mada memegang peranan penting karena ia yang mendorong pandangan bahwa pernikahan antara Hayam Wuruk dan Dyah Pitaloka harus dianggap sebagai bentuk penyerahan diri dari Kerajaan Sunda kepada Majapahit. Pandangan ini mencerminkan ambisinya untuk memperluas kekuasaan Majapahit, meski pada akhirnya memicu konflik tragis dengan Kerajaan Sunda.
Di sisi lain, Dyah Pitaloka Citraresmi, putri Raja Sunda, adalah sosok yang menjadi pusat dari peristiwa ini. Sebagai seorang putri, ia didatangkan ke Majapahit dengan harapan bisa mempererat hubungan diplomatik antara kedua kerajaan melalui pernikahan. Namun, nasib tragis menimpanya ketika perselisihan di lapangan Bubat memuncak menjadi pertempuran. Dalam versi sejarah Sunda, Dyah Pitaloka memilih untuk mengakhiri hidupnya sebagai bentuk kehormatan dan penolakan atas penghinaan yang diterima keluarganya, menjadikannya simbol keberanian dan martabat bagi masyarakat Sunda.
Raja Linggabuana, ayah dari Dyah Pitaloka, juga merupakan tokoh sentral dalam peristiwa ini. Sebagai raja Kerajaan Sunda, ia datang ke Majapahit dengan niat baik untuk menikahkan putrinya dengan Raja Hayam Wuruk, namun harus menghadapi kenyataan pahit ketika dihadapkan pada ambisi politik Gajah Mada. Dalam pertempuran di lapangan Bubat, Raja Linggabuana gugur bersama banyak prajurit dan bangsawan Sunda, memperkuat citra tragedi ini sebagai salah satu episode paling kelam dalam sejarah hubungan antar kerajaan di Nusantara.
Dampak dari Perang Bubat
Dampak dari Perang Bubat sangat signifikan, terutama bagi hubungan antara Kerajaan Sunda dan Kerajaan Majapahit. Salah satu dampak utama adalah keretakan hubungan diplomatik dan ketegangan yang berkepanjangan antara kedua kerajaan. Bagi Kerajaan Sunda, peristiwa ini meninggalkan luka mendalam dan membangkitkan rasa dendam serta ketidakpercayaan terhadap Majapahit. Tragedi ini memperkuat identitas dan semangat kedaulatan Sunda, mengingat mereka merasa telah dikhianati dalam situasi yang seharusnya bersifat damai dan penuh kehormatan.
Bagi Kerajaan Majapahit, meskipun mereka berhasil memenangkan pertempuran, Perang Bubat menodai reputasi mereka sebagai kerajaan yang kuat namun juga adil. Tindakan Gajah Mada, yang memaksakan pandangannya tentang penyerahan diri Sunda, dipandang sebagai kesalahan diplomatik yang fatal. Peristiwa ini mengakibatkan hilangnya potensi aliansi yang kuat dengan Kerajaan Sunda dan menciptakan citra negatif di mata kerajaan-kerajaan lain di Nusantara. Dampak ini juga tercermin dalam hubungan sosial dan budaya, di mana sentimen negatif terhadap Majapahit tetap membekas dalam ingatan kolektif masyarakat Sunda selama berabad-abad.
Secara lebih luas, Perang Bubat juga mempengaruhi dinamika politik di Nusantara. Konflik ini menunjukkan bahwa ambisi politik dan kekuasaan sering kali dapat mengorbankan diplomasi dan hubungan antar kerajaan yang damai. Perang Bubat menjadi pelajaran penting tentang pentingnya menghargai kehormatan dan kesepakatan diplomatik, serta dampak jangka panjang dari pengkhianatan dan kekerasan dalam politik kerajaan. Kejadian ini mengingatkan bahwa kekuasaan yang dipaksakan dengan kekerasan lebih sering meninggalkan warisan pahit daripada kejayaan yang abadi.
Apakah Perang Bubat Fakta atau Fiksi?
Apakah peristiwa Perang Bubat ini benar terjadi masih diperdebatkan oleh para arkeolog dan ahli sejarah kuno?
Para ahli sejarah kuno dan arkeolog yang meragukan peristiwa Pasundan-Bubat berpendapat bahwa itu hanya sekadar sisipan dari penyalinan Pararaton. Opini lain, perang ini bisa jadi tambahan peneliti Belanda pertama yang menerjemahkan Pararaton serta berbagai alasan lainnya.
Bagi para ahli sejarah kuno dan arkeolog yang meragukan peristiwa Bubat perlu dipertanyakan apakah mereka benar sudah menelusuri sumber sejarah selain dari Pararaton? Lalu, apa bukti otentik jika kisah Perang Bubat tidak pernah terjadi? Jika peristiwa Perang Bubat hanya sekedar sisipan penyalinan Pararato, mengapa kisahnya masih tertambat dalam memori kolektif masyarakat hingga kini?
Hal ini mengingat terjadi pada zaman VOC (tambahan penyalinan kekawin tersebut pada bulan Kartika atau Oktober-November tahun Saka 1662 atau Masehi 1740). Jadi menurut Kawan, apakah peristiwa Perang Bubat adalah fakta historis atau fiksi sejarah?
Referensi :
Thomas Raffles, History of Java
Mikihiro Moriyama, Semangat Baru: Kolonialisme, Budaya Cetak dan Kesusasteraan Sunda Abad ke-19
Agus Aris Munandar, Gajah Mada: Biografi Politik
https://p2k.stekom.ac.id/ensiklopedia/Perang_Bubat
https://books.google.co.id/books?id=C5Yx_KsMYiYC&printsec=copyright&hl=id#v=onepage&q&f=false
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News