Siapa yang baru seminggu gajian tetapi saldo rekeningnya sudah menipis? Jangankan healing, sebagian besarnya habis karena bayar cicilan dan biaya hidup yang makin tinggi.
Ini realitas hidup mayoritas masyarakat Indonesia yang harus memenuhi kebutuhannya dari gaji ke gaji. Tabungan atau dana darurat hanya sekadar angan belaka, jika pada akhirnya para pekerja harus berkejaran dengan berbagai kebijakan pemerintah yang kian hari makin menguras kantung. Namun, apa yang menyebabkan kondisi ini terjadi? Selamat membaca!
Biaya Hidup Tinggi, Kenaikan Gaji Stagnan
Menurut data yang dikeluarkan oleh ADP Research Tahun 2025, dikutip dari artikel CNBC Indonesia, terdapat 54% warga Indonesia yang hidup dari gaji ke gaji. Hal ini menggambarkan perilaku finansial para pekerja yang minim tabungan dan perencanaan masa depan.
Jika hal ini terus terjadi, ketahanan masyarakat akan terancam apabila kondisi perekonomian nasional menurun.
Sayangnya, kondisi ini tidak serta merta berasal dari gaya hidup hedon yang mulai diserap oleh masyarakat, melainkan juga kebijakan pemerintah yang terus-menerus meningkatkan biaya hidup dari waktu ke waktu.
Dikutip dari artikel BBC, Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira, mengungkapkan jika dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, sektor pekerja hanya memperoleh kenaikan pendapatan riil yang rendah.
Kenaikan upah yang dipatok oleh pemerintah memang cenderung lebih tinggi dari inflasi, tetapi realitanya, terdapat kenaikan biaya pada kebutuhan primer, seperti tempat tinggal, sembako, hingga pendidikan. Belum lagi persoalan wacana kebijakan pemerintah yang menguras kantung pekerja, seperti PPN, BPJS, BBM, hingga TAPERA.
Padahal, menurut Bhima, peningkatan pendapatan yang lebih manusiawi akan mendorong konsumsi masyarakat yang lebih tinggi di sektor usaha domestik, sehingga berdampak baik terhadap perekonomian nasional.
Hal ini tentunya menjadi renungan bagi pemerintah bahwa kenaikan upah pekerja belum mampu mengejar ketertinggalan atas harga kebutuhan hidup yang makin tinggi.
Kenaikan pendapatan yang pas-pasan hanya akan meninggalkan persoalan hidup baru bagi masyarakat yang tidak memiliki jaring pengaman ekonomi berupa tabungan atau dana darurat.
Konsumerisme Berkedok “Healing”
Hidup dari gaji ke gaji tidak hanya sekadar persoalan kebijakan pemerintah akan kenaikan pendapatan dan inflasi yang rasanya makin membebani, melainkan juga berasal dari gaya hidup konsumtif yang mulai diadaptasi dalam setiap aspek kehidupan masyarakat.
Bagi generasi muda, khusus Milenial dan Gen Z, tentunya tidak asing dengan istilah “healing” dan “self-reward”. Di tengah tekanan hidup yang makin besar, memberikan jeda terhadap segala bentuk rutinitas rasanya perlu dilakukan, misalnya sekadar membaca buku, menepi sejenak di kedai kopi favorit, atau melakukan hobi di akhir pekan.
Sayangnya, istilah ini malah menjadi validasi atas budaya konsumtif yang mendorong banyak generasi muda untuk membelanjakan lebih dari apa yang dibutuhkan atas dasar penghargaan terhadap diri sendiri. Bisa dengan membeli barang mewah, meng-update elektronik keluaran terbaru, hingga gaya hidup hedon lainnya yang tidak sesuai dengan besaran pendapatan.
Hal ini didorong dengan beragam iklan yang marak di sosial media membuat generasi muda menganggap “healing” konsumtif sebagai bagian dari kebutuhan yang perlu dilakukan untuk menghargai diri sendiri.
Padahal, jaring pengaman ekonomi berupa tabungan atau dana darurat lebih dibutuhkan oleh generasi muda untuk menghadapi ketidakpastian ekonomi di tengah kenaikan harga yang makin melambung tinggi setiap waktunya.
Jika ini terus terjadi, maka bukan hal yang mustahil jika nantinya generasi muda akan terjebak dengan beragam masalah ekonomi pada masa yang akan datang.
Dana Darurat: Jaring Pengaman Ekonomi untuk Kehidupan yang Lebih Tenang
Jika kenaikan pendapatan yang stagnan tidak sejalan dengan biaya dan gaya hidup yang makin tinggi, maka bagaimana cara untuk tetap merasa aman di tengah ketidakpastian ekonomi?
Salah satunya dengan mempersiapkan dana darurat yang bisa Kawan gunakan saat keadaan tak terduga terjadi, misalnya kehilangan pekerjaan hingga biaya hidup yang mendesak.
Dikutip dari salah satu artikel CNBC Indonesia, Perencana Keuangan dari Tatadana Consulting, Tejasari, mengungkapkan langkah awal untuk mempersiapkan tabungan adalah menghitung besaran pengeluaran rutin bulanan, termasuk cicilan.
Menurut beliau, jika telah menemukan jumlah pengeluaran rutin bulanan, Kawan bisa memasang target dana darurat untuk disisihkan dari pendapatan.
Sebagai pemula, Kawan bisa mengumpulkan dana darurat sebesar tiga kali pengeluaran rutin bulanan, tetapi jika Kawan sudah mencapai angka tersebut, Kawan bisa memasang target untuk mencapai enam kali pengeluaran rutin bulanan.
Karena menurut Tejasari, makin besar dana darurat, makin Kawan akan merasa lebih tenang dan aman di tengah kondisi ekonomi saat ini.
Kunci terpenting dari pengumpulan dana darurat adalah perencanaan dan sikap hemat di tengah gempuran iklan konsumtif di sosial media. Ada banyak jenis pengeluaran yang bisa Kawan hindari agar mencapai dana darurat lebih cepat, misalnya liburan, shopping berlebihan, hingga paket berlangganan yang sifatnya kecil tetapi menguras kantung.
Selain itu, tren soft saving yang sedang marak di tengah generasi muda juga dapat menjadi solusi untuk mengumpulkan dana darurat lewat cara-cara yang tidak mengekang gaya hidup.
Tren ini mengedepankan konsistensi menabung walaupun dalam jumlah kecil, tetapi dilakukan secara terus-menerus. Hal ini akan mendorong generasi muda untuk menabung karena tidak memerlukan dana dan usaha yang besar.
Terlebih produk investasi yang tersedia saat ini dapat memberi pengalaman menabung yang baru bagi anak muda daripada cara-cara konvensional lainnya, bahkan telah tersedia jenis investasi seperti reksadana yang bisa diakses tanpa harus membutuhkan jumlah dana yang besar.
Maka dari itu, di tengah gempuran ekonomi yang serba tidak pasti, Kawan perlu melakukan perencanaan dengan matang akan kondisi finansial yang dialami. Tujuan utamanya agar Kawan dapat memperoleh jaring pengaman ekonomi yang dapat digunakan sewaktu-waktu Kawan sedang berada di situasi sulit. Jadi, selamat merencanakan keuangan untuk masa depan yang lebih baik!
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News


