Ada momen ketika rasa lelah tidak bisa diselesaikan hanya dengan tidur. Setelah bekerja keras, mengejar tenggat waktu, atau bertahan di tengah tekanan hidup, tubuh mungkin beristirahat, tetapi pikiran belum tentu pulih.
Dalam kondisi seperti ini, banyak orang terutama generasi muda memilih satu tindakan sederhana: self-reward.
Entah itu menonton film favorit, menikmati makanan kesukaan, atau sekadar meluangkan waktu tanpa tuntutan apa pun, self-reward sering kali terasa sangat bermakna. Seolah seluruh usaha yang telah dijalani akhirnya diakui.
Fenomena ini bukan sekadar tren gaya hidup, melainkan memiliki dasar psikologis yang nyata.
Dalam psikologi, self-reward dipahami sebagai mekanisme yang membantu individu menjaga motivasi dan kesehatan mental.
Artinya, rasa lega dan bahagia yang muncul bukanlah kebetulan, melainkan hasil dari proses mental yang dapat dijelaskan secara ilmiah.
Apa Itu Self-Reward Menurut Psikologi?
Dalam psikologi perilaku, self-reward dikenal sebagai bagian dari self-reinforcement, yaitu pemberian penguatan positif kepada diri sendiri setelah melakukan usaha atau perilaku tertentu. Konsep ini berakar dari teori operant conditioning yang dikemukakan oleh B. F. Skinner dalam bukunya Science and Human Behavior (Skinner, 1953).
Skinner menjelaskan bahwa perilaku yang diikuti oleh penguatan positif cenderung akan diulang di masa depan. Dalam konteks ini, self-reward berfungsi sebagai penguatan yang diberikan secara sadar oleh individu kepada dirinya sendiri.
Dalam praktik modern, self-reward tidak selalu berbentuk materi. Bentuknya dapat berupa waktu istirahat, hiburan, pengalaman menyenangkan, atau bahkan sekadar pengakuan internal atas usaha yang telah dilakukan.
Penelitian berjudul Urgensi Self-Reward terhadap Kesejahteraan Psikologis Mahasiswa menunjukkan bahwa self-reward berperan penting sebagai bentuk validasi diri, terutama bagi individu yang menghadapi tekanan akademik tinggi (Putri & Rahmawati, 2022).
Dengan kata lain, self-reward membantu individu menyadari bahwa usahanya memiliki nilai, bukan hanya hasil akhirnya.
Mengapa Self-Reward Bisa Membuat Kita Merasa “Terbayarkan”?
Rasa senang setelah melakukan self-reward berkaitan erat dengan sistem reward di dalam otak. Ketika seseorang mencapai target lalu memberikan hadiah kepada dirinya sendiri, otak melepaskan dopamin, yaitu neurotransmiter yang berperan dalam rasa puas, senang, dan motivasi.
Berridge dan Kringelbach (2015) dalam jurnal Neuron menjelaskan bahwa sistem kesenangan otak bekerja ketika seseorang menerima atau mengantisipasi reward. Inilah yang membuat self-reward terasa begitu melegakan, bahkan setelah usaha yang melelahkan.
Selain aspek biologis, self-reward juga memiliki fungsi emosional. Artikel edukatif yang diterbitkan oleh Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Surabaya (UNESA) menjelaskan bahwa self-reward membantu individu memvalidasi kelelahan dan perjuangan yang telah dilalui. Validasi ini penting untuk menurunkan tekanan psikologis dan perasaan tidak dihargai (UNESA, 2023).
Dengan demikian, rasa lega yang muncul bukan hanya soal “senang-senang”, melainkan kombinasi antara respons biologis dan pengakuan emosional terhadap diri sendiri.
Dampak Positif Self-Reward bagi Kesehatan Mental
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa self-reward yang dilakukan secara sadar dan proporsional membawa dampak positif bagi kesehatan mental.
Pertama, self-reward dapat membantu mengurangi stres dan risiko burnout. Penelitian yang dipublikasikan dalam Jurnal KREPA menemukan bahwa individu yang menerapkan self-reward secara terencana memiliki tingkat stres yang lebih rendah dibandingkan mereka yang terus memaksa diri tanpa jeda (CIB Institute, 2021).
Kedua, self-reward meningkatkan motivasi dan konsistensi usaha. Skinner (1953) menegaskan bahwa reinforcement positif membuat seseorang lebih termotivasi untuk mengulangi perilaku produktif di masa depan. Dengan kata lain, menghargai diri sendiri justru dapat membantu menjaga disiplin jangka panjang.
Ketiga, self-reward berkaitan dengan peningkatan kesejahteraan psikologis. Studi pada mahasiswa menunjukkan bahwa self-reward berhubungan dengan meningkatnya penerimaan diri, emosi positif, dan kepuasan hidup (Putri & Rahmawati, 2022).
Namun demikian, penting untuk dicatat bahwa self-reward perlu dilakukan secara seimbang. UNESA (2023) mengingatkan bahwa self-reward yang tidak terkontrol berisiko berubah menjadi perilaku impulsif atau konsumtif, yang justru dapat menimbulkan masalah baru.
Di tengah budaya produktivitas yang menuntut manusia untuk terus bergerak, self-reward sering disalahartikan sebagai kemanjaan. Padahal, secara psikologis, menghargai diri sendiri merupakan bagian dari perawatan kesehatan mental.
Self-reward adalah cara sederhana tetapi bermakna untuk mengatakan kepada diri sendiri bahwa perjuangan yang dijangkau layak dihargai. Selama dilakukan dengan sadar dan proporsional, self-reward dapat menjadi jembatan antara kerja keras dan kebahagiaan yang berkelanjutan.
Bagi Kawan GNFI, memahami hal ini penting agar tidak lagi merasa bersalah saat berhenti sejenak untuk merawat diri. Sebab, kesehatan mental bukanlah sesuatu yang bisa ditunda, melainkan fondasi untuk menjalani kehidupan yang lebih seimbang.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News


