Sotasrungga dikenal sebagai perbukitan Para Begawan — lokasi yang secara literatur empiris dan bukti arkeologis, memberi tauladan penting akan sikap bijaksana dalam pemanfaatan Sumber Daya Alam (SDA).
Raja Dyah Baletung (898-910 M) memegang kalimat “Devata Lumah ing Sotasrungga” sebagai prinsip kebijaksanaan. Penguasa Kerajaan Medang itu, mengistimewakan Sotasrungga seperti apa yang dilakukan raja-raja sebelumnya.
Istilah Devata Lumah ing Sotasrungga, dimaknai para sejarawan sebagai tanah persemayaman Para Dewa (Para Raja). Namun, ada pula yang memaknai kalimat itu sebagai tempat “terkaparnya” para raja yang tidak bijaksana.
Maka wajar jika kelak, Sotasrungga cukup dihindari para penguasa. Sebab konon, penguasa yang tidak bijak dalam memanfaatkan SDA, akan lumah (terkapar) saat berada di Sotasrungga. Hikayat bijak ini berkembang menjadi mitos dari zaman ke zaman.
Raja Dyah Baletung adalah contoh penguasa bijaksana. Dia menggratiskan perahu-perahu pemuat lengo dan kapur yang melintas di kawasan Sotasrungga. Sebab, lengo dan kapur adalah entitas Lemah Citra — simbol pengetahuan dan Peradaban Citralekha. Bagi Dyah Baletung, SDA harus mendukung majunya peradaban.
Baca Selengkapnya