apa yang bisa dipelajari indonesia dari pemilihan wali kota new york city - News | Good News From Indonesia 2025

Apa yang Bisa Dipelajari Indonesia dari Pemilihan Wali Kota New York City?

Apa yang Bisa Dipelajari Indonesia dari Pemilihan Wali Kota New York City?
images info

Apa yang Bisa Dipelajari Indonesia dari Pemilihan Wali Kota New York City?


Pemilihan Wali Kota New York City memang tak berdampak secara langsung bagi Indonesia. Namun, ada pelajaran penting yang bisa dipelajari partai politik dan masyarakat Indonesia dari sana.

Pemilihan Wali Kota New York City yang menyita perhatian dunia baru saja digelar pada Selasa (4/11/2025) waktu setempat. Berdasarkan hasil hitung cepat yang diperbarui New York Times pada Kamis (6/11/2025) pagi WIB, kandidat dari Partai Demokrat, Zohran Mamdani, unggul dengan perolehan 50,4% suara.

Mamdani menjadi yang terdepan mengungguli dua pesaingnya, Andrew Cuomo dari kubu independen dan Curtis Sliwa dari Partai Republik. Keduanya mendapatkan suara masing-masing 41,6% dan 7,1%.

Dari Pemilihan Wali Kota New York City, setidaknya ada dua hal yang bisa menjadi pelajaran bagi Indonesia: Tidak dipersoalkannya isu suku, agama, ras, dan antargolongan atau SARA, juga perlunya membuka ruang bagi anak muda tanpa harus mengandalkan hubungan klan atau kekeluargaan.

baca juga

Pelajaran dari Pemilihan Wali Kota New York City

Menurut dosen Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Mohammad Ezha Fachriza Roshady, kemenangan Mamdani merefleksikan pentingnya partai politik untuk tidak terseret isu SARA. Sebagaimana diketahui, Mamdani berasal dari kelompok minoritas, yakni Muslim dan keturunan Asia Selatan.

Ezha menekankan bahwa keberanian Partai Demokrat untuk mengusung calon wali kota dari kelompok minoritas perlu diterapkan oleh partai politik di Indonesia. Dengan demikian, partai politik jadi lebih terbuka dan ini sekaligus menjadi pelajaran politik bagi masyarakat.

"Ini penting, khususnya bagi partai politik di Indonesia dan umumnya untuk masyarakat. Partai politik di sana dalam hal ini Demokrat menunjukkan fungsi kaderisasi dan kandidasi yang tidak melihat isu isu SARA dan sekat minoritas, selama kader tersebut punya visibilitas dan mempuni untuk dicalonkan ya mereka berani," ujar Ezha kepada GNFI.

Di Indonesia, keterbukaan partai terhadap calon pemimpin dari kelompok minoritas sebetulnya bukannya tidak ada. Salah satu buktinya adalah terpilihnya Sherly Tjoanda sebagai Gubernur Maluku Utara periode 2025-2030.

"Dia mematahkan 3 sekat: Perempuan, Kristen dan Tionghoa. Tapi kasus Sherly, ada faktor di balik nama besar suaminya, dan dia memang asli dari Maluku Utara," lanjut Ezha.

Tak bisa dipungkiri, kancah politik Indonesia masih belum bisa sepenuhnya lepas dari isu SARA. Partai politik masih kerap menjadikan SARA sebagai pertimbangan ketika memajukan calonnya dalam pemilihan umum.

"Misal, selama ini perhelatan pilpres misalnya cenderung orang Jawa yang dimajukan. Padahal Indonesia luas, Tidak hanya Jawa. Tetapi kerap kali faktor itu menjadi pertimbangan," tutur Ezha.

Untuk memperbaiki kondisi politik yang lekat dengan faktor SARA ini, Ezha menekankan bahwa Indonesia membutuhkan pendewasaan dan budaya politik dari masyarakat. Selain itu, sikap toleran juga menjadi penting.

Sementara itu terkait dengan pentingnya memberi ruang bagi anak muda dalam berpolitik, lagi-lagi kemenangan Mamdani di New York City memberi contoh bagi Indonesia. Sebagaimana diketahui, Mamdani baru berusia 34 tahun, sementara Cuomo 67 tahun dan Sliwa 71 tahun.

Fenomena tampilnya anak muda di kancah politik pun bukan hal asing di Indonesia. Hanya saja, ruang berpolitik itu masih minim bagi anak muda yang berasal dari kalangan "orang biasa" tanpa latar belakang keluarga berpengaruh untuk bersaing.

 "Masih sangat minim. Biasanya figur-figur muda yang bisa berhasil tampil di politik ya karena faktor klan atau kekerabatan keluarga, anak muda biasa masih minim sekali," papar Ezha.

Lantas, apa hal yang perlu dilakukan agar partai politik di Indonesia bisa menjalankan kaderisasi dan kandidasi tanpa terpengaruh isu SARA sekaligus memberi ruang lebih besar kepada anak muda?

Pertama, harus ada sikap terbuka dari partai politik. Dengan demikian, partai harus mau merangkul dan mengakomodasi semua golongan tanpa terbelenggu sekat minoritas.

"Apalagi selama ini demokrasi Indonesia sistemnya perwakilan, perlu ada seluruh kelompok yang terwakili. Masyarakat juga harus lebih peka terkait hal itu," kata Ezha lagi.

Kedua, perlunya meningkatkan pengetahuan politik masyarakat. Dengan masyarakat yang teredukasi, maka iklim politik yang lebih terbuka bisa lebih mudah terwujud.

"Ini jadi problem pada kualitas sumber daya manusia yang menengah ke bawah, perlu edukasi budaya politik yang lebih toleran," pungkas Ezha.

baca juga

 

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Aulli Atmam lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Aulli Atmam.

AA
Tim Editorarrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.