wajah androgini warkop hari ini - News | Good News From Indonesia 2025

Wajah Androgini Warkop Hari Ini

Wajah Androgini Warkop Hari Ini
images info

Wajah Androgini Warkop Hari Ini


Di antara gemerlap kehidupan metropolitan yang dipenuhi kafe dan kedai kopi modern, warung kopi (baca: warkop) hadir memberi warna berbeda pada sebuah kota. Murahnya harga kopi, snack gorengan dan main course nasi bungkus atau mie instan yang disajikan, menjadikan warkop sebagai jujugan para prekaria memenuhi kebutuhan mereka akan ruang relaksasi yang murah dan mudah. Ia ada sebagai simbol ruang perjuangan dan solidaritas dari masyarakat yang terpinggirkan.

Selain itu, selama bertahun-tahun, warkop, secara sosio-kultural identik dengan tempatnya para laki-laki menikmati waktu luang dan bersosialisasi dengan sesama mereka. Menjadi ruang maskulin sebuah wilayah.

Penanda maskulinitas itu hadir dalam rupa gulungan tak berkesudahan asap rokok, pekat aroma keringat bercampur semerbak khas tembakau, meja yang terasa lengket oleh sisa kopi dan meninggalkan kerak hitam di lengan baju, serta muram dan kusutnya tembok-tembok penyekat. Semua itu bertolak belakang dengan nilai feminin yang cenderung wangi, bersih, lembut dan rapi.

Itu sebabnya warung kopi amatlah jarang menarik minat perempuan untuk mendatanginya. Demikian identiknya dengan pria, hingga perempuan tak pernah merasa nyaman di dalamnya sebagai ruang pelepas penat atau sekadar tempat untuk menikmati secangkir kopi. Belum lagi tatapan ganjil pengunjung lain, apabila seorang perempuan ada di antara mereka. Di dalam warkop, perempuan seperti berada di sarang penyamun.

Jika pun ada seorang perempuan di warkop, hal itu justru mempertegas wajah patriarki warung kopi itu sendiri. Bahwa pengunjung perempuan ada dan sanggup bertahan di ruang maskulin bukan atas kehendak bebasnya, namun karena adanya perlindungan dan kepemilikan laki-laki atas dirinya. Perempuan nongkrong di warkop tak terlepas dari kehadiran laki-laki di sampingnya, entah itu pasangan maupun teman, yang mengajaknya dan memberikannya perasaan aman. Selain itu, perempuan di warkop adalah obyek kepemilikan pria, yang tak bisa “diusik” oleh pengunjung lain, meski sekadar hanya ucapan “selamat datang di warkop kami.”

Tentu ini berbeda situasinya ketika yang datang sendiri adalah seorang laki-laki. Ia berdaulat atas dirinya, tak perlu mengalami rasa tak nyaman karena tatapan mata aneh dari pengunjung lain. Pengunjung laki-laki pun mendapatkan kesempatan untuk berinteraksi dengan konsumen lain secara terbuka dan setara.

Namun, dalam lima tahun terakhir, citra maskulin warkop mengalami transformasi. Ini dimulai dengan munculnya genre baru dalam dunia perwarungkopian: warkop androgini. Androgini merujuk pada sebutan bagi individu yang memiliki sifat maskulin dan feminin sekaligus. Pun demikian dengan warkop yang ada pada genre ini, warkop yang memiliki wajah maskulin dan feminin sekaligus.

Fenomena warkop genre baru ini diwakili oleh Warkop Ceria, Sedulur Tunggal Kopi (STK), dan Bening. Ceria memiliki lebih dari 35 cabang di seluruh Indonesia. Sementara STK, 20 cabangnya memang hanya ada di Surabaya, Sidoarjo dan Gresik, namun menjadi perbincangan viral di media sosial kalangan pecinta warkop karena kesan nyaman dan luas yang dimilikinya. Warkop Bening juga memiliki lebih dari 10 cabang yang tersebar di kota-kota di Jawa Timur.

Dari penamaan warkop, juga ada pergeseran gaya. Lazimnya warkop dinamai berdasar nama pemilik, seperti “Warkop Cak Mat”, “Warkop Cak Pi’i” atau “Warkop Mas Imam”. Warkop androgini memilih nama yang less masculine dan lebih merdu terdengar. “Bening” dan “Ceria” jelas memiliki rasa bahasa yang lekat dengan sifat perempuan.

Selain penamaan, desain interior warkop pun mengalami perubahan bentuk. Jika sebelumnya wajah warkop identik dengan penerangan temaram, ruang sempit, meja yang kotor terkena minyak dan remahan gorengan serta sisa kopi, dan dinding kusam, kini tata letaknya lebih nyaman. Tengoklah STK, di hampir seluruh cabang yang saya pernah singgah, warkop ini hadir dengan space yang lebih luas. Jarak antara satu meja dengan meja lain cukup lega untuk dilewati, meja barista (baca: mas-mas warkop) juga tak melanggar batas proksemik pengunjung. Selain itu, desain warkop semi terbuka sehingga memungkinkan sirkulasi udara yang lebih baik. Pengunjung yang tak merokok pun tidak perlu resah dengan asap kretek pengunjung yang merokok. Warna-warna yang dipilih untuk desain interior warkop pun lebih cerah dengan pilihan dominan putih atau kuning.

Selain ruang, warna, dan sirkulasi udara yang lebih baik, perubahan paling nyata adalah ketersediaan kamar mandi dan musala yang bersih. Dua fasilitas tersebut, jarang kita temui di warkop-warkop old fashioned. Tidak ada lagi kamar mandi berbau pesing dan pintu yang tak bisa ditutup sempurna. Warkop baru ini menyediakan kamar mandi yang tidak besar, namun bersih dan aman bagi perempuan. Lebih jauh lagi, warkop androgini menyediakan ruang sembahyang plus sajadah dan mukena untuk pengunjung perempuan. Ketersediaan mukena, menjadi simbol pengakuan terhadap keberadaan pengunjung perempuan di warkop mereka.

Jarak yang cukup lebar, sirkulasi udara yang baik, kamar mandi bersih serta musala yang apik, membuat konsumen perempuan merasa betah dan nyaman berada di warkop.

Yang saya amati, di warkop era baru ini, pengunjung tak lagi hanya laki-laki. Saya mulai melihat adanya perempuan yang hadir di sana. Para perempuan ini datang, tak harus bersama seorang laki-laki, mereka bisa hadir sendiri atau bersama peer group perempuan mereka. Bahkan, saya mengamati, mulai banyak keluarga muda (pasangan suami istri dan anak-anak mereka) menghabiskan waktu bersama di warung kopi.

Perubahan wajah warkop ini menunjukkan adanya pergeseran nilai sosial terhadap warkop sebagai sebuah realitas. Dalam perspektif pengakuan sosial yang dikemukakan oleh Axel Honneth, warkop androgini adalah simbol perjuangan perempuan untuk hadir di ruang publik yang demikian maskulin.

Bagi Axel Honneth (2012), pengakuan sosial haruslah meliputi tiga hal, yaitu: afeksi dan dukungan (love), hak sosial dan hukum (rights), dan penghargaan sosial (solidarity). Dalam pengakuan akan afeksi dan dukungan, warkop androgini mampu memberikan rasa aman dan penghargaan secara emosional. Perempuan yang mampir untuk menikmati kopi tubruk atau sekedar numpang melepas penat, akan merasa diterima tanpa stigma tertentu di sana.

Pada level hak sosial dan hukum, warkop dengan wajah separuh feminin ini memungkinkan perempuan menikmati ruang publik tanpa khawatir mengalami diskriminasi maupun pelecehan seksual dari pengunjung lain (baik verbal maupun fisik). Pengunjung perempuan pun bisa mengkreasikan ruang nyaman mereka untuk mengaktualisasikan diri.

Di tingkatan penghargaan sosial, STK dan kawan-kawannya, mampu menjadi ruang bagi perempuan untuk menuangkan gagasan, memperkuat jaringan, dan membangun solidaritas sosial.

Pada akhirnya, warung kopi tak lagi dipandang sebagai ruang hampa tempat menikmati kopi murah belaka, atau sekadar petanda kehadiran kelas menengah (bawah) di tengah kemilau kota industri. Hadirnya warkop androgini menjadi perjuangan simbolik dari perempuan sebagai subyek otonom yang bisa nongkrong  mandiri di ruang publik yang maskulin.

Di sebuah warkop, perempuan kini bukan lagi ibarat korban penculikan dan para lelaki bukan lagi para penyamun.

Putri Aisyiyah Rachma Dewi, adalah dosen Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Negeri Surabaya (UNESA), yang memiliki minat dalam kajian media, gender, dan literasi khalayak. Saat ini Putri juga sedang menempuh studi doktoral di S3 Ilmu Sosial Universitas Airlangga. Selain kuliah dan mengajar, Putri juga aktif bergiat di Aisyiyah Jawa Timur sebagai Sekretaris Lembaga Penelitian dan Pengembangan PWA.

Esai Putri tentang Perempuan pernah dimuat di beberapa media, baik cetak maupun online, seperti: Jawa Pos, Radar Mojokerto, terakota.id, digitalmama.id, konde.co, majalah Walida, dan majalah Matan Muhammadiyah

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

PA
AH
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.