Apa jadinya jika seorang prajurit perang yang setia mengawal Presiden Soekarno di awal kemerdekaan berbalik menyerang Pemerintah dan mengukuhkan diri sebagai pemberontak? Mengapa jiwa yang terbakar oleh revolusi memilih untuk padam dan menenggelamkan diri di pedalaman Sulawesi bersama para pasukannya?
Dialah Abdul Kahar Muzakkar, sesosok tentara yang telah mengerahkan seluruh tenaga dan sumber dayanya untuk memerdekakan Indonesia, memilih untuk mengangkat senjata melawan Pemerintah setelah mengalami kekecewaan.
Namun, di tengah kontroversinya, bagaimana sepak terjang Kahar sejak kecil hingga menjadi salah satu pemberontak paling legendaris di Sulawesi? Selamat Membaca!
Masa Muda Abdul Kahar Muzakkar
Dikutip dari Buku “Kahar Muzakkar dan Kartosoewirjo” karya Prof. Dr. Suwelo Hadiwijoyo, mengungkapkan jika Abdul Kahar Muzakkar lahir dari sesosok ayah bernama Malinrang yang terkenal kaya raya dan dihormati oleh masyarakat di Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan.
Kondisi itu memberikan kenyamanan dan akses pendidikan yang tidak dirasakan masyarakat pada umumnya. Kahar bahkan dikirim ke Jawa untuk mengenyam pendidikan di Sekolah Mu’alimin yang dikelola Muhammadiyah di Solo.
Sayangnya, Kahar tidak menamatkan pendidikannya dan memilih untuk menikahi gadis Solo yang diboyongnya pulang ke Luwu. Hal ini mengundang amarah orang tuanya hingga akhirnya ‘terusir’ dan kembali ke Solo.
Walaupun terpisah jarak oleh tempat kelahirannya, kemampuan berdagangnya yang apik mampu mempertemukannya dengan masyarakat Sulawesi, khususnya di Jawa. Dikutip dari artikel Historia.id, Kejayaan usahanya makin terlihat saat Kahar mendirikan Oesaha Semangat Moeda yang membuatnya terhubung dengan Jepang (yang saat itu menduduki Indonesia).
Selama terjun ke dunia usaha, Kahar bergabung ke salah satu organisasi Muhammadiyah yang bergerak di ranah politik, yaitu Hizbul Wathan. Di sinilah Kahar banyak mempelajari tentang arti perjuangan, khususnya pergerakan melawan penjajahan Belanda, hingga akhirnya memilih untuk keluar dan mencari jalan perjuangannya sendiri.
Dari Pedagang, Menjadi Prajurit
Pertemuan Kahar Muzakkar, bersama tiga teman seperjuangannya, yaitu Muhammad Idrus GP, Saleh Sjahban, dan Abdul Manan akhirnya menjadi bahan bakar pergerakan baru baginya.
Bersama Saleh Sjahban, Kahar membangun organisasi yang diberi nama Gerakan Pemuda Indonesia Sulawesi (GEPIS), yang kelak berubah nama menjadi Angkatan Pemuda Indonesia Sulawesi (APIS).
Organisasi ini mendapat dukungan dari Angkatan Pemuda Indonesia (API) yang saat itu digawangi oleh Sukarni, Wikana, dan Chaerul Shaleh, yang berperan besar mendorong angkatan tua, seperti Soekarno dan Hatta, untuk segera memproklamirkan kemerdekaan.
Namun, APIS yang saat itu berumur muda memilih untuk melebur ke organisasi yang lebih besar, yaitu Kebaktian Rakjat Indonesia Sulawesi (KRIS). Di sinilah Kahar memperoleh pengikut 800 orang Sulawesi, yang merupakan tahanan Indonesia pada masa Belanda yang berhasil dibebaskannya.
Keberhasilan ini menjadi babak baru bagi kiprah Kahar di ranah kemiliteran. Kolonel Zulkifli Lubis yang saat itu mewakili Markas Besar Tentara Indonesia menugaskan Kahar menjadi Ketua Pelaksana Latihan Militer bagi para tahanan yang telah dibebaskan. Tujuannya agar para tahanan itu bisa ditugaskan ke batalyon-batalyon untuk memperkuat kekuatan Tentara Indonesia.
Kariernya makin meningkat setelah Kahar menjadi Komandan Persiapan Tentara Rakyat Indonesia (TRI) di Sulawesi. Tugas ini memberinya kesempatan untuk berjejaring dengan tokoh-tokoh besar dalam perjalanan ekspedisinya untuk menjaga keamanan Sulawesi.
Sayangnya, karier cemerlang itu harus terhenti setelah melalui serangkaian kegagalan, termasuk tidak terpilihnya menjadi Ketua Brigade XVI (yang saat itu diisi oleh Koloner J.F. Warrouw, yang dianggap lebih berkompetensi), hingga pembatalan Komando Seberang (Kalimantan, Sulawesi, Sunda Kecil, dan Maluku Kecil) yang digagas oleh Kolonel Bambang Supeno akibat reorganisasi di dalam tubuh Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI). Hal ini menyisakan Kahar sebagai sosok perwira tanpa jabatan di dalam struktur APRI.
Titik Awal Pemberontakan: Kekecewaan atas Dekret Kawilarang
Kekecewaan demi kekecewaan ditelan seperti pil pahit oleh Abdul Kahar Muzakkar. Namun, puncak kekecewaan itu akhirnya tiba saat dirinya harus berurusan dengan prajurit gerilya di Sulawesi.
Desakan mereka untuk segera diakui sebagai bagian dari APRI tidak disambut dengan baik oleh Pemerintah. Atas dasar profesionalitas, hanya segelintir dari mereka yang masuk dalam kategori “layak” untuk bergabung di APRI.
Sayangnya, penolakan ini dianggap sebagai pengabaian Pemerintah atas pengabdian dan pengorbanan mereka saat memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, khususnya di Sulawesi. Hal ini menimbulkan perselisihan dan mendorong Kahar, yang saat itu berstatus sebagai anggota APRI yang berasal dari Sulawesi, untuk turun tangan dan bernegosiasi dengan para pemimpin gerilya.
Kahar akhirnya mengambil jalan tengah dengan membentuk Kesatoean Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS) untuk menghimpun seluruh prajurit gerilya yang akan membentuk dan mengajukan diri sebagai Divisi Hasanuddin. Namun, usulan tersebut nyatanya kembali ditolak oleh Pemerintah atas berbagai pertimbangan, termasuk ketidaksesuaian berdirinya KGSS dengan peraturan yang ada.
Penolakan ini mendorong Komando Teritorium VII Wirabuana mengeluarkan Dekret Kawilarang yang berisi pernyataan pembubaran KGSS dan pelarangan segala bentuk aktivitasnya. Hal ini membuat Kahar merasa kecewa dan memilih untuk melepaskan pangkatnya di APRI dan kembali ke Sulawesi untuk melakukan pemberontakan bersama para prajurit gerilya yang kelak dikenal sebagai pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang berafiliasi dengan Kartosuwiryo di Jawa Barat.
Akhir Perjuangan Abdul Kahar Muzakkar
Berbagai jenis penyerangan hingga pemberontakan yang telah dilakukan Abdul Kahar Muzakkar bersama pengikutnya di Sulawesi telah memantik perundingan demi perundingan dengan Pemerintah.
Sayangnya, tak ada hasil yang memungkinkan kedua belah pihak untuk berdamai. Hal ini tercatat dalam salah satu surat yang dikeluarkan Kahar sebagai seruan kepada seluruh pengikutnya untuk meneruskan perjuangan dalam “Perang Kemerdekaan”.
Hal ini memantik kegusaran Jenderal Ahmad Yani yang saat itu menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) dengan memerintahkan Kolonel Andi Muhammad Yusuf yang saat itu memimpin Kodam XIV/Hasanuddin untuk melakukan Operasi Tumpas untuk menangkap Kahar beserta para pengikutnya.
Bersama tiga kodam lainnya (Brawijaya, Diponegoro, dan Siliwangi), Kodam Hasanuddin bergerak menuju tempat persembunyian Kahar, setelah memperoleh informasi dari seorang pengikut setianya yang membelot, yaitu Letkol TII Kadir Junus.
Tepat di tepi sungai Lasolo, pertempuran antara pasukan Kahar dan TNI tidak terhindarkan dan berakhir dengan meninggalnya Abdul Kahar Muzakkar di ujung bidikan senapan Kopral Sadeli.
Walaupun demikian, tempat persemayamannya masih simpang siur, ada yang mengatakan dirinya dikuburkan di Makassar atau Sulawesi Tenggara, bahkan Kolonel Andi Muhammad Yusuf yang memimpin operasi itu pun memilih untuk tutup mulut.
Hal ini menutup kisah patriot yang memberontak karena kekecewaan. Walaupun dari kisah kontroversialnya, Abdul Kahar Muzakkar tetap dikenang sebagai tokoh patriotik yang berjasa di awal kemerdekaan, walaupun berakhir tanpa jejak setelah pemberontakannya. Selamat merefleksikan sejarah!
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News


