Sepanjang sejarah Aceh telah ada kepemimpinan wanita dalam memimpin Kerajaan Islam Aceh selama 59 tahun lamanya. Padahal dalam Kitab Tajus Salatin karya Bukhari al-Jauhari menyatakan seorang raja haruslah laki-laki.
Namun di tempat kitab itu disusun pada awal abad ke 17 M, tidak kurang dari empat putri raja berturut-turut telah naik takhta sesudah tahun 1641. Keputusan itu sebenarnya juga menjadi kontroversial di kalangan massyarakat.
Silang pendapat atau pro dan kontra tentang masalah tersebut muncul ketika Kesultanan Aceh dipimpin sultan perempuan (sultanah). Padahal dalam catatan sejarah, mereka mampu menjalankan roda pemerintahan dengan baik.
Keempat sultanah itu adalah Sultanah Safiyatuddin (memerintah 1641-1675), Sultanah Nurul Alam Naqiatuddin Syah (1675-1677), Sultanah Inayah Zakiatuddin Syah (1677-1688), dan Sultanah Kamal Zainatuddin Syah (1688-1699).
Bila melihat tahun para sultanah ini memerintah yaitu sejak 1641 sampai 1699. Itu berarti, para sultanah tersebut mampu menjalankan kekuasaan tertinggi dalam pemerintahan dalam masa lebih dari setengah abad.
Rumoh Aceh, Arsitektur Rumah Adat Tahan Gempa yang Awet 200 Tahun
Namun bagi masyarakat Aceh, kepemimpinan sultanan tetap saja menimbulkan kontroversi.
hal ini memang tidak hanya terkait isu politik saja, tetapi mengarah ke persoalan yang menyentuh agama.
Denys Lombard dalam Nusa Jawa: Jaringan Asia yang dimuat Historia menulis pemilihan perempuan untuk menduduki takha dinilai kurang arif. Rakyat ketika itu memerlukan imam untuk tampil di depan umum.
Sedangkan perempuan tidak mungkin mengimani salat. Tidak juga bisa meninggalkan tempat tinggalnya yang terpencil di dalam istana. Hanya bila diperlukan, misalnya menghindari perang saudara seorang putri raja bisa menggantikan ayahnya.
“Dia tak boleh tampil dan harus tetap bersembunyi di belakang tirai apabila hendak berbicara dengan menteri-menterinya,” tulis Lombard.
Apalagi di sisi lain, pergantian sultan lebih banyak dikendalikan oleh orang kaya. Kelompok elite yang juga mengontrol sumber data alam dari sultan. Dalam menjalankan politiknya, para orang kaya sangat kuat sehingga posisi mereka sangat berbahaya bagi sultan.
Dalam pemilihan sultan yang dijalankan oleh kelompok orang kaya, biasanya mereka memilih sultan yang sudah di usia tua atau sangat muda. Mereka berpendapat bahwa sultan di usia tua atau sangat muda memiliki masa kepemimpinan yang tidak panjang, sehingga kekuasaan orang kaya tetap stabil.
Empat perempuan pada takhta Kesultanan Aceh
Pemerintahan perempuan di Kerajaan Aceh Darussalam pada abad 17 bermula ketika meninggalnya Sultan Iskandar Tsani yang tidak meninggalkan ahli waris kerajaan. Situasi dalam kerajaan menjadi kacau, apalagi munculnya orang kaya yang berlomba meraih kekuasaan tertinggi.
Karena kondisi politik kerajaan memanas mengenai pergantian Sultan Iskandar Tsani, maka pembesar Aceh dan para ulama yang berkumpul untuk membicarakan mengenai pemimpin kerajaan berikutnya.
Setelah perdebatan yang lama, maka diambil sebuah keputusan bahwa Tajul Alam Safiyatuddin, sebagai sultanah pertama Kesultanan Aceh. Dia menggantikan suaminya, Sultan Iskandar Thani yang wafat.
Sebelum dinobatkan sebagai pengganti suaminya, timbul perdebatan hebat dengan kelompok yang menentang kepemimpinan perempuan. Mereka beralasan, kepemimpinan perempuan tidak sah, karena tidak bisa menjadi pemimpin salat.
Tetapi pihak yang mendukung menyebut kepemimpinan perempuan diperbolehkan asal memenuhi syarat-syarat keagamaan, akhlak dan ilmu pengetahuan. Atas dasar keputusan itulah penobatan Safiyatuddin sebagai sultanah.
Anthony Reid dalam Menuju Sejarah Sumatra: Antara Indonesia dan Dunia menyebut Safiyatuddin menjalankan pemerintahan yang lebih lunak. Perubahan-perubahan mendasar terjadi dalam kekuasaannya.
Kondisi ini melahirkan struktur kerajaan yang sangat berbeda. Misalnya, dia memerintahkan untuk membuka semua pendidikan tak cuma untuk laki-laki. Bahkan beberapa kali ratu mewajibkan kaum perempuan unuk belajar.
Sumber yang dikutip oleh Ried menyebut pemerintahan Aceh pada saat itu sangat tertib dan makmur, Safiyatuddin berhasil menciptakan iklim yang sangat menguntungkan bagi pedagang luar negeri.
Sultanah juga menerapkan hukum yang keras, seperti hukuman mati kepada orang yang mencuri properti kesultanan. Ada juga hukuman bagi potong bagian tubuh kepada pencuri. Selain itu kepada pemabuk akan dipotong tangannya atau menelan timah panas.
Selanjutnya setelah Safiyatuddin mangkat, dia digantikan Sultanah Nurul Alam Nakiyatuddin. Pada masa pemerintahannya, dia juga menerapkan hukum yang tak jauh berbeda khususnya pada kasus pencurian, hukuman mati, potong tangan dan kaki.
Syair Smong, Kearifan Lokal yang Selamatkan Simeulue dari Tsunami Aceh
Nakiyatuddin meninggal, Inayat Syah Zakiyatuddin lantas menggantikannya. Ketika menjabat, Zakiyatuddin mengikat perjanjian persahabatan dengan negara tetangga untuk saling bantu melumpuhkan VOC.
Pada saat Zakiyatuddin memerintah dia didatangi oleh utusan Inggris pada tahun 1684. Mereka meminta izin kepada sultanah untuk mendirikan kantor dagang dan benteng di Aceh. Mendengar pernyaaan itu Zakiyatuddin secara tegas menolak.
Menurut sultanah, pendirian benteng Inggris nantinya akan membahayakan masyarakat Aceh. Mendengar pernyataan itu, Inggris merasa gagal untuk membuat benteng lantas bertolak kembali ke Bengkulu.
Zakiyatuddin meninggal pada 1688, kemudian digantikan Kamalat Syah yang memerintah hingga tahun 1699. Dalam masa pemerintahannya konflik kepemimpinan perempuan tidak berhenti juga, bahkan timbul pula fitnah untuk menjatuhkan Kamalat Syah.
Tetapi dalam masa konflik ini, sultanah mengeluarkan berbagai kebijakan pemerintah, ekonomi bahkan hubungan luar negeri. Walau terus diusik oleh kelompok oposisi, Kamalat Syah tetap memikirkan proses pembangunan kerajaan.
Namun, kemudian sang ratu mengundurkan diri pada 1699. Bukan karena tuntutan dari pihak oposisi. Melainkan fatwa dari Mekkah yang menegaskan pemerintahan perempuan bertentangan dengan ajaran Islam.
“Peristiwa ini menandakan akhir dari pemerintahan ratu di kerajaan setelah berlangsung selama 59 tahun berturut-turut,” tulis Reid.
Peran perempuan dalam sejarah Aceh
Dalam sejarah peran perempuan di tanah Aceh terutama dalam ruang lingkup Kerajaan Aceh Darussalam telah memiliki peran sangat besar. Peran mereka bisa meliputi bagian ekonomi, diplomasi, hiburan, perang, dan politik.
Reid menyebut peran perempuan di Aceh menjadi langkah pertama untuk membentuk sikap toleran masyarakat dalam kepempinan perempuan. Peran perempuan yang demikian besar akan menjadi kekuatan besar dalam mengembangkan peradaban.
Jalan Pedang Daud Beureueh, Ulama Karismatik yang Masuk Hutan untuk Tagih Janji
.”Aceh telah menjadi contoh bagaimana di Kepulauan Indonesia pun wanita sewaktu-waktu bisa mempunyai pengaruh dibidang politik,” tulis Mohamamd Said dalam Aceh Sepanjang Abad.
Pengaruh yang dilakukan oleh perempuan bergantung pada perannya, terutama pada keberanian dia dalam berperang. Jika keberanian dan kesanggupan itu ada, maka perempuan layak mendapat tempat yang lebih dari pada laki-laki.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News