mengenal syekh yusuf al makassari ulama penyebar islam di afrika yang menginspirasi nelson mandela melawan apartheid - News | Good News From Indonesia 2025

Mengenal Syekh Yusuf Al Makassari: Ulama Penyebar Islam di Afrika yang Menginspirasi Nelson Mandela Melawan Apartheid

Mengenal Syekh Yusuf Al Makassari: Ulama Penyebar Islam di Afrika yang Menginspirasi Nelson Mandela Melawan Apartheid
images info

Mengenal Syekh Yusuf Al Makassari: Ulama Penyebar Islam di Afrika yang Menginspirasi Nelson Mandela Melawan Apartheid


Siapa yang tidak mengenal Syekh Yusuf? Jika jalan-jalan ke Sulawesi Selatan, Kawan akan menemui nama ini begitu terkenal hingga menjadi nama jalan, lapangan, hingga masjid besar. Hal ini terjadi lantaran Syekh Yusuf telah menjadi ikon atas kisah hidupnya yang heroik, tidak hanya bagi masyarakat Sulawesi Selatan, melainkan juga lintas benua hingga ke Afrika.

Namun, bagaimana perjalanan sosok ulama sufi dan pejuang kemerdekaan yang begitu mencintai pengetahuan ini hingga akhirnya mengalami pengasingan di Afrika dan menginspirasi Nelson Mandela melawan penindasan? Selamat membaca!

baca juga

Masa Muda Syekh Yusuf Al Makassari

Syekh Yusuf terlahir dari keluarga yang terpandang. Dikutip dari buku Sejarah Singkat Syekh Yusuf Tajul Khalawatia Tuanta Salama karya Muhammad Ramli, Syekh Yusuf lahir pada tanggal 8 Syawal 1036 Hijriah atau bertepatan dengan 3 Juli 1626 Masehi. 

Ibu Syekh Yusuf merupakan putri dari Gallarang Moncong LoE, seorang kerabat dekat dari Kerajaan Gowa. Sedangkan, beberapa catatan mengungkapkan jika ayahnya bernama Abdullah Khidir, merupakan bangsawan Lili dengan gelar Tuan Manjalawi yang berasal dari selatan Gowa.

Hubungan kekeluargaan yang dekat, menyebabkan Syekh Yusuf tumbuh di lingkungan Kerajaan Gowa dan dikenal begitu dekat dengan Sultan Alauddin yang merupakan Raja Gowa pertama yang memeluk agama Islam. 

Menurut artikel NU Online, masa kecil Syekh Yusuf dihabiskan untuk berguru dan mendalami pelajaran agama Islam, mulai dari belajar Al-Qur’an kepada Daeng ri Tamassang, hingga berkelana ke Pesantren Bontoala untuk menemui Syed Ba’alawi bin Abdullah yang berasal dari Yaman untuk belajar Nahwu, Sharaf, Mantiq, hingga Balaghah. 

Syekh Yusuf lalu melanjutkan perjalanan spiritualnya menuju Pesantren Cikoang yang mempertemukannya dengan Syekh Jalaluddin Aidid yang kelak membukakan jalan baginya untuk memperdalam pengetahuan agamanya di Mekkah.

Tepat pada tanggal 22 September 1644, dengan menggunakan kapal penumpang, Syekh Yusuf memulai perjalanan panjangnya menuju Mekkah yang menelan waktu hingga bertahun-tahun lamanya. Hal ini terjadi lantaran banyaknya titik persinggahan yang dilalui Syekh Yusuf untuk berguru dengan para ulama.

Persinggahan pertama adalah Banten. Di sini, Syekh Yusuf berkenalan dengan Abdul Fattah yang merupakan putra penguasa Kerajaan Banten yang kelak dikenal sebagai Sultan Ageng Tirtayasa.

Perjalanan berikutnya membawa Syekh Yusuf ke Aceh untuk bertemu dengan Syekh Muhammad Jailani yang merupakan pemimpin Tarekat Qadiriyah dan berguru hingga 5 tahun lamanya. 

Setelah itu, Syekh Yusuf kembali melanjutkan perjalanan dari satu titik ke titik berikutnya untuk melepas dahaganya akan pengetahuan, mulai dari Yaman, Mekkah, Madinah, Syam, Turki, hingga akhirnya kembali ke Mekkah untuk kembali berguru dan mengajar para perantau yang berasal dari Nusantara, khususnya masyarakat Bugis yang melakukan perjalanan Haji. 

Di sinilah Syekh Yusuf bertemu dengan Syekh Abu Al-Fath Abdul Basir al-Darir, Abdul Hamid Karaeng Karunrung, dan Abdul Kadir Majeneng, yang merupakan murid Syekh Yusuf yang meneruskan ajaran Tarekat Khalwatiyah di tanah Sulawesi.

Perjuangan Syekh Yusuf Al Makassari di Tanah Banten

Pulang ke Indonesia, Syekh Yusuf menetap di Banten setelah diminta untuk membantu penerapan syariat Islam di lingkungan kerajaan Banten oleh sahabatnya, Sultan Ageng Tirtayasa yang sedang memegang tampuk kepemimpinan.

Menurut artikel Republika, selama proses mengajar inilah, Syekh Yusuf banyak menyebarkan nilai-nilai anti kolonialisme sebagai wujud penolakan atas penjajahan Belanda. 

Hal ini terwujud saat terjadi konflik antara Sultan Ageng Tirtayasa dengan anaknya sendiri, Sultan Haji, yang termakan rayuan Belanda. Syekh Yusuf dengan berani terjun ke medan perang demi menunjukkan keberpihakannya kepada Sultan Ageng Tirtayasa dalam melawan penjajahan Belanda.

Sayangnya, kemenangan belum berpihak padanya. Pasalnya, pada 14 Desember 1683, Syekh Yusuf mengikhlaskan dirinya ditangkap oleh Belanda dan dibawa ke Penjara Batavia selama satu tahun sebelum akhirnya diasingkan ke Ceylon (Srilanka) pada tahun 1684 bersama para pengikutnya.

Namun, pengasingan tak berarti apa-apa bagi jiwa yang telah ditakdirkan untuk berjuang. Syekh Yusuf tetap melancarkan strategi melawan Belanda melalui para perantau Haji dari Nusantara yang singgah di Srilanka. Walaupun demikian, gerakan ini tetap tercium oleh Belanda hingga akhirnya Syekh Yusuf kembali diasingkan oleh Belanda ke tempat yang lebih jauh, yaitu Afrika Selatan.

Pengasingan di Afrika: Membuka Penyebaran Islam Hingga Menginspirasi Nelson Mandela

Pada tanggal 2 April 1694, Syekh Yusuf bersama para pengikutnya menginjakkan kaki di Cape Town, Afrika Selatan. Momentum ini tidak membuat Syekh Yusuf patah semangat, melainkan makin menggelorakan semangat perlawanan terhadap penindasan.

Bersama para pengikutnya, Syekh Yusuf mengajarkan nilai-nilai keislaman dan kemanusiaan kepada penduduk setempat yang didominasi oleh kaum buruh dan tawanan perang yang dibawa Belanda untuk membangun daerah koloninya. Hal ini menjadi cikal bakal lahirnya komunitas muslim dan merintis penyebaran Islam di Afrika Selatan.

Karena rekam jejaknya yang heroik, Syekh Yusuf hingga kini dihormati oleh masyarakat Afrika, salah satunya oleh sosok Nelson Mandela, ikonik perlawanan apartheid yang pernah menjabat sebagai Presiden Afrika Selatan.

Dikutip dari artikel Tempo, Nelson Mandela bahkan memberi gelar “Salah Seorang Putra Afrika Terbaik” kepada Syekh Yusuf atas jasa-jasanya dalam melawan segala bentuk penindasan, khususnya di Afrika. Bagi Nelson Mandela, Syekh Yusuf adalah sosok yang telah menginspirasinya untuk menegakkan nilai-nilai kesetaraan dan kebebasan bagi seluruh umat manusia.

Kekaguman Nelson Mandela terhadap Syekh Yusuf mengukuhkan perjuangan Syekh Yusuf yang tidak pernah berhenti melawan segala bentuk penjajahan melalui pendidikan, bahkan setelah diasingkan jauh dari tanah kelahirannya. Selayaknya di mana kaki berpijak, Syekh Yusuf tetap bersinar dengan nilai-nilai yang dibawanya.

baca juga

Akhir Hayat Syekh Yusuf Al Makassari

Masyarakat Afrika Selatan mengenang tanggal 23 Mei sebagai hari wafatnya salah satu tokoh paling berpengaruh dalam penyebaran Islam. Pada tahun 1699, Syekh Yusuf menghembuskan napas terakhirnya di Cape Town, yang kini dikenal dengan nama daerah Macassar (sebagai perwujudan penghormatan kepada Syekh Yusuf yang berasal dari Sulawesi Selatan).

Syekh Yusuf dimakamkan di Cape Town selama 6 tahun sebelum permintaan Sultan Gowa, Abdul Djalil, untuk memindahkan jasadnya ke Gowa pada tahun 1705. Hal ini disetujui oleh Belanda hingga akhirnya makam Syekh Yusuf berpindah ke Lakiung, Sulawesi Selatan.

Dengan demikian kisah hidup sang ulama sufi yang tidak mengenal lelah untuk berjuang melawan penjajahan di mana pun dirinya berada. Kecintaannya terhadap pengetahuan mampu membawanya berkelana jauh hingga berani melawan penindasan. Semoga dari kisah hidup Syekh Yusuf, generasi muda Indonesia mampu menyelami nilai-nilai kehidupan dan perjuangannya untuk kemajuan Indonesia. Selamat merefleksikan sejarah!

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

NF
KG
Tim Editorarrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.