Tuhan, jangan biarkan kami hanya pandai mengingat, tapi gagap meneladani. Sebab bangsa yang hanya memuja tokoh, tanpa menyalin teladannya,
pada akhirnya hanya menyembah bayangan sendiri.
Nama Baharuddin Lopa adalah semacam gema yang masih tersisa dari satu musim panjang ketakutan dan keberanian di negeri ini. Ia lahir di sebuah kampung pesisir—Pambusuang, Polewali Mandar—yang setiap harinya melihat laut sebagai cakrawala sekaligus batas.
Mungkin dari sana ia belajar, bahwa hukum seperti laut yang luas, dalam, berombak, dan kerap menenggelamkan perahu-perahu kecil, tapi juga menyimpan janji untuk menyeberangkan siapa saja yang tahu arah.
Seorang anak nelayan yang menyeberang jauh, menuntut ilmu hingga Semarang, meraih doktor hukum laut, lalu kembali ke pusaran yang lebih ganas daripada badai tropis yakni birokrasi penegakan hukum Indonesia. Dari Kepala Kejaksaan Tinggi hingga Pusdiklat Kejaksaan Agung, ia bukan hanya pejabat, melainkan semacam “penyakit langka”: jaksa yang tidak bisa dinegosiasikan. Tapi keberanian, dalam sejarah bangsa ini, sering berumur pendek.
Lopa, dengan reputasi “keras dan lurus” itu, seakan menjadi pengecualian yang hanya mempertegas aturan umum: bahwa hukum di Indonesia adalah semacam ladang dengan tanah subur untuk kompromi. Setiap yang tumbuh lurus di ladang itu, cepat atau lambat, akan ditebang.
Baca Selengkapnya