Di tengah sawah hijau Banyuwangi, Jawa Timur, seorang pemuda melihat anak‑anak pergi ke sekolah dengan perut kosong. Mereka berlari ke kelas tanpa sarapan karena keluarga mereka hidup dari hasil tani yang pas‑pasan.
Muhammad Farid, pria yang tumbuh di desa itu, merasa resah; ia tahu betul bahwa perut lapar membuat anak sulit berkonsentrasi di kelas. Baginya, pendidikan tak hanya soal buku, papan tulis, dan guru, tetapi juga soal nutrisi yang memadai.
Dari kegelisahan itulah muncul sebuah gagasan sederhana yang mengubah kehidupan banyak siswa: Sayur untuk Sekolah.
Dari Petani ke Guru Perubahan
Farid bukanlah anak pejabat atau pengusaha. Ia lahir dan besar di keluarga petani di Banyuwangi. Sejak kecil, ia terbiasa membantu orang tua di sawah dan menyaksikan bagaimana orang desa bergantung pada hasil panen.
Meskipun dikelilingi ladang subur, Farid mendapati banyak anak pergi ke sekolah tanpa sarapan karena orang tua mereka lebih fokus pada hasil panen untuk dijual. Akibatnya, di sekolah mereka cepat mengantuk, tidak fokus, dan prestasi menurun.
Keprihatinan ini membuat Farid menyadari bahwa gizi merupakan kunci penting bagi keberhasilan belajar. Ia mulai bermimpi menghubungkan ladang dengan sekolah – bukan hanya sebagai sumber ekonomi, tetapi juga sumber nutrisi.
Lahirnya Ide “Sayur untuk Sekolah”
Ide Farid berawal dari pertanyaan sederhana: bagaimana jika anak‑anak menanam sayur sendiri untuk memenuhi kebutuhan gizi mereka? Di desa tempatnya tinggal, lahan subur terbentang luas dan berbagai sayuran seperti kangkung, bayam, sawi, dan cabai mudah ditanam.
Farid mengajak guru, orang tua, dan murid membuat kebun kecil di halaman sekolah. Bibit sayuran ditanam bersama, dirawat bersama, hingga panen bersama. Hasil panen kemudian dimasak untuk makan di sekolah, bahkan dibawa pulang untuk keluarga.
Anak‑anak merasakan kebahagiaan saat sayur yang mereka tanam berubah menjadi santapan bergizi; mereka belajar bercocok tanam, gotong royong, tanggung jawab, dan menikmati hasil jerih payah mereka.
Program Sayur untuk Sekolah berkembang pesat. Sekolah‑sekolah yang awalnya skeptis mulai tertarik setelah melihat manfaatnya. Farid mengatasi keraguan masyarakat dengan menyediakan bibit sederhana, menjelaskan cara bercocok tanam, dan mengedukasi orang tua tentang pentingnya gizi.
Ia juga mencari dukungan dari komunitas lokal, pemerintah desa, hingga lembaga swasta untuk memastikan keberlanjutan program.
Sekolah Alam Banyuwangi: Belajar dengan Sayur dan Doa
Selain program kebun sayur, Farid mendirikan Sekolah Alam Banyuwangi Islamic School (BIS) di atas lahan wakaf sekitar 3.000 - 4.000 meter persegi pada 2005. Sekolah ini unik karena memadukan konsep alam dengan pesantren dan pendidikan modern.
Tidak ada ruang kelas permanen, anak‑anak belajar di aula terbuka, langgar, atau saung sederhana. Seragam hanya diwajibkan pada Senin dan Selasa, selebihnya siswa bebas memakai pakaian sederhana. Banyak siswa yang datang dari keluarga kurang mampu belajar tanpa sepatu.
Keunikan lain adalah sistem pembayaran. Farid memperbolehkan keluarga membayar biaya sekolah dengan sayuran atau bahkan doa.
Awalnya, murid membawa sayuran setiap akhir pekan untuk diserahkan ke sekolah sayur itu dimasak untuk makan bersama, sementara kelebihan sayuran dibagikan ke guru. Bila tidak ada sayur, doa pun diterima sebagai bentuk pembayaran.
Bahkan honor guru dibayar dengan sayuran hingga sekolah mendapatkan akreditasi dan mulai memungut biaya rupiah. Kebijakan ini mematahkan hambatan ekonomi: tidak punya uang bukan berarti tidak bisa sekolah.
Kurikulum Sekolah Alam BIS menggabungkan pendidikan modern dengan pesantren salaf; siswa belajar bahasa Arab, Inggris, Jepang, bahkan Mandarin, serta menghafal Qur’an.
Program outbond dan kegiatan kepemimpinan setiap pekan membentuk karakter dan menumbuhkan keberanian pada siswa. Siswa juga diwajibkan berbagi ilmu kepada anak‑anak lain di lingkungan mereka, mengajarkan nilai gotong royong dan tanggung jawab.
Farid menekankan bahwa pendidikan bukan hanya tentang nilai akademik, tetapi juga iman, akhlak, dan pengembangan diri.
Penghargaan SATU Indonesia Awards
Konsistensi Farid dalam memperjuangkan gizi dan pendidikan membawanya meraih Apresiasi SATU Indonesia Awards pada 2010 untuk kategori Pendidikan.
Penghargaan ini mengakui dedikasinya menggabungkan pertanian dan pendidikan serta memberinya energi baru untuk memperluas program.
Di tingkat nasional, kisah Farid sering disebut sebagai inspirasi bagaimana perubahan besar bisa dimulai dari hal kecil. Dengan dukungan SATU Indonesia Awards, Farid menjalin kolaborasi lebih luas, mendorong sekolah dan desa lain mencontoh program kebun sayur.
Farid menekankan bahwa siapa pun bisa berkontribusi. Tidak perlu menunggu kaya atau memiliki sumber daya besar cukup punya niat baik, kepedulian, dan keberanian untuk bertindak.
Ia berpesan bahwa sepiring sayur dapat menjadi jembatan bagi masa depan, dan dari sepetak kebun kecil di Banyuwangi, lahir inspirasi besar untuk Indonesia.
Kisah Muhammad Farid mengingatkan kita bahwa pendidikan dan gizi tidak bisa dipisahkan. Sayur untuk Sekolah bukan sekadar program bercocok tanam, tetapi gerakan sosial yang menumbuhkan kesehatan, pengetahuan, dan karakter.
Seperti sayur yang tumbuh subur setelah dirawat, generasi masa depan pun akan tumbuh kuat jika diberi nutrisi dan pendidikan yang tepat.
#kabarbaiksatuindonesia
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News