Banjir berskala besar yang terjadi di beberapa wilayah Sumatra dan Aceh membawa dampak luas bagi masyarakat, baik dari sisi kerusakan fisik maupun kehidupan sosial mereka.
Rumah terendam, aktivitas terganggu, serta akses terhadap kebutuhan dasar menjadi dampak yang paling mudah terlihat setelah banjir terjadi.
Namun, di balik kerusakan tersebut, banjir juga menyisakan pengalaman emosional yang berat bagi para korban.
Situasi darurat, rasa takut akan keselamatan diri, serta kehilangan tempat tinggal dan harta benda dapat meninggalkan tekanan psikologis yang tidak selalu langsung disadari. Banyak korban tampak telah pulih ketika kondisi lingkungan mulai membaik, padahal secara mental mereka masih berusaha beradaptasi dengan pengalaman traumatis yang dialami.
Karena itu, dampak psikologis banjir menjadi isu penting untuk dibahas, terutama terkait risiko munculnya gangguan stres pascatrauma atau Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD).
Banjir sebagai Pengalaman Traumatis bagi Korban

Banjir sebagai Pengalaman Traumatis bagi Korban | Foto: freepik | ninjason1
Banjir sering terjadi secara tiba-tiba dan menempatkan korban dalam kondisi penuh ketidakpastian. Dalam situasi ini, masyarakat harus menghadapi ancaman terhadap keselamatan diri, kehilangan tempat tinggal, serta rusaknya sumber penghidupan yang secara langsung mengguncang rasa aman mereka.
Kondisi tersebut sejalan dengan penjelasan Zakiah (2021) bahwa korban bencana dihadapkan pada ancaman keselamatan jiwa, kehilangan anggota keluarga dan harta benda, serta perubahan besar dalam kehidupan sehari-hari yang memicu tekanan psikologis.
Pengalaman kehilangan selama banjir tidak hanya berdampak secara materi, tetapi juga meninggalkan tekanan emosional yang dapat bertahan meskipun kondisi lingkungan mulai pulih.
Pada beberapa korban, kesulitan beradaptasi setelah bencana membuat perasaan takut dan tidak berdaya tetap muncul dalam keseharian, terutama ketika mereka dihadapkan pada situasi yang mengingatkan kembali pada peristiwa banjir.
Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD) pada Korban Banjir

Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD) pada Korban Banjir | Foto: freepik | KamranAydinov
Foa et al. (2009) menyebutkan bahwa tekanan psikologis yang dialami korban banjir dapat berkembang menjadi post-traumatic stress disorder (PTSD), yaitu gangguan mental yang muncul ketika seseorang mengalami atau menyaksikan peristiwa traumatis, termasuk bencana alam, dan sering kali disertai perasaan tidak berdaya.
Pengalaman menghadapi ancaman keselamatan, kehilangan anggota keluarga, serta rusaknya tempat tinggal menjadi faktor yang dapat memicu munculnya gangguan ini.
Pada korban banjir, PTSD tidak hanya berdampak pada kondisi emosional, tetapi juga memengaruhi kualitas hidup secara keseluruhan. Penelitian yang dilakukan oleh Erlin & Sari (2020) menunjukkan bahwa sebagian korban banjir mengalami penurunan kualitas hidup sebagai akibat lanjutan dari gangguan psikologis yang berkaitan dengan gejala PTSD.
Kondisi ini memperlihatkan bahwa trauma akibat banjir dapat bertahan dalam jangka waktu tertentu dan memengaruhi kemampuan korban dalam menjalani aktivitas sehari-hari, meskipun bencana telah berlalu.
Pentingnya Perhatian Psikologis bagi Korban Pascabencana

Pentingnya Perhatian Psikologis bagi Korban Pascabencana | Foto: freepik
Upaya pemulihan pascabencana selama ini umumnya berfokus pada bantuan material dan perbaikan infrastruktur. Padahal, tanpa dukungan psikologis, korban banjir berisiko mengalami gangguan mental yang berlarut-larut. Sutrisno et al. (2024) menyebutkan bahwa pendampingan mental, konseling trauma, serta dukungan sosial terbukti berperan penting dalam membantu korban mengelola stres dan menyesuaikan diri setelah bencana.
Kurangnya pemahaman tentang PTSD membuat kondisi psikologis korban banjir sering terabaikan. Padahal, trauma dapat memengaruhi kualitas hidup dan aktivitas sehari-hari korban. Karena itu, perhatian terhadap kesehatan mental perlu menjadi bagian penting dalam penanganan banjir.
Pada akhirnya, banjir tidak hanya merusak rumah dan lingkungan, tetapi juga meninggalkan luka yang tidak selalu terlihat. Ketika air surut dan keadaan perlahan dianggap normal, trauma justru dapat tetap bertahan dalam ingatan para korban.
Oleh karena itu, pemulihan korban banjir tidak cukup berhenti pada perbaikan fisik, tetapi juga perlu memberi perhatian dan ruang aman bagi proses pemulihan psikologis.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News


