Media sosial membuat standar produktivitas yang absurd karena semua orang hanya menunjukkan highlight yang terbaik dalam hidupnya—sudah diedit, difilter, dan dipilih bagian paling mulusnya.
Hal itu dapat membuat banyak anak muda selalu merasa kurang dengan pencapaiannya, sehingga muncul tekanan halus untuk mengejar ritme hidup yang sebenernya tidak manusiawi jika dijalani setiap hari.
Di banyak lingkungan kuliah dan kerja awal pun, begadang dan selalu sibuk dianggap sebagai standar normal yang harus diikuti bahkan dipuji sebagai tanda kerja keras.
Akhirnya mereka membentuk pola pikir bahwa hari tanpa produktivitas adalah sama dengan hari yang terbuang sia-sia. Begitu mereka istirahat sejenak, muncul rasa bersalah yang menusuk karena takut dianggap tidak memiliki ambisi atau kurang berusaha.
Artikel ini mengulas bagaimana tekanan produktivitas ekstrem membentuk pola pikir yang keliru serta dampak psikologisnya terhadap anak muda.
Tekanan Tak Terlihat dari Lingkungan Sosial
Tekanan yang muncul dari lingkungan sosial sering kali tidak terlihat bentuknya dan jarang disadari. Orang sekitar seperti teman, rekan kerja, organisasi, bahkan keluarga kadang menaruh ekspektasi yang tinggi seolah-olah seseorang harus terus memiliki kesibukan.
Menurut (Siegrist, 1996) dalam obrolan kecil yang sepele pun dapat membuat suatu tekanan terhadap seseorang. Ketika orang-orang di sekitar terlihat sibuk, rajin ikut kegiatan, atau selalu punya pencapaian terbaru, memunculkan rasa terdorong untuk ikut megejarnya, meskipun kondisi fisik dan mental sudah meminta jeda.
Akhirnya, banyak anak muda tidak memiliki ruang untuk berhenti sejenak karena takut dianggap malas, kurang berusaha, atau ketinggalan. Lama-lama standar yang terbangun bukanlah soal berkembang, tapi soal tidak boleh terlihat santai.
Tekanan halus semacam inipun perlahan membentuk keyakinan bahwa istirahat itu salah, padahal tubuh dan pikiran ini harus sehat agar tetap bekerja dengan baik.
Bagaimana Media Sosial Memperparah Rasa 'Kurang'
Media sosialpun akhirnya membuat semua itu bertambah kompleks. Setiap scrolling, muncul orang yang terlihat lebih produktif, lebih cepat maju, memiliki banyak peluang, atau lebih mapan di usia yang sama.
Tanpa sadar, muncul perasaan “Kok aku gak produktif ya?” Fenomena FOMO ini mendorong anak muda untuk membadingkan diri terus-menerus, bahkan terhadap pencapaian yang belum tentu realistis.
Akhirnya muncul perasaan “kurang”, seperti apa pun usaha yang kita lakukan selalu ada yang lebih. Kau tinggal putar balik jika itu bukan jalanmu, dan memanjat naik jika jatuh ke jurang. (Hyeon-wook, 2023)
Efek Psikologis yang Diam-diam Menggerogoti
Jika tekanan produktivitasnya terus-menerus, dampak psikologisnya akan mulai terasa. Dimulai dari kelelahan emosional, dan disusul rasa cemas yang tinggi. Perfeksionisme yang awalnya terlihat positif berubah menjadi pemicu efek negatif karena seseorang jadi takut gagal, takut salah, dan takut dianggap kurang.
Hidup pun seperti lomba tanpa garis finish—terus berlari, terus mengejar sesuatu dengan target milik orang lain. Kondisi ini bisa berkembang jadi burnout berat jika tidak disadari dan tidak segera ditangani.
Studi dari Harvard Business Review (2019) dikatakan bahwa WHO sudah memasukkan burnout ke dalam klasifikasi penyakit internasional sebagai fenomena pekerjaan. Tekanan produktivitas ekstrem memang telah membentuk pola pikir keliru di kalangan anak muda, di mana istirahat dianggap musuh kesuksesan dan media sosial jadi penguat rasa 'kurang' yang tak ada habisnya.
Dampak psikologisnya—mulai dari kecemasan kronis hingga burnout yang diakui WHO—bukti nyata bahwa obsesi ini justru menghambat kemajuan jangka panjang, bukan mempercepatnya.
Alih-alih mengejar standar absurd orang lain, mulailah produktivitas sebagai keseimbangan antara kerja keras dan self-care: sisihkan waktu untuk recharge, batasi scrolling, dan rayakan kemajuan kecilmu sendiri dengan self-reward. Dengan begitu, kamu bisa tetap ambisius tanpa kehilangan kesehatan mental—karena waras dulu, baru produktif selamanya.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News


