Soraya Rosadha adalah figur inspiratif dari Indonesia yang telah membuktikan dirinya mampu bersaing di kancah global. Dikenal sebagai alumni penerima beasiswa LPDP, perjalanan studinya di Inggris, yang dilanjutkan dengan karier cemerlang sebagai wirausahawan teknologi di Jerman, menjadikannya panutan bagi banyak generasi muda Indonesia.
Berbekal pendidikan Master of Arts (MA) di Corporate Communications and Public Relations dari Leeds University Business School, Soraya menguasai seluk-beluk narasi korporat. Namun, gairahnya tidak berhenti di situ. Ia melihat bahwa dampak terbesar kini diciptakan bukan hanya melalui kata-kata, tetapi melalui data dan teknologi.
Transisi ini diperkuat oleh gelar Master of Philosophy (M.Phil) yang mengasah ketajaman analisis dan pemikiran strategisnya. Bagi Soraya, teknologi adalah alat paling efisien untuk memecahkan masalah kemanusiaan.
Bersama suaminya, Soraya mendirikan AIku Technologies GmbH di Jerman yang merupakan negara asal suaminya. Ini bukan sekadar startup biasa karena perusahaan konsultan teknologi ini berfokus pada integrasi Artificial Intelligence (AI) di dua sektor paling esensial yaitu farmasi dan kesehatan.
“Kita lebih ke arah edukasi yang banyak, lebih banyak ke arah diskusi, ke arah training saat ini untuk yang B2B. Tapi dari B2C aku pengin mengarah ke arah produk dan visinya yang berguna bagi kesehatan mental, wealth, health, dari sisi kebahagiaan individu,” ucap Soraya kepada GoodNews From Indonesia dalam segmen Diaspora.
Meskipun mendapat tantangan dari ketatnya regulasi dan tingginya standar kualitas di Jerman, Soraya berhasil membawa AIku Technologies menjadi pemain kunci. Perusahaan ini pun mampu memberikan kemudahan dari proses yang kompleks dan meningkatkan akurasi diagnosa melalui teknologi AI yang disesuaikan dan tentunya menjadi langkah krusial dalam revolusi kesehatan digital.
Soraya sendiri mengakui menemukan banyak tantangan saat membuka perusahaan di Jerman, dari pajak tinggi hingga alur birokrasi. Namun, ia tetap maju terus karena meyakini segala gagasan yang telah dihimpun bisa terwujud selama terus berusaha.
“Awal-awal susah gitu aku sebenarnya enggak mikirin (kesulitannya). Birokrasi susah enggak mikirin. Tapi ketika aku ke conference ngobrol sama orang mereka juga bilang, ‘Tahu enggak sih kalau jadi founder di sini banyak banget masalah birokrasi, bayar pajak tinggi segala macam’. Jadi aku baru sadar belakangan. Tapi kalau misalnya ditanya mau lagi enggak buka (perusahaan) di Jerman? Aku bilang si bakal mau karena di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung,” ungkap sosok yang pernah menjadi konsultan komunikasi di Precious Communications Singapore itu.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News