Siapa yang menyangka, nyawa 40.000 jiwa telah terenggut di tangan seorang kapten muda berusia 27 tahun? Peristiwa yang membawa sosok Kahar Muzakkar tergesa-gesa menghadap Soekarno untuk melaporkan kondisi Sulawesi Selatan yang sangat memprihatinkan.
Soekarno bercucuran air mata, tidak bisa membayangkan betapa besarnya perjuangan rakyat Sulawesi untuk mempertahankan kemerdekaan. Sejak saat itu, 40.000 jiwa menjadi salah satu simbol perlawanan yang sering disematkan Soekarno di dalam pidatonya.
Namun, apa yang melatarbelakangi peristiwa yang telah memusnahkan ribuan nyawa ini? Apakah sekadar perintah belaka atau ada motif lain dibaliknya? Selamat membaca!
Berawal dari Pembentukan Negara Indonesia Timur (NIT)
Negara federasi telah menjadi wacana sejak lama. Bung Hatta dalam berbagai kesempatan mengungkapkan harapan terbentuknya negara ini sebagai salah satu cara bagi setiap wilayah untuk ‘bertumbuh’ sesuai dengan sumber daya yang dimilikinya.
Namun, idealisme tidak bisa dibayar kontan, atas dasar tipu muslihat Letjen Van Mook, negara federasi menjadi siasat untuk merebut kembali kekuasaan Belanda pasca kemerdekaan Indonesia.
Dikutip dari Jurnal Sejarah Indonesia bahwa rencana Van Mook mulai berbuah manis saat diadakannya Konferensi Malino pada tanggal 15-25 Juli 1946. Pertemuan ini bertujuan untuk memprakarsai berdirinya Negara Indonesia Timur (NIT) yang berpusat di Sulawesi Selatan.
Gagasan ini makin terlihat nyata saat Perundingan Linggarjati menghasilkan kesepakatan terbentuknya Republik Indonesia Serikat (RIS) di bawah kendali Belanda. Hal ini mendorong diadakannya Konferensi Denpasar pada tanggal 24 Desember 1946 untuk mendeklarasikan terbentuknya NIT.
Sayangnya, strategi Van Mook untuk memegang kendali kekuasaan di Indonesia tidak disambut dengan baik oleh masyarakat Sulawesi. Cita-cita yang terpatri dalam UUD 1945 dan seruan Bung Karno untuk membentuk negara kesatuan telah menjadi doktrin di kepala setiap rakyat Indonesia.
Terlebih keberadaan NIT di bawah kekuasaan Belanda membuat masyarakat merasa kembali terjajah walaupun kemerdekaan telah diproklamasikan. Hal ini yang mendesak Belanda untuk memikirkan kembali eksistensinya setelah terjadinya pemberontakan di Sulawesi Selatan.
Terbentuknya Laskar Pemberontak Rakyat Sulawesi (LAPRIS)
Pembentukan negara federasi memperoleh simpati sebagian masyarakat, tetapi bukan berarti berjalan mulus tanpa perlawanan. Ambisi pendiri bangsa untuk membentuk negara kesatuan tetap menjadi landasan perjuangan rakyat.
Salah satu perlawanan rakyat paling terkenal di Sulawesi berasal dari Laskar Pemberontak Rakyat Sulawesi (LAPRIS) yang diinisiasi oleh Kelaskaran Lipan Bajeng yang berkedudukan di Borongkaramasa, Polongbangkeng, Kabupaten Takalar.
Dikutip dari Jurnal Pemikiran Kesejarahan dan Pendidikan Sejarah (Attoriolong), LAPRIS berdiri pada 17 Juli 1946 sebagai wadah persatuan dari 19 laskar pemuda yang ada di Sulawesi Selatan. Keberadaan LAPRIS bertujuan untuk menentang pembentukan NIT yang diinisiasi belanda.
Berbagai cara telah dilakukan LAPRIS untuk menentang negara federasi, termasuk percobaan penggagalan konferensi pembentukan NIT hingga menyusun program jangka panjang untuk mempertahankan wilayah Sulawesi dari kedudukan Belanda, bahkan sebelum terbentuknya LAPRIS, Kelaskaran Lipan Bajeng telah mengalami 13 kali kontak senjata dengan Belanda (melalui NICA dan KNIL).
Namun seiring waktu, gerak LAPRIS makin menggeliat setelah memperoleh dukungan dan bantuan dari Tentara Republik Indonesia Persiapan Sulawesi (TRIPS) yang diketuai Kahar Muzakkar.
Besarnya pengaruh LAPRIS, termasuk dinamika politik Sulawesi Selatan, membuat rencana Letjen Van Mook untuk membentuk negara federasi menjadi buyar. Hal ini menjadi dasar pengambilan keputusan untuk mengumumkan “Keadaan Darurat Perang” di Sulawesi Selatan dan mengirim kapten berdarah dingin, Raymond Westerling, untuk menerbitkan para pemberontak, termasuk LAPRIS, pada tanggal 11 Desember 1946.
“Operasi Pembersihan Sulawesi” di Tangan Raymond Westerling
5 Desember 1946, sebuah tanggal kelabu yang akan dikenang sepanjang masa di tanah Sulawesi. Dikutip dari karya Zainuddin Tika, dkk, yang berjudul “Sulawesi Selatan Berdarah”, Kapten Raymond Westerling menginjakkan kaki di Makassar bersama 123 serdadunya yang diberi nama Corps Speciale Stoot Troven (CSST).
Misinya sederhana: “membersihkan” Sulawesi Selatan dari para pemberontak yang disinyalir berada di lima wilayah, yaitu Makassar, Bantaeng, Pare-Pare, Mandar, dan Luwu. Untuk mengeksekusi operasi ini, Westerling menggunakan teknik “Standrecht” atau eksekusi di tempat tanpa perlawanan.
Selain itu, Westerling juga dibantu oleh berbagai pihak, termasuk satu batalyon infanteri yang didatangkan dari Belanda, KNIL, dan juga NICA yang terlebih dahulu menguasai Sulawesi.
Staat van Oorlog en Beleg (SOB) atau keadaan darurat perang diumumkan pada 11 Desember 1946. Walaupun demikian, Westerling bersama para pasukannya telah memulai strategi operasi sejak sebelum kedatangannya melalui mata-mata yang dikirimkan sebulan sebelumnya.
Fajar menjelang pagi yang hening, saat Kampung Jongaya masih tertidur lelap, pasukan Westerling mendobrak pintu warga dan menyeret setiap orang yang diduga pemberontak ke tanah lapang untuk diinterogasi. Tak ada kesempatan untuk mengelak, apalagi kabur dari kerumunan. Di mana mata tajam Westerling tertuju di sana terdengar suara senapan yang diikuti rintihan para korban.
Tidak ada yang tersisa hari itu, Westerling membersihkan secara total Kampung Jongaya berdasarkan prasangkanya. Operasinya lalu dilanjutkan ke daerah Gowa, Takalar, Polongbangkeng, Binamu, hingga Jeneponto pada tanggal 17-31 Desember 1946.
Setelah mengeksekusi wilayah yang dekat dari Makassar, pasukan Westerling memasuki area Bantaeng, Gantarang, Bulukumba, dan Sinjai pada tanggal 2-16 Januari 1947, lalu memperluas daerah operasinya ke Maros, Pangkep, Barru, Pare-Pare, Pinrang, dan Polewali Mandar pada tanggal 17 Januari-3 Maret 1947.
Operasi militer yang kelak dikategorikan “kejahatan melawan kemanusiaan” ini berakhir di daerah Palopo pada bulan Mei 1947 sebelum Westerling ditarik ke Jawa karena operasinya yang berhasil menarik perhatian publik, termasuk Soekarno.
Tidak tanggung-tanggung, menurut penuturan Kahar Muzakkar di hadapan Soekarno, 40.000 jiwa direnggut dari tubuhnya, termasuk tokoh-tokoh besar yang namanya telah abadi sebagai pahlawan rakyat Sulawesi Selatan, seperti Wolter Monginsidi, Bau Massepe, Andi Muis, hingga Andi Abdul Kadir.
Peristiwa ini menyisakan luka dan tanda tanya bagi sejarah Indonesia hingga hari ini. Namun sayangnya, Wasterling yang pernah diburu oleh Pemerintah Indonesia atas kelakuan kejinya, malah melenggang bebas dan hidup nyaman hingga akhir hayat atas bantuan Belanda.
Dengan demikian, akhir dari kisah Peristiwa Westerling pada tahun 1946-1947. Walaupun telah usai dengan akhir yang menorehkan luka bagi masyarakat Sulawesi Selatan, tetapi peristiwa ini tetap menjadi simbol perlawanan yang akan selalu dikenang dalam sejarah perjuangan Indonesia. Hal ini terlihat dari pembangunan Monumen Korban 40.000 Jiwa yang terletak di Makassar dan penetapan tanggal 11 Desember sebagai hari berkabung bagi masyarakat Sulawesi Selatan hingga hari ini. Selamat membaca dan menyelami sejarah!
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News


