Sulawesi menyimpan kearifan lokal yang beragam. Berbagai tradisi dilakukan secara turun-temurun oleh masyarakat ini merupakan identitas budaya sekaligus menjadi penghubung spiritual antara manusia, alam, dan leluhur.
Untuk mengenal lebih jauh, berikut macam-macam tradisi yang ada di Sulawesi:
1. Tumbilotohe
Dilaksanakan menjelang akhir bulan Ramadan, tradisi ini dilakukan secara turun-temurun. Warga Gorontalo akan memasang lampu botol yang diisi dengan minyak tanah. Adapun makna dari tradisi tersebut adalah nilai religi serta kekeluargaan.
Lampu dipasang pada pintu gerbang rumah yang memiliki simbol penyambutan. Jumlah lampu yang dipakai sebanyak 27 disusun bertingkat menunjukan tanggal 27 Ramadan dan 1 buah lampu diletakan paling atas memberi makna pengakuaan ke-esaan Allah yang Maha Agung.
2. Karia
Ritual penyucian diri sudah ada sejak abad ke-18, wajib dilakukan untuk perempuan menuju proses pendewasaan serta persiapan pernikahan bagi gadis masyarakat suku Muna di Sulawesi Tenggara. Dalam prosesnya, tradisi ini diiringi dengan tari Linda.
Peserta masuk kedalam ruangan yang gelap selama beberapa hari. Hal ini menyimbolkan rahim Ibu, di mana fase awal kehidupan sebelum dilahirkan ke dunia.
Dalam prosesi ini peserta diperbolehkan beraktivitas seperti biasa makan dan minum. Selanjutnya, pada akhir ritual membuka pintu ruang pingitan memiliki simbol lahir kembali dalam keadaan suci.
3. Festival Tumbe
Masyarakat Sulawesi Tengah selalu menyelenggarakan tradisi yang usianya sudah berabad-abad dan masih dipegang teguh setiap tahunnya di bulan Desember. Tiga kabupaten terlibat dalam kegiatan ini, seperti Kabupaten Banggai Laut, Kabupaten Banggai, serta Kabupaten Banggai Kepulauan.
Dalam tradisinya, terdapat pagelaran musik tradisional, karnaval ikan bakar, hingga memancing tradisional. Proses dimulai ketika rombongan membawa telur burung Maleo yang singgah di Kepulauan Banggai Kepulauan dilanjutkan melakukan ritual lempar kayu. Lalu, meneruskan perjalanan ke pulau Labobo dengan mengganti daun pembungkus telur burung Maleo.
Daun yang lama dihanyutkan ke laut menjadi tanda sudah sampai di Tanjung Merah. Kemudian, masuk pada sesi ritual Malabot yang memiliki makna penghormatan adat serta budaya. Kegiatan ini dihadiri oleh pemangku adat, pemerintah setempat, masyarakat hingga pelajar dari seluruh Kabupaten Banggai Laut.
4. Monibi
Ritual yang dilakukan oleh para pendahulu, khususnya komunitas Bolaang Mongondow di Sulawesi Utara. Upacara dilakukan dengan menyembah roh nenek moyang dan mengungkapkan permohonan yang diinginkan. Adapun tujuan dari upacara ini, untuk menolak berbagai macam penyakit, wabah, serta musibah.
Prosesnya dengan menyembelih hewan seperti ayam, kambing, dan babi. Kemudian, darahnya dipercikan ke atas tangga oleh pemimpin adat. Lalu, dilanjut dengan upacara sedekah bumi di Kerajaan Boolang Mongondow.
5. Sayyang Pattu'du
Tradisi mengarak anak yang khatam Al-Qur’an dengan menggunakan hewan kuda yang menari mengikuti irama tabuhan rebana. Sayyang Pattu’du diperkirakan ada di abad ke-16 bersamaan dengan masuknya Islam di beberapa kerajaan Polewali Mandar, Sulawesi Barat.
Pada awalnya, tradisi ini hanya digelar pada saat memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW. Seiring berjalannya waktu, berkembang menjadi perayaan khatam Al-Qur’an.
Dilaksanakan setelah tanggal 12 Rabiul awal, dengan menggunakan kuda khusus yang telah dilatih kemudian, dihias menggunakan aksesoris pernak-pernik adat. Ketika hari perayaan tiba, anak perempuan mengenakan hijab, sedangkan anak laki-laki memakai gamis dan sorban.
Arak-arakan dilakukan dengan berkeliling jalan desa atau kampung, bahkan melintasi jalan provinsi. Dipimpin oleh Sawi, orang yang memberikan intruksi agar kuda menari dan diikuti dua orang penjaga yang biasanya merupakan kerabat anak-anak yang sudah khatam Al-Qur’an.
6. Sigajang Laleng Lipa
Tradisi ini dilakukan oleh masyarakat khususnya suku Bugis di Sulawesi Selatan, merupakan ritual pria bertarung dalam sarung dengan menggunakan senjata tradisional Badik. Hal tersebut dilakukan sebagai jalan terakhir dalam menyelesaikan masalah atau sengketa, di mana keduanya sepakat untuk bertarung demi menjunjung harkat dan martabat yang harus ditegakan.
Pada saat bertarung adu kekuatan menggunakan Badik keduanya bisa sama-sama hidup atau mati, bahkan salah satunya mati. Tradisi ini masih terus dipertahankan dan dipentaskan kembali dalam sebuah panggung untuk menjaga kelestarian budaya.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News


